Mohon tunggu...
Operariorum
Operariorum Mohon Tunggu... Buruh - Marhaenism

Operariorum Marhaenism, merupakan Tulisan-tulisan mengenai ditindasnya orang Minoritas didalam realitas dan pola-pola diskriminasi yang dilakukan oleh pemilik otoriter, korporat dan kapitalissecara semenang-menang dan tidak adanya keadilan bagi kaum maniver mikro.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Teori yang Bersifat Inheren dalam Hukum

18 Maret 2021   09:04 Diperbarui: 18 Maret 2021   09:19 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. PEMAKNAAN DARI TEORI LEGITIMASI DAN VALIDITAS HUKUM

Teori validitas hukum merupakan salah satu teori yang pen- syarat-syaratnya agar suatu kaidah hukum menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masya- rakat, bila perlu dengan upaya paksa, yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: ting dalam ilmu hukum. Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori yang mengajarkan bagaimana dan apa 1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berba- gai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar, undang-undang dan berbagai bentuk peraturan lainnya, aturan-aturan internasional seperti dalam 2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen bentuk traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan. 3. Secara hukum, aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan. (bersama dengan pemerintah).

Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis 4. lebih tinggi. lainnya. Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang 5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-h dan penerap hukum, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaan 6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. 7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan. tertentu Suatu kaidah hukum dapat saja mengikuti kai- dah moral, politik, atau ekonomi, sepanjang kaidah hukum tersebut tidak mengorbankan norma dasar dalam hukum. Misalnya, suatu kaidah moral, politik, ekonomi, atau agama, tidak dapat diberlaku- kan dalam hukum jika kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan asas-asas keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, ketertib- an umum, perlindungan hak dasar, asas manfaat, dan lain-lain.

Ada yang berpendapat bahwa valid daknya suatu aturan hukum diukur dari terpenuhi tidaknya suatu elemen-elemen sebagai berikut (J.W. Haris, 1979: 107): L. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengan aturan tertentu yang tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum tersebut tidak dalam keadaan "di luar jalur" (ultra vires). 2. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang kon- sisten (subsistem) dengan bidang pengaturan yang sudah ada 3. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial dalam masyarakat (aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam masyarakat. JuI jres 4. Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecenderungan internal untuk dihormati (atas dasar moral dan politik). 5. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenya- taan normatif yang transedental (aspek ontologis). dasar dan persyaratan diterimanya olch masyarakat agar suatu atur- an hukum menjadi aturan hukum yang valid, maka Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu aturan hukum telah valid sejak diundang Selanjutnya, tentang persyaratan kesesuaiannya dengan norma kannya secara benar, meskipun saat-saat awal dibuatnya aturan hu- kum, aturan hukum tersebut mungkin saja masilh belum diterima. dengan baik oleh masyarakat.

Berbeda dengan ajaran dari para penganut teori hukum al maka para penganut teori hukum positivisme seperti John Augtin Hans Kelsen, HLA Hart tersebut tidak pernah mengaitkan valid daknya suatu aturan hukum dengan faktor moral. Akan tetapi, di karenakan persyaratan "efektivitas" (penerimaan oleh masyarakati atas suatu aturan hukum merupakan suatu unsur bagi hukum yang valid, dan ada kemungkinan bahwa suatu aturan hukum yang ti. dak sesuai dengan unsur moral tidak akan diterima oleh kat dalam jangka waktu yang panjang, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa bahkan oleh para penganut teori positivisme sekalipun harus mengakui juga pengaruh unsur moral ke dalam validitas suatu aturan hukum, meskipun pengaruh unsur moral tersebut ter- jadi tidak langsung, tetapi melalui penerimaan suatu aturan hukum oleh masyarakat. Setiap kaidah hukum haruslah memenuhi unsur legitimasi, karena memang asal usul pengertian legitimasi adalah setiap hal yang bersesuaian dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya, berkembang pengertian legitimasi bagi suatu kaidah hukum sebagai kaidah yang dibuat secara sah (oleh instansi yang sah) yang bersifat impersonal, karena karismanya, tetapi ukurannya adalah bahwa hukum tersebut masyara- haruslah bersifat rasional. Menurut sosiolog hukum Max Weber, suatu hukum dikatakan rasional jika memenuhi syarat rasional yang formal dan rasional

bokum yang rasional formal dalam hal ini adalah bahwa hukum ueTscbut secara intelektual haruslah konsisten, vaitu konsisten an- tara faktor-faktor seperti aturan hukum (legal rules), prinsip hukum (legal principles), standar hukum (legal standards), dan konsep hukum (legal concepts). Adapun yang dimaksud dengan hukum rasional secara substantif adalah aturan hukum yang bersesualan de- ngan ideologi dan nilai-nilai yang berubah-ubah dalam masyarakat. Kalaupun ada ketidaksesuaian antara faktor-faktor tersebut maka ketidaksesuaian atau penyimpangan tersebut haruslah mempunyai alasan dan basis yang rasional pula. urduap pnsyeuup Buvx (ot LL61 e H uyo) mursqns suA Suek persoalan Misalnya terhadap valid atau tidaknya suatu pemerintahan dalam suatu negara atau bahkan terhadap valid atau tidaknya suatu negara, yang dalam ilmu hukum dikenal dengan "teori identitas negara." Teori identitas negara adalah teori dalam ilmu hukum yang mengajarkan bahwa syarat-syarat dan unsur-unsur agar suatu kum- pulan manusia dapat dikatakan sebagai negara haruslah memiliki identitas tertentu, identitas mana ditetapkan oleh ilmu hukum, bu- kan oleh ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal ini, memang banyak ahli berteori bahwa identitas suatu negara ditentukan oleh ilmu hukum, bukan oleh ilmu lain Dalam hal ini, ilmu hukumlah yang memberikan identitas yang bersifat final dan bersifat "taken for granted." seperti ilmu sosiologi, psikologi, atau ilmu politik.

Adapun unsur-unsur negara yang telah ditetapkan oleh im hukum tersebut sebagai berikut: a. Adanya rakyat. b. Adanya wilayah negara. C. Adanya pemerintahan yang sah. d. Adanya pengakuan terhadap negara tersebut (unsur fakultatin Sebagaimana diketahui bahwa ilmu sosiologi menganalisis masyarakat secara faktual, kausal, dan empiris. Akan tetapi, ketika ilmu sosiologi menentukan eksistensi suatu negara, tidak pernah dianalisis dan ditentukan dalam hubungan kausal, dan tidak pula karena hasil penelitian empiris. Melainkan semata-mata karena kumpulan manusia/masyarakat tersebut oleh hukum telah dipandang memenuhi unsur dan syarat sebagai sebuah negara. Karena itu, tidak pernah ada premis misalnya sescorang merupakan merupakan warga negara secara sosiologi tetapi bukan warga negara secara yuridis, demikian juga sebaliknya. final. Bahwa ke. napa finalnya harus ditentukan oleh ilmu hukum, bukan oleh ilmu.

Jadi, pada prinsipnya, dalam hubungan dengan validitas hukum, Hans Kelsen juga berpandangan sebagai berikut (Stephen Munzer, 1972: 25) 1. Kelsen membedakan antara konsep "validitas" (validity) dengan konsep "kegunaan" (efficacy). 2. Ke dalam konsep "validitas" tercakup juga pengertian "kekuat- an memaksa" (binding force). 3. Memenuhi suatu "kriteria" tertentu adalah salah satu karakte- ristik dari validitas. Namun demikian, dalam hubungannya dengan persoalan validitas hukum, pendapat Hans Kelsen memiliki beberapa kelemahan atau kekurangannya, kelemahan, yaitu (Stephen Munzer, 1972: 25): 1. Kelsen gagal dalam menganalisis tentang konsep "manfaat" dari norma yang non-memaksa.

2. Kelsen tidak tuntas dalam menganalisis tentang perbedaan antara konsep "manfaat" (efficacy) dengan konsep eksistensi (exis- tence).

3. Ada banyak tipe aturan hukum (legal rules) dari apa yang sering Pemberian pengertian kepada "validitas" tidak cukup kompre disebut-sebut oleh Kelsen. hensif.

5. Kelsen gagal dalam menganalisis efek resiprokal antara "validi tas" dengan manfaat (Stephen Munzer, 1972: 25)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun