Mohon tunggu...
Operariorum
Operariorum Mohon Tunggu... Buruh - Marhaenism

Operariorum Marhaenism, merupakan Tulisan-tulisan mengenai ditindasnya orang Minoritas didalam realitas dan pola-pola diskriminasi yang dilakukan oleh pemilik otoriter, korporat dan kapitalissecara semenang-menang dan tidak adanya keadilan bagi kaum maniver mikro.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Teori yang Bersifat Inheren dalam Hukum

18 Maret 2021   09:04 Diperbarui: 18 Maret 2021   09:19 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Para penganut aliran positivism/legisme sama sekali tidak mengakui adanya keberaan hukum alam tersebut, sama halnya dengan para penganut ajaran utilitarisme, seperti halnya david humes Rudolph von jhering dan jeremiy benthem. Menurut pendapat paham positivisem/legisme. Hukum merupakan perintah penguasa, jadi hukum merupakan peraturan yang bersifat tertulis yang dibuat oleh para penguasa negara. Tidak ada hukum lain diluar hukum dari pada penguasa negara tersebut.

para penganut paham utilatarium berpendapat bahwa hukum yang baik itu dapat dikalkulasi dengan memperhatikan kemaslahatannya dan kemudaratannya dari keberadaan kaidah hukum tersebut karena itu, (dengan pengalaman saja) semua problem moral, politik dan hukum dapat terjawabkam. David hume, Jeremy betham, hukum alam (natural law) kontrak sosial (social contract) maupun hak-hak alamiah (natural rights)  hanya omong kosong belaka. 

Begitu pula yang dikemukakan oleh karl marx pada prinsipnya hukum alam seperti juga umunya hukum yang lain, hanyalah bentuk wujud dari perjuangan kelas dan masyarakat. Atau alat/alasan peemrintah yang digunakan oleh manusia/masyarakat yang kiat/timggi, kedudukannya/statusnya untuk menindas manusia-manusia yang tidak berdaya.

Pada abad ke 19 sampai pertengahan abad 20 hukum alam tidak terlalu dilirik oleh para ahli hukum. Kemudian pada abad 20an konsep-konsep mengenai hukum alam dihidupkan kembali (revival) dari hukum alam. Hukum alam di paruh kedua abad ke-20 tersbeut ditopang oleh adanya doktrin-doktrin :

  • Teori realism yang pada prinsipnya mengkritik dan menafikan mitos yang diajarkan oleh teori hukum saat itu. Tentang hukum alam realitas.
  • Teori hukum yang bersifat sosiologis, yang demikian mengajarkan bahwa dibutuhkan suatu hukum yang ideal untuk mengarahkan masyarakat kea rah kemajuan. Sebagaimana yang dijelaskan Roscoe Pound dengan teorinya rekayasa masyarakat (social engineering).

Menurut stammler, banhyak usaha yang telah dilakukan untuk menemukan hukum yang ideak, yang bagi orang anggota perlemen, khususnya ketika mereka membuat hukum, haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut;

  • Pembuatan putusan-putusan individu tidak boleh dibawa pengaruh kekuasaan paksaan dari pihak lain;
  • Anggota masyarakat tidaklah dapat dikeluarkan secara paksaam dari komunitasnya.
  • Kewajiban hukum yang dibebaskan terhadap umat manusia hanya dapat dibenarkan jika orang yang diwajibkan melakukan kewajiban tersebut ,asih tetap memiliki harga diri sebagai orang yang bermartabat.
  • Kewenangan mengawasi manusia hanyalah dapat dibenarkan oleh hukum jika orang tersebut masig tetap mempertahankan maka, mempertahankan harga diri dan martabat (edgar Bodenheimer, 1974;137).

Giorgio del vechhio (1878-1970), membedakan antara "konsep hukum" dan idealism hukum". Konsep hukum yakni pengaturan hukum yang berdasarkan pengalaman-pengalaman logis dalam suatu tata pergaulan hukum, yang menghasilkan "a priory datum," dengan tujuan 1.  Si dari berbagai aksi individu berdasarkan prinsip-prinsip etika dan (2) untuk mengatur hal-hal yang bersifat bilateral, keharusan (inprevate) dan pemaksaam ( coercibility).

7. dengn konsep komunal negara kotanya (polis) mempunyai semboyan bahwa manusia dan masyarakat tunduk pada satu Tuhan, satu negara, dan satu hukum.

8. ketika paradigma manusia bertumpu pada konsep sekuler "berkebetulan" sebagaimana diajarkan oleh Charles Darwin, diteruskan oleh Kral Marx, Lenin, Stalin, Mao Tse Dong, dan para pemimpinan komunis lainnya.

9. ketika pola piker manusia bersifat kritis, apatis, pesimis, dan pragamtis (diabad ke-21) maka kaidah hukum alam pun ditafsirkan secara kritis, apatis, pesimis, dan pragmatis, yang menyebabkan semakin lunturnya kepercayaan yang diberikan kepada hukum ala mini.

10. akan etapi gejala lain dari abad ke-21 bahwa bangkitnya kembali agama, maka ada pula gejala bahwa penafsiran hukum alam yang dikaitkan kembali dengan kepercayaan terhadap Tuhan/agama.

Keberagaman penafsiran terhadap ke dalam tiga ketegori sebagai berikut (edgar Bodenheimer, 1974:140);

  • Individuisme ; dalam hal ini, individualisme merupakan salah satu tujuan utama dari hukum, yaitu tujuan untuk pengembangan persoalan kemanusiaan yang individual (individual human personality)
  • Supraindividualisme ; dalam hal ini yang merupakan tujuan utama dari hukum adalah pencapaian kebanggaan dan kekuatan nasional.
  • Transpersonalisme ; adapun ketia tujuan hukum utama adalah hal-hal yang bersifat transpersonalisme, adalah pada saat hukum mendorong berkmebangnya suatu peradaban dan kebudayaan.

Kritik Terhadap Hukum Alam. Akan tetapi, melihat kepada kenyataan tentang eksistensi hukum alam yang sudah sejak awal, peradaban manusia maka sulit kiranya jika manusia tiba-tiba membantah eksistensi hukum alam, baik itu pada saat suatu negara sedang menjugkir balikan penafsiran terhadap hukum alam oleh para penguasa tiran bertangan besi yang zali, maupun oleh para penguasa yang bijak saat negara sedang diperintahnya.

Secara prinsipnya ilmu pengetahuan alam (since) berkenaan dengan hukum-hukum alam sekalian kata terakhirnya yakni moralitas, dan agama pada prinsipnya adalah suatu moralitas plus cerita-cerita, sedangkan ilmu-ilmu sosial pada prinsipnya berkenan dengan masalah-masalah kemaysrakatan dengan kemasannya dalam bentuk teori-teori selayang pandang dan juga plus moralitas.

Dalam hubungan antara faktor moral dan faktor tersebut, beberapa istilah muncul dalam implementasinya;

  • Hukum kebebasan (laws of freedom)
  • Hukum alam
  • Hukum moral
  • Hukum reason
  • Juridicial
  • Ethical
  • Legalitas
  • Moralitas

Paham yang begitu kuat tentang moral adalah paham yang menyatakan bahwa moralitas sosial memiliki karakter berupa "nilai" yang suci yang merupakan kebajikan yang abadi, yang bersumber pada akal dan pikiran manusia (humas reason). Ditelitik dari segi ini, maka kaidah moral menjadi prinnsip dengan dengan kaidah hukum alam beda antara kaida hukum alam dan kaidah hukum moral dengan kaidah hukum alam aalah bahwa kaidah hukum alam menempati tempat di "dalam" hukum itu sendiri, dengakan kaidah moral berada diluar hu

Dalam pandangan sokretes bahwa terdapat tiga bagian yakni

  • Moral filosofis.
  • Moral religious.
  • Moral komunal.

Ketika unsure moral dipernoalkan, maka moral tidak lain daroi segala suatu yang baik, dam sesuatu uang itu menjadi baik manakala ia dapat berfungsi sebagaimana baiknya, yaitu akan berguna bagi masyrakat atau dia menjalankan fungsi secara efisien. Contih kasusnya seorang harim akan dikatakan sebagai haik yang baik amnakala dia dapat menjalankan tugasnya sebagai hakim dengan baik yaitu  dia dapat memeriksa perkara secara efisien dan dapat memberikan keadialan yang maksimum bagi mereka yang berhak atas keadilan tersebut. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hakim tersebut telah menjalankan perintah moralnya.

Moral universal yakni prinsip-prinsip yang mengatur sikap tindak manusia yang berasal dari alasan-alasan kemanusiaan (human reason) yang berlaku dimanapun, dinegara manapun, atau didaerah manapun di dunia ini. Bersifat universal karena berlakuknya tidak ada batasan oleh dimensi ruang tertentu. Dikatakan moral situation yakni moral yang merupakan prinsip-prinsip hidup tertentu yang diketemukan oleh manusia secara rasional berdasarkan akal pikirannya (human reason).

Jika dilihat dari pendekatannya, maka moral atau etika itu dapat dibagi kedalam beberapa model sebagai berikut;

  • Moral transcendental/supernatural
  • Moral intuitif
  • Moral logis/naturalistic
  • Moral pragmatis
  • Etika knonkongnitif

Dengan moral transidentall, yang yang dimaksudkan adalah abhwa kaidah-kaidah mana yang baik dan mana yang buurk yang ditentukan berdasarkan criteria hukum-hukum Tuhan atau bersrdasarkan kepada alasan lkemanusiaan yang universal dan kekal Selanjutnya yang dimaksudkna dnegan morak intutitif merupakan kaidah tentang baik dan buruknya diukur dengan saat institusi dari manusia, yaikni ettika terhadap hal-hal tertentu dimana proposisi dasarnya yang brisfat intuitif dan bersifat unik, yang tidak dapat disimpulan dar ilmu manapun. Moral yang logis yaitu/naturalistic dalah mana yang baik dan buurk dilihat dari pemikiran manusia, dan yang dimasukadkan dengan dengan moral yang pragmatus yaitu moral yang didasari atas hal-hal yang logis yang diarahkan oleh nilai-nilai tertentu yang sebelumnta telah ditetapkan dengan sadar. Moral non-kongnitif yakni konsep-konsep moral yang tidak dapat didasari atas prinsip-prinsip rasional logis. Teori moral dengan paham positifus hukum suatau persoalan yang paling fundamental adalah apakah validitas hukum positif harus didukung oleh kaidah-kauidah moral.

            hukum yang eksklusif yang lebih moderat berpan lalulah dangan bahwa praktik ke masyarakat masa kini dan masa nya). Di luar yang menentukan apakah hukum itu (das Sein) setelah dirumuskan dalam undang-undang dan setelah aturan tersebut dilaksanakan, faktor moral hanya memberikan sumbangannya kepada apa yan. "seharusnya" menjadi hukum yang ideal (das Sollen).

Artinya, jika ada kaidah hukum positif yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan faktor moral, bisa jadi kaidah hu. kum positif tersebut menjadi tidak valid.

Selanjutnya, yang merupakan perbedaan utama antara moral dan hukum, terutama hukum dalam pandangan kaum positivisme adalah bahwa berbeda dengan moral, maka hukum memiliki:

1. Kejelasan otoritas pembuatnya.

2. Kejelasan otoritas pelaksananya.

3. Kejelasan unsur paksa.

4. Kejelasan legitimasi dan validitasnya.

Selanjutnya, kita dapat juga membeda-bedakan etika ke dalam beberapa pengertian sebagai berikut (B. Arief Sidharta, 2009: 14):

  • Etika normatif.
  • Etos (moral kritikal).
  •  Moralitas positif.
  • Meta etika.

Dengan etika normatif an bagi manusia untuk menilai apakah sikap tindak manusia terse- but baik atau buruk. Karena etika (normatif) sejak lama dianggap merupakan bagian dari filsafat, maka terhadap etika normatif ini terdapat berbagai macam tafsiran sesuai arah paham filsafat yang dianut oleh masing-masing ahli. Misalnya, paham etika dari Immanuel Kant memiliki sifat formal. Adapun etika dari Hegel memi- liki konotasi tentang realisasi dari kebebasan di dalam masyarakat. Dan, paham etika dari Max Scheler diartikan sebagai perwujudan nilai-nilai bagi manusia, seperti nilai kehidupan, nilai kesusilaan. atau nilai kepribadian). Selanjutnya, dengan etos (moral kritikal) yang dimaksudkan adalah bahwa penampilan nilai-nilai etika normatif ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Adapun yang dimaksud dengan morali- tas positif adalah serupa dengan pengertian etos. Hanya saja, dengan moralitas positif penekanannya adalah kepada apa yang "benar-benar" dipraktikkan dan terjadi dalam masyarakat, sementara dengan istilah "etos" penekanannya lebih kepada apa yang seha- >> rusnya" terjadi dalam masyarakat.

 Dan, dengan istilah "meta-eti- ka" sesuai namanya, maka yang dimaksudkan adalah cakupan dari semua jenis etika yang telah disebutkan di atas tersebut. Selanjutnya, ada juga yang menggolong-golongkan norma ke dalam tiga bidang sebagai berikut (W. Friedmann, 1967: 26):

1. Norma nilai (value) individu.

2. Norma moral masyarakat.

3. Norma ketertiban (order) hukum.

Di samping itu, ada juga yang disebut dengan norma keter- tiban umum, yang merupakan pengaturan secara hukum (umum- nya dengan sanksi hukum) baik terhadap nilai individu maupun terhadap moralitas masyarakat. Kemudian, ditinjau dari segi operasionalnya, dalam suatu moral, terdapat beberapa fenomena, yaitu:

  • Fenomena bahwa antara moral dan hukum sering dipercampuradukkan.
  •  Fenomena bahwa masyarakat sulit membedakan antara meral dengan hukum. moral identik dengan etika.
  •  Fenomena tentang kesimpangsiuran pendapat tentang apakah
  •  Fenomena bahwa ke dalam ruang lingkup moral itu sendiri, terdapat banyak sekali ruang-ruang abu-abu (grey area) yang oleh sebagian ahli dikatakan bahwa hal tertentu termasuk bi- dang moral, tetapi ahli yang lain menyatakan bahwa itu tidak termasuk bidang moral.
  •  Fenomena bahwa bahkan terhadap hal yang sudah pasti ma- suk ke rung lingkup moral/etika sekalipun, masih banyak keti- dakjelasan dan perbedaan pendapat tentang hubungan antara moral dengan bidang-bidang lainnya, seperti hubungannya de- ngan agama, hukum, dan adat istiadat.
  • Fenomena bahwa adanya perbedaan pendapat tentang apakah moral merupakan sesuatu prinsip yang kekal dan ada dalam alam yang menuntut kesadaran akal manusia untuk dapat menemukan prinsip-prinsip moral tersebut. Atau apakah moral hanya merupakan suatu ekspresi sikap tindak dan hasrat manusia yang baik yang dipikirkan dan karenanya diciptakan oleh manusia itu sendir

HAKIKAT DARI TEORI MORALITAS HUKUM

 Kaidah-kaidah moral akan mendapat pengakuan dan opera- sionalisasi yang kuat manakala dapat di back-up oleh sektor hukum. Tentang sejauhmana sektor hukum harus dapat menjalankan kaidah moral, bila perlu secara paksa (dengan sanksi-sanksi hukum), terdapat dua aliran mainstream sebagai berikut: (HLA Hart, 1963: 48).

1. Aliran ekstrem, dan

2. Aliran moderat.

Aliran ekstrem menyatakan bahwa pelanggaran moral haruslah ditegakkan oleh hukum (diberikan sanksi hukum), karena dengan pelanggaran moral persesudah berarti jelek, meskipun barangkali dengan pelanggaran moral tersebut tidak ada atau belum ada pihak lain yang dirugikan.

Misalnya terhadap pelanggaran moral dalam hubungan dengan masalah seks yang dilakukan oleh orang-orang homoseksual/lesbian dewasa, tanpa merugikan pihak lain mana pun, maka meskipun begitu, pelanggaran seperti itu telah dianggap bersalah sehingga dapat diberikan sanksi-sanksi hukum. Di samping itu, faktor moral dapat juga berfungsi sebagai penyebab orang-orang menaati hukum. Dalam hal ini, orang yang atnya moralnya. Jadi, tidak mematuhi hukum (yang diyakini baik bermoral akan lebih mematuhi hukum dari orang yang kurang dan benar) itu juga dianggap tidak baik secara moral Akan tetapi, tentu saja alasan moral bukanlah satu-satunya alasan kenapa orang menaati hukum. Karena masih banyak alasan lain selain alasan moral tentang kenapa orang menaati hukum,

seperti alasan-alasan sebagai berikut:

1. Alasan karena mengikuti hukum adalah perintah Tuhan bagi orang yang percaya pada agama.

2. Karena kebutuhan untuk jangka panjang.

3. Karena sudah menjadi tradisi untuk selalu mengikuti hukum.

 4. Karena keinginan berbuat seperti juga yang dibuat oleh orang lain.

5. Karena takut akan sanksi-sanksi hukum.

6. Karena takut dikucilkan oleh masyarakat.

Namun demikian, ketika kita pertanyakan tentang hubungan, fungsi bahkan eksistensi dari unsur etika ke dalam bidang hukum, jawabannya berbeda-beda satu sama lain tergantung paham atau dianut. Penganut paham hukum alam aliran hukum yang mana yang yang sangat mengakui fungsi dan eksistensi unsur etika dalam bi- dang hukum, baik dari segi hukum substantif maupun dari segi hu- kum prosedural. Adapun berdiri di ujung ekstrem yang lain adalah paham hukum positivisme/legisme (seperti yang dianut oleh Hans Kelsen atau John Austin), yang sama sekali tidak mengakui fungsi dan eksistensi etika/moral di dalam hukum. Karena, sebagaimana diketahui bahwa aliran positivisme sangat mengagung-agungkan hukum tertulis yang hanya bersandarkan kepada kaidah-kaidah dan aturan hukum tertulis yang notabene dibuat oleh manusia saja.

Tidak ada hukum lain di luar itu, sehingga tidak ada juga yang namanya hukum alam, dan faktor etika tidak relevan bagi hukum. Adapun paham-paham lain mengakui fungsi dan eksistensi etika dalam hukum meskipun tidak sekuat yang diakui oleh para peng- anut paham hukum alam.

Polemik tentang dari mana asalnya moral berjalan seiring de ngan polemik dari mana asalnya hukum. Banyak teori yang tercipta untuk menjawab pertanyaan dari mana asal atau sumber dari moral tersebut antara lain:

1. Teori teologis.

 2. Teori akal budi.

 3. Teori sosiologis.

 4. Teori historis

 Teori teologis dalam hal ini mengajarkan bahwa sebenarnya moral berasal dari ajaran agama (dari Tuhan). Karena itu, mana yang dianggap bermoral tinggi (dianjurkan bahkan diharuskan un-/ tuk dilakukan), mana yang tidak melanggar moral (sehingga tidak dilarang untuk dilakukan), dan mana yang melanggar moral (sehingga dianjurkan untuk tidak dilakukan, bahkan dilarang untuk dilakukan) kesemuanya tersebut berasal dari Tuhan, yang untuk kepastiannya harus disimak dalam kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab-kitab suci dan/atau dalam apa-apa yang diajarkan oleh para nabi utusan Tuhan ke dunia ini.

Kemudian, teori akal budi dalam hal ini mengajarkan bahwa tentang apa-apa yang dianggap bermoral dan apa-apa yang dianggap pelanggaran moral, sebenarnya ditentukan oleh akal budi dan rasio manusia (human reason) tanpa perlu instruksi atau intervensi dari Tuhan.  Dengan menggunakan akalnya yang rasional, manu- sia dianggap cukup mampu untuk mengerti mana yang dianggap Selanjutnya, teori sosiologis mengajarkan bahwa mana-mana yang dianggap bermoral dan mana-mana yang dianggap melanggar moral, bukanlah merupakan hal yang kekal, tetapi selalu berubah- ubah dan berbeda-beda dari satu tempat ke rempat yang lain, dari bermoral dan mana yang dianggap pelanggaran moral di dunia ini.

mikiran yang hidup dalam masyarakat tersebut. ajarkan bahwa perbuatan mana yang dianggap bermoral dan Untuk menjawab pertanyaan dari mana asal atau sumber dari moral tersebut terdapat juga teori historis.

satu daerah ke daerah yang lain, sesuai dengan perkembangan pe- mikiran yang hidup dalam masyarakat tersebut. Untuk menjawab pertanyaan dari mana asal atau sumber dari moral tersebut terdapat juga teori historis. Teori historis ini mengajarkan bahwa perbuatan mana yang dianggap bermoral dan per- buatan yang bagaimana yang dianggap tidak bermoral dalam suatu kehidupan masyarakat, semuanya sudah lama ada dalam masyarakat, yang dapat ditelusuri dalam sejarahnya. Perkembangan tentang apa vang bermoral dan apa yang tidak bermoral, dan perkembangan tentang kesadaran moral dari masyarakat mengikuti perkembangan historis dari masyarakat tersebut. Terhadap masyarakat di suatu negara yang historisnya matang dalam kaitannya dengan penegakan moral tersebut, maka kesadaran orang-orang di situ, antara lain harus memerhatikan dan melaksanakan kaidah-kaidah harus tetap dijaga dalam komunitas tersebut, tergan- sudah moral yang tung kepada sebaik apa moralitas masyarakat tersebut terbentuk tahap demi tahap dalam perkembangan kesadaran dalam historis bangsa tersebut, yakni kesadaran untuk tidak melanggar prinsip-prinsip moralitas yang ada. Selanjutnya, dalam konteks hubungan antara sektor hukum de- ngan sektor moral, setidak-tidaknya ada empat persoalan besar yang harus dijelaskan oleh ilmu hukum, yaitu sebagai berikut (HLA Hart, 1963: 1):

1. Pertanyaan dari segi historikal: Apakah ketika hukum dibuat, faktor moral ikut memengaruhinya. 2. Pertanyaan dari segi analitikal: Apakah unsur moralitas ikut campur dalam menentukan terhadap layak tidaknya suatu 

3. Pertanyaan dari segi kritik: Apakah hukum terbuka terhadap kritikan-kritikan yang bersifat moral. buah sistem hukum.

kah pelanggaran moral dapat diproses berikan sanksi hukum. hukum secara dan 4. Pertanyaan dari ketegakan hukum (law enforcement): Apa to Terhadap persoalan apakah ketika hukum dibuat, faktor 1 ikut memengaruhinya, pada umumnya jawabannya adalah y moral tor moral memang ikut memengaruhinya, baik pada pembuatan nya, sek. dalam pemu hukum di parlemen, maupun ketika hukum tercipta Selanjutnya, terhadap persoalan apakah unsur moralitas ikut tusan kasus-kasus di badan-badan pengadilan. campur dalam menentukan terhadap layak tidaknya suatu sistem hukum, atau apakah antara moral dan hukum adalah ranah sebenarnya berbeda tetapi kadang-kadang overlapping, ataupun apakah sektor hukum dan moral memiliki konsep yang sama ten- tang hak, kewajiban, tugas, sanksi, kepatuhan, dan lain-lain. Dalam hal ini, jawabannya akan terbagi ke dalam dua kubu, yaitu kubu dari penganut paham hukum alam, dan kubu yang menganut paham hukum positivisme. Jawaban dari kubu para penganut hukum alam lebih menekankan pentingnya peranan unsur moral dalam hukum, sehingga unsur moral harus selalu diperhitungkan dalam mengambil putusan-putusan hukum.

Adapun jawaban dari kubu para penganut paham hukum positivisme adalah bahwa unsur moral tidak perlu diperhitungkan ketika suatu putusan hukum diambil, sebab yang dimaksud dengan hukum hanyalah apa yang ditulis dalam peraturan hukum saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Adapun terhadap persoalan apakah hukum terbuka terhadap kritikan-kritikan atau pengujian-pengujian yang bersifat moral, sampai batas-batas tertentu hukum memang terbuka terhadap kritikan-kritikan moral, yakni dalam hal-hal urgensi dari unsur moral tersebut berada pada derajat tertentu sehingga menjadi unsur yang juga harus diatur dan disediakan sanksinya oleh hukum.

Kemudian terhadap persoalan apakah pelanggaran moral dapat diproses secara hukum dan diberikan sanksi hukum, maka jawabannya mirip dengan jawaban untuk nomor tiga tersebut di atas, yang sedemikian urgen, maka bahwa terhadap unsur-unsur moral an hukum, karenanya sanksi hukuman oleh hukum pantas diberlakukan sehingga hukumannya menjadi jauh lebih berat. Dalam hal pelanggaran moral seperti itu dapat disebut juga sebagai pelanggar ini, pelanggaran moralitas publik hampir selamanya merupakan juga pelanggaran hukum.

Yang jelas, suatu perbedaan utama yang paling nyata di antara moral dan hukum adalah ketika kita melihat asal muasal suatu ke- wajiban. Jika itu merupakan kewajiban hukum, maka kewajiban itu berasal dari eksternal pelakunya. Karena itu, ketika dianggap ada- nya kewajiban hukum, maka kewajiban tersebut ada, tanpa perlu memperhitungkan faktor internal seperti maksud, motif, dan lain- lain faktor internal. Adapun suatu kewajiban moral justru digerak-

Namun demikian, antara faktor moral dengan faktor hukum terdapat suatu hubungan fungsional antara lain: 1. Moral diperlukan ketika hukum menjadi sempit dan kaku. 2. Moral merupakan dasar dari otoritas hukum. 3. Moral menyediakan kaidahnya dalam penciptaan hukum. 4. Moral mengisi kekosongan hukum dan mambantu penafsiran hukum. 5. Moral mengarahkan hukum ketika hukum mengalami kontra- diksi internal, dogmatisme, dan irasionalitas. Pemenuhan unsur moral merupakan kriteria bagi suatu kaidah 6. hukum yang bagus.

Di samping itu, ketika ada penafsiran hukum, maka ketika pe- nafsiran hukum itu sendiri harus menggunakan berbagai sumber, salah satunya adalah moral. Akan tetapi, ketika misalnya penafsiran hukum didasari pada faktor yang lain, seperti faktor maksud pa- asalah- ra pembuat hukum, maka tentu tidak terbesit dalam pikiran para pembuat hukum bahwa hukum dibuat secara bertentangan dengan moral. Karena itu, panafsiran terhadap hukum tersebut harus sela- manya tidak boleh ada pertentangan dengan faktor moral tersebut. Kemudian, jika dilihat dari segi teoretis, dikenal apa yang dise- but dengan teori etika nonkognitif. Adapun yang dimaksud dengan dak dapat diverifikasi atau diukur dengan menggunakan metode lo- moral nonkognitif adalah bahwa kaidah-kaidah moral tersebut ti- gis atau empiris. Selanjutnya tentang yang lebih penting antara moral de- ngan hukum, memang, dahulunya, di masa Yunani, orang memandang moral jauh lebih penting dari hukum. Tetapi sejak zaman Romawi, hukum justru dipandang jauh lebih penting dari moral, sehingga begitu banyak hukum dan undang-undang yang dibuat di masa Romawi.

Kemudian, Jika dengan teori hukum formalisme sebuah ua dang-undang yang dibuat oleh parlemen harus diterapkan dan di jalankan oleh penegak hukum secara apa adanya (secara harfiah) maka teori hukum progresif/responsif mengajarkan bahwa para penegak hukum dapat menyesuaikan aturan-aturan tertulis dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat, yang apabila perlu hakim dapat mengubah undang-undang bahkan menciptakan ketentuan yang baru. Di samping itu, Mahkamah Agung juga biasanya miliki hak uji materiel, yakni hak untuk menguji apakan sebuah peraturan tertulis (yang berada di bawah undang-undang) berten- tangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

1. Prinsip konsistensi/kepastian hukum (hukum tidak selalu ber- ubah-ubah berbeda-beda).

2. Prinsip demokrasi. Hukum harus dibuat oleh wakil rakyat (par-

3. Prinsip trias politica (pengadilan hanya menerapkan hukum) lemen).

4. Prinsip larangan retroaktif (hukum tidak boleh berlaku surut). CULS

5. rinsip subjektivitas dan non-netralitas pengadilan.

6. Prinsip non-transparansi pengadilan.

7. Prinsip keterasingan pengadilan.

Dewasa ini hukum dan moral dianggap saling overlapping. Sehingga bila ditinjau dari sifat dan ruang lingkup masing-masing moral dan hukum, maka hubungan antara hukum dan moral men- jadi sebagai berikut:

1. Secara garis besarnya, hukum dan moral menjelajahi wilayah yang sama. Misalnya, jika ada larangan terhadap mencuri atau membunuh, maka larangan tersebut merupakan larangan se- cara hukum di samping juga larangan secara moral.

2. Moral merupakan pelengkap dari hukum. Ketika ada bahwa hukuman terhadap pezina adalah hukuman penjara, bukan dicambuk atau dirajam, maka hal tersebut lebih merupakan kai- dah hukum dari kaidah moral.

3. Tetapi bisa juga hukum yang justru merupakan pelengkap dari moral. Misalnya, ketika ada ancaman pidana terhadap orang yang membiarkan saja (tidak mau menolong) orang lain yang lagi sekarat sehingga dia mati, maka hal tersebut lebih meriulengkap saja. pakan kaidah moral sehingga larangan oleh hukum hanya pe- Misalnya ketika ada kaidah bahwa orang pejalan kaki harus

 4. Ada wilayah hukum yang tidak ada hubungannya dengan moberialan di sebelah kiri jalan, hal tersebut adalah kaidah hukum dengan tujuan untuk mencapai ketertiban dalam berlalu lintas tidak ada kaitannya dengan moral.

 5. Tetapi ada juga wilayah moral yang tidak ada kaitannya dengan hukum. Misalnya kaidah moral bahwa ketika berbicara harus dengan bahasa yang sopan. Hal tersebut adalah kaidah moral yang tidak berkaitan dengan wilayah hukum. Karena seseorang itu, orang yang berbicara tidak sopan atau kurang sopan, tidak dapat diberikan sanksi hukum, sepanjang tidak sampai meng- hina atau mencemarkan nama baik orang lain.

A. TEORI KEDAULATAN

 Apa yang dimaksud dengan kedaulatan (souvereignity) adalah kekuasaan yang tertinggi, absolut, dan tidak ada instansi lain yang dapat menyamakannya atau mengontrolnya, yang dapat mengatur warga negara dan mengatur juga apa yang menjadi tujuan dari suatu negara, dan mengatur berbagai aspek pemerintahan, dan melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara, termasuk tetapi tidak ter- batas pada kekuasaan membuat undang-undang, menerapkan dan menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak, men- ciptakan perdamaian dan menyatakan perang, menandatangani dan memberlakukan traktat, dan sebagainya.

Selain daripada itu, terdapat juga suatu teori umum dalam hukum yang mengasumsikan bahwa di setiap masyarakat yang di dalamnya tentu terdapat hukum, selalu ada yang disebut dengan "pihak pemangku kedaulatan" (sovereign person). Asumsi hukum ini sangat mendasar dan fundamental dalam setiap sistem hukum.

Pihak pemangku kewenangan ini dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan "pejabat yang berdaulat," baik pejabat formal mau- pun pejabat informal, baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Para Pajabat berdaulat inilah yang masing-masing akan merancang, mambuat, menemukan, menafsirkan, menerapkan, dan menegak- kan hukum dalam suatu negara dan masyarakat. Pembahasan hu- kum tentang "kedaulatan" (sovereignity) memunculkan suatu teori yang disebut dengan "teori kedaulatan" atau yang oleh HLA Hart di- sebut dengan istilah "the doctrine of sovereignity" (HLA Hart, 1981: )

Herbert Lionel Adolphus Hart yang merupakan ahli hukum berpengaruh besar di abad ke-20 yang berpaham liberal positivisme dan utilitarisme, beraliran kiri, lahir di Inggris dari keluarga Yahudi campuran Jerman-Polandia pada tahun 1907 dan meninggal di Ing- gris pada tahun 1992 dalam usia 85 tahun. Berpendidikan hukum dari Universitas OXxford, Inggris, mengawali profesi sebagai peng- acara, masuk militer bagian intel di M15 Inggris, kemudian menjadi dosen filsafat hukum di Universitas. Oxford, yang setelah pensiun.

dan pemikiran Hart tentang hukum, sehingga dia dapat menghasil. kan karya-karya besar, di antaranya yang paling terkenal adalah bu kunya yang bejudul The Concept of Law (pertama terbit tahun 1961), yang merupakan kumpulan kuliahnya sejak tahun 1952. Sesuai dengan pendapat HLA Hart tersebut, maka apa pun ben- tuk pemerintahan, seperti pemerintahan yang demokratis, totaliter. autokrasi, republik, kerajaan, semuanya tidak mungkin berlang- sung dalam suatu negara tanpa adanya unsur kedaulatan, karena ada yang namanya pemangku kedaulatan, dalam negara demo- krasi kedaulatan dipangku/dipegang oleh rakyat, tetapi di dalam negara totaliter, kedaulatan dipegang oleh penguasa, sementara negara teokrasi, kedaulatan ada di tangan Tuhan. Di samping itu, di dalam hukum berlaku juga dengan cukup kuat unsur "keterusan" (continuity), yang tidak gampang untuk di- ubah-ubah. Karena itu banyak pranata hukum yang sebenarnya ti- dak sesuai lagi atas hukum akan mendapat tantangannya dalam sistem hukum sendiri, utamanya karena dalam sistem hukum tersebut terdapat un- sur keterusan/kontinuitas (continuity) atau unsur persistensi. Per- sistensi ini umumnya dijaga dengan baik oleh para pemegang ke- daulatan dalam suatu negara. Keadaan seperti ini sangat terasa di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, ingat suatu perubahan hukum di sana umumnya dilakukan oleh

hakim, yang sebenarnya kurang berani mengubah hukum secara terang-terangan, kecuali melalui selubung "penafsiran hukum" Ka- rena itu, misalnya di bidang hukum kepemilikan tanah, banyak sis- John Austin disebut dengan istilah "kabiasaan umum untuk patuh" (general habit of obedience) (HLA Hart, 1981: 109). Karena itu, ketika suatu hukum sudah mulai diberlakukan dan diumumkan sehingga diketahui oleh publik, maka akan timbul suatu rasa kewajiban un- tuk mengikutinya, meskipun ada orang yang sukar atau bahkan ber- pendapat bahwa tidak logis untuk mengikuti kaidah hukum terse- but, karena banyaknya kelemahan yang terdapat dalam aturan hu- kum tersebut, Biasanya, dalam sistem hukum seperti itu, meskipun ada teriakan-teriakan tentang ketidaksetujuan rakyat,

bersangkutan, dan akan tetap dipertahankan dan diberlakukan oleh kum tersebut diubah, dia akan tetap berlaku bagi masyarakat yang pemegang kedaulatan dalam negara tersebut. B. TEORI PERINTAH Dalam hubungan dengan teori perintah ini, salah satu peng anut paham positivisme yaitu John Austin, menyatakan bahwa: (M.P Golding, 1966: 90): Dengan demikian, maka terhadap perintah oleh seorang pe- mangku otoritas, selama perintah tersebut sah secara hukum dan di- lakukan sesuai dengan dan tidak melampaui kewenangannya yang diberikan oleh hukum, sehingga karenanya disebut sebagai "pe- rintah hukum" maka perintah tersebut wajib dijalankan dan yang mengabaikannya dapat dikenakan sanksi hukum.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan perintah adalah suatu kehendak yang mesti dituruti atau pengarahan yang sifatnya wajib dilakukan yang dikeluarkan oleh seorang pemangku otoritas yang diberikan oleh hukum sesuai jabatannya dalam men- jalankan kewenangannya untuk dipatuhi oleh masyarakat yang menjadi bawahannya dengan tujuan untuk mencapai suatu tujuan bersama, dengan sanksi tertentu jika tidak menjalankan perintah tersebut. Seperti perintah penguasa negara terhadap rakyatnya, perintah guru terhadap mu- ridnya, perintah ayah terhadap anaknya, dan perintah majikan ter- hadap buruh.

Beberapa konsep yang satu sama lain berbeda arti dan penekan- an, yang terbit dari suatu perintah antara lain Virginia S. Thatcher, 1971: 165):

1. Komit terhadap sesuatu.

2. Menyuruh (order) berdasarkan otoritas yang dimilikinya.

3. Memaksa untuk dijalankan (injunction).

4. Mengarahkan (direct).

5. Menuntut (Charge).

6. Menjalankan perintah atasan.

7. Mengontrol.

8. Mendominasi.

9. Memandang rendah

10. Membersihkan Mandat

11. Memaksa

Dalam hal ini, perintah utamanya dimaksudkan bukan untuk ditakuti tetapi untuk dihormati. Perin- tah seperti inilah yang dimaksudkan oleh hukum, yang dalam hal hukum dianggap sebagai "perintah" yang harus dijalankan oleh orang yang menjadi objek pengaturan hukum. Jadi, seperti perin- tah undang-undang untuk berjalan di sebelah kiri jalan, tetapi bu- kan seperti perintah perampok untuk menyerahkan uang dengan todongan pistol di kepala. Dalam mengartikan hukum sebagai pe- rintah tersebut, ada perbedaan pandangan antara HLA Hart de- ngan John Austin. Dalam hal ini, Hart lebih memandang perintah (command) hukum hanya seperti perintah oleh undang-undang di atas, sedangkan Austin lebih mengartikan perintah baik perintah oleh undang-undang maupun perintah oleh perampok tersebut. Pa-

adahal, perintah oleh perampok tersebut sudah menjurus kepada tindakan paksaan oleh pihak yang tidak mempunyai kewenangan hukum. Perintah (command) hukum tersebut berbeda dengan "imbau- an" (suggestion), "permintaan" (request), "peringatan" (war-ning), "suruhan" (order), "ancaman" (threat) dan "paksaan" (force), antara lain: 1. Perintah (command), berisikan sebuah keharusan yang dituju- kan terhadap semua orang dalam kelas atau syarat yang sama. Misalnya dalam contoh perintah undang-undang untuk berja- lan sebelah kiri jalan tersebut. 2. Imbauan (suggestion) adalah berupa anjuran atau saran agar seseorang "sebaiknya" melakukan sesuatu. Misalnya imbauan pemerintah agar masyarakat hidup hemat agar tidak terjadi in- flasi, atau apa yang dikenal dengan imbauan pemerintah untuk "mengencangkan ikat pinggang." Dalam hal ini, jika imbauan tidak dilaksanakan, tidak ada sanksi apa-apa. Permintaan (request) berarti lebih dari sekadar imbauan. Da- 3. lam hal ini, orang yang diminta tersebut meminta kepada orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, permintaan dari orangtua agar anaknya rajin belajar. Maka, ji- ka permintaan tersebut tidak dilaksanakan/dipatuhi, akan ada sekadar pembalasan meskipun bersifat ringan, misalnya uang saku si anak tidak ditambah, karena orangtuanya merasa ke- 4. Terhadap peringatan (warning) yang dimaksudkan adalah bah- wa anjuran agar seseorang tidak melakukan sesuatu atau harus melakukan sesuatu sehingga apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka akan terjadi sesuatu yang negatif bagi orang

yang bersangkutan. Dalam hal ini, hal negatif tersebut tidak se- lamanya berasal dari orang yang memberi peringatan tersebut. Misalnya, peringatan agar tidak mandi di pantai terlalu jauh mengingat ombaknya berbahaya. hal ini berarti bahwa antara orang yang menyuruh dan 5. Ada juga yang disebut dengan suruhan (order). Suruhan dalam orang yang disuruh saling berhadap-hadapan. Misalnya ketika polisi "telah" melanggar aturan meminta agar pengendara motor yang lalu lintas untuk menghentikan motornya dan meminta untuk diperlihatkan surat izin mengemudi kepada polisi tersebut. Ter hadap istilah suruhan (order) ini, oleh HLA Hart disebut de ngan istilah "suruhan memaksa" (coercive order) (HLA Hart. 1981: 20). 6. Selanjutnya, yang dimaksud dengan ancaman (threat) adalah perintah agar dilakukan atau tidak dilakukan sesuatu yang sertai dengan pemberian tidak dipatuhi. Karena itu, pemakaian kata "ancaman pidana" dalam berbagai undang-undang pidana dalam hal ini tidak tepat, karena ancaman pidana masih meru- pakan "ancaman hukum" bukan ancaman "nonhukum" Untuk istilah "ancaman pidana" seperti itu, sebenarnya yang dimak- sudkan hanyalah "akibat hukum" berupa sanksi pidana bagi ba- rangsiapa yang tidak mematuhinya. 7. Akhirnya, yang dimaksud dengan paksaan (force) adalah rintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu vang menyebabkan orang tersebut berada dalam tidak ada pilihan pekecuali menuruti apa yang disuruh lakukan kepadanya. Kalau.

pun ada pilihan, adalah berat sekali, misalnya pilihannya adalah orang tersebut akan mati. Misalnya dalam kasus tersebut di mana perampok meminta uang dengan pistol sudah diarahkan ke kepala.

 Hukum memberlakukan masing-masing kategori dari istilah sesuatu perbuatan pidana tetapi dilakukannya itu karena "dipaksa orang lain, maka dia dimaafkan sehingga terbebas dari hukuman nidana karena "overmacht. Atau, pihak dalam kontrak tidak me- tersebut secara berbeda-beda. Misalnya, orang yang melakukan anggap wanprestasi jika dia melakukannya karena terpaksa (force majeure). Di samping itu, terdapat juga aturan hukum yang isinya memerintahkan (command) untuk melakukan atau tidak melaku- kan (melarang) sesuatu, dengan akibat hukum tertentu jika dilang- menuhi suatu pasal dalam kontrak yang sudah dibuatnya tidak di- garnya. umum). Dalam hal ini, aturan hukum memberikan perintah terhadap masyarakat dalam kelas atau syarat yang sama, misalnya dengan menggunakan kata "barangsiapa", sehingga suatu aturan hukum tidak pernah meng- atur khusus atau menunjuk khusus untuk pribadi tertentu atau orang yang sudah tertentu, misalnya dengan penyebutan "Si Badu" atau "Tuan Budi." Jika penyebutan nama dilakukan, ini sudah ma- suk ke ranah "penerapan" atau "penegakan" terhadap aturan hukum tersebut, sehingga sudah menjadi suruhan hukum (order) terhadap diatur oleh aturan hukum orang tertentu yang termasuk ke dalam kategori sebagaimana yang

 Teori hukum Islam mengatur masalah "perintah" untuk melaku. kan atau tidak melakukan suatu tindakan secara lebih sistematis jika dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon. Hukum Islam mengategorikan suatu tindakan manu- sia (berbuat atau tidak berbuat) ke dalam kategori-kategori sebagai berikut: 1. Perbuatan Wajib. Dalam hal ini, jika perbuatan tersebut dilaku. kan akan mendapat pahala, sedangkan perbuatan tersebut ditinggalkan akan mendapat dosa. umum. Misalnya manusia wajib menutup aurat. Sebaliknya untuk pengertian "pa- hala", tidak ada pranata hukum yang sepadan dalam sistem hu- kum umum. Tidak pernah ada aturan hukum umum yang me- nyatakan misalnya barangsiapa yang melakukan sesuatu, akan diberikan hadiah sekian rupiah. Perbuatan Sunah. Dalam hal ini, merupakan tindakan yang "dianjurkan" untuk dilakukan, di mana jika perbuatan tersebut dilakukan akan mendapat pahala, sedangkan jika perbuatan tersebut ditinggalkan tidak akan mendapat dosa. Misalnya sunah untuk mengambil dan membuang duri 2. terdapat di jalan umum. yang

Perbuatan Mubah. Dalam hal ini, jika perbuatan tersebut di- lakukan tidak akan mendapat pahala maupun dosa, sedangkan jika perbuatan tersebut ditinggalkan juga akan mendapat dosa perbuatan mubah 4. Perbuatan Makruh. Dalam hal ini, jika perbuatan tersebut di- lakukan tidak akan mendapat pahala maupun dosa, tetapi jika perbuatan tersebut ditinggalkan akan mendapat pahala. Dalam hukum. Misalnya perbuatan berupa makan nasi setiap hari tiga kali sehari. Misalnya makruh hu- kumnya jika seseorang merokok meski bukan di tempat umum. 5. Perbuatan Haram. Dalam hal ini, jika perbuatan tersebut di- lakukan akan mendapat dosa, sedangkan jika perbuatan terse- but ditinggalkan akan mendapat pahala. hukum misalnya seorang yang beragama Islam yang makan daging babi. Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa kaum positivisme hukum seperti Hans Kelsen, atau John Austin berpandangan bahwa hukum hanya ada dalam undang-undang, sehingga hakikat hukum penguasa. Hanya saja, konsep hukum dari Hans Kelsen lebih luas dari konsepsi hukum dari John Austin, di mana berbeda dengan John Austin, Hans Kelsen masih mengakui bahwa seseorang taat ke- sebenarnya hanyalah sebagai suatu perintah (command, order) dari pada hukum bukan hanya karena takut kepada sanksi hukum, me- lainkan juga dengan alsan-alasan lain seperti karena alasan religius,

alasan etika, alasan kemasyarakatan, alasan kenyamanan, alasan i amanan, dan lain sebagainya. dalam kenyataannya banyak juga model hukum yang sebenarnva bukan perintah, misalnya hukum-hukum sebagai berikut (W.W Buckland, 1945: 49): bagi para penganut positivisme seperti John Austin, selama masih berlaku secara yuridis formal, maka hukum tersebut tetap merupakan perintah yang harus di- jalankan. Sehingga, kaum positivisme, hukum yang jelek kurang lebih juga merupakan hukum (an evil law is none the less a law). b. Paham positivisme menganggap bahwa hukum tidak ada korelasinya dengan kepentingan masyarakat. C. Kaum positivisme juga menganggap bahwa hukum tidak ada kaitannya dengan moral. hukum d. Hukum yang isinya membatalkan hukum yang lama (re- pealing law) tidak merupakan perintah (command) sama sekali. Joun Ada juga hukum lain yang tidak merupakan perintah sama sekali, yakni hukum yang hanya bersifat deklarati. f. Hukum-hukum yang bersumber dari kebiasaan atau hu- kum adat tetap merupakan hukum, meskipun tidak dibuat kekuasaan legislatif yang resmi dalam suatu pemegang negara, sehingga semestinya juga bukan merupakan "pe- oleh rintah" berwenang. Salah

C. TEORI KEWAJIBAN DAN PAKSAAN Paksaan, kewajiban, dan penjaminan hak terhadap warga cang oleh hukum dapat berjalan dengan baik dan tertib, sehingga masyarakat dimaksudkan agar suatu sistem keteraturan yang diran- muncul konsep ketertiban hukum. Dapat dikatakan bahwa karakteristik dari suatu ketertiban hu- kum (legal order) antara lain:

1. Berlakunya suatu ketertiban hukum dapat dipaksakan dengan

2. Berlakunya suatu ketertiban hukum baik berupa perintah, la- fangan, maupun anjuran (jika bukan kaidah hukum memaksa). sanksi-sanksi tertentu.

3. Berlaku prinsip persamaan perlakuan di antara sesama masyarakat (equality before the law). anggota Mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini tidak ada hukum yang kosong, karena hukum selalu dapat diketemukan atau di-

4. tafsirkan dari kaidah-kaidah hukum yang ada. Berlaku prinsip mediasi internal hukum. Dalam hal ini jika ta dapat berbagai macam hukum yang berbeda atau saling berten tangan, maka hukum itu sendiri menyediakan berbagai model penyelesaiannya.

5. Misalnya dengan memberlakukan asas lex spe cialist derogat lex generalis. 

6. Objek dari suatu ketertiban hukum adalah aturan dan kaidah hukum.

7. Karena hukum dapat dipaksakan berlakunya, maka suatu keter- tiban hukum juga merupakan ketertiban dari paksaan-paksaan dalam bentuk sanksi-sanksi hukum.

Ini pula yang membedakan antara ketertiban hukum dengan ketertiban sosial lainnya. Selanjutnya, sebagai kaum positivisme, baik Jeremy Bentham maupun John Austin sama beranggapan bahwa hakikat hukum adalah pembebanan kewajiban (obligation)/tugas terhadap masya- rakat. Senada dengan anggapan tersebut, maka penganut paham positivisme yang lain, yaitu Hans Kelsen berpandangan bahwa hu- kum merupakan pembatasan terhadap kemerdekaan (liberty) terha- dap warga masyarakat, sehingga by definition, hukum adalah jelek (evil). Selanjutnya, penganut paham positivisme yang lain lagi, yaitu HLA Hart berpandangan bahwa sebenarnya hukum itu dapat dikla- sifikasi sebagai berikut (N.E. Simmonds, 1986: 82): 1. Primary Rules. 2. Secondary Rules. 3.  Rule of Recognition.

Yang dimaksudkan dengan hukum primer (primary rule) ada- lah seluruh kaidah hukum normatif yang mengatur perilaku sehari- hari dari manusia yang dikenal dan diberlakukan dalam masyara- kat, seperti kaidah tentang larangan mencuri, larangan membunuh, Jarangan menerobos lampu merah di jalan raya, dan lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan hukum sekunder (secondary rule) adalah hukum yang mengatur tentang hukum yang lain, seperti hukum yang mengatur bagaimana_membuat suatu hukum, bagaimana menafsirkan hukum, bagaimana menerapkannya, dan sebagainya. Kemudian, hukum rekognisi (rule of recognition) yang merupakan bagian terpenting dari hukum sekunder tersebut, yakn yang mengatur tentang bagaimana menafsirkan dan menerapkan hu- kum primer tadi ke dalam kasus-kasus. Misalnya ada kaidah hukum primer tentang larangan membunuh, tetapi apakah tindakan euta- lainnya. Teori im- peratif itu sendiri berinduk kepada teori tentang hukum dan ke- jika teori imperatif ini sangat populer di kalangan para ahli hukum positivis, seperti John Austin, Hans Kelsen, HLA Hart, Friedman, daulatan (law and sovereignity). Karena itu, tidak mengherankan dan Paton. Bahkan menurut Hans Kelsen, hukum tidak lain merupakan norma utama yang mengandung sanksi di dalamnya. Law is the primary norm which stipulates the sanction (HLA Hart, 1981: 35).

 merupakan Jadi, ajaran dari teori imperatif itu sendiri sebenarnya i kan teori yang bebas nilai, sehingga dia memiliki watak netral. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah penerapan yang salah dari teori imperatif maupun paham positivisme, yang menyebabkan timbul- diktatur totaliter di sepanjang abad ke-20, se nya berbagai negara dan Stalin di Uni Soviet, Idi Amin, Muammar Khaddafi, atau Hosni perti yang dilakukan oleh Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Lenin Mubarak di Afrika, Mao Tse Dong, Pol Pot, Ferdinand Marcos di Asia Timur atau Sadam Husein, Shah Reza Pahlevi dan beberapa presiden atau raja lainnya di negara-negara di Timur Tengah. Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah bahwa jika kita berpegang kepada teori positivisme maupun kepada teori kedaulat- an negara, maka sering kali kepatuhan masyarakat umumnya kepa- da perintah hukum adalah seperti kepatuhan segerombolan domba kepada pengembalanya, termasuk kepatuhan mereka ketika mereka dibawa ke tempat penyembelihan ternak/rumah jagal.

TEORI LEGITIMASI DAN VALIDITAS HUKUM

A. PEMAKNAAN DARI TEORI LEGITIMASI DAN VALIDITAS HUKUM

Teori validitas hukum merupakan salah satu teori yang pen- syarat-syaratnya agar suatu kaidah hukum menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masya- rakat, bila perlu dengan upaya paksa, yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: ting dalam ilmu hukum. Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori yang mengajarkan bagaimana dan apa 1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berba- gai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar, undang-undang dan berbagai bentuk peraturan lainnya, aturan-aturan internasional seperti dalam 2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen bentuk traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan. 3. Secara hukum, aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan. (bersama dengan pemerintah).

Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis 4. lebih tinggi. lainnya. Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang 5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-h dan penerap hukum, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaan 6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. 7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan. tertentu Suatu kaidah hukum dapat saja mengikuti kai- dah moral, politik, atau ekonomi, sepanjang kaidah hukum tersebut tidak mengorbankan norma dasar dalam hukum. Misalnya, suatu kaidah moral, politik, ekonomi, atau agama, tidak dapat diberlaku- kan dalam hukum jika kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan asas-asas keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, ketertib- an umum, perlindungan hak dasar, asas manfaat, dan lain-lain.

Ada yang berpendapat bahwa valid daknya suatu aturan hukum diukur dari terpenuhi tidaknya suatu elemen-elemen sebagai berikut (J.W. Haris, 1979: 107): L. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengan aturan tertentu yang tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum tersebut tidak dalam keadaan "di luar jalur" (ultra vires). 2. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang kon- sisten (subsistem) dengan bidang pengaturan yang sudah ada 3. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial dalam masyarakat (aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam masyarakat. JuI jres 4. Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecenderungan internal untuk dihormati (atas dasar moral dan politik). 5. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenya- taan normatif yang transedental (aspek ontologis). dasar dan persyaratan diterimanya olch masyarakat agar suatu atur- an hukum menjadi aturan hukum yang valid, maka Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu aturan hukum telah valid sejak diundang Selanjutnya, tentang persyaratan kesesuaiannya dengan norma kannya secara benar, meskipun saat-saat awal dibuatnya aturan hu- kum, aturan hukum tersebut mungkin saja masilh belum diterima. dengan baik oleh masyarakat.

Berbeda dengan ajaran dari para penganut teori hukum al maka para penganut teori hukum positivisme seperti John Augtin Hans Kelsen, HLA Hart tersebut tidak pernah mengaitkan valid daknya suatu aturan hukum dengan faktor moral. Akan tetapi, di karenakan persyaratan "efektivitas" (penerimaan oleh masyarakati atas suatu aturan hukum merupakan suatu unsur bagi hukum yang valid, dan ada kemungkinan bahwa suatu aturan hukum yang ti. dak sesuai dengan unsur moral tidak akan diterima oleh kat dalam jangka waktu yang panjang, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa bahkan oleh para penganut teori positivisme sekalipun harus mengakui juga pengaruh unsur moral ke dalam validitas suatu aturan hukum, meskipun pengaruh unsur moral tersebut ter- jadi tidak langsung, tetapi melalui penerimaan suatu aturan hukum oleh masyarakat. Setiap kaidah hukum haruslah memenuhi unsur legitimasi, karena memang asal usul pengertian legitimasi adalah setiap hal yang bersesuaian dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya, berkembang pengertian legitimasi bagi suatu kaidah hukum sebagai kaidah yang dibuat secara sah (oleh instansi yang sah) yang bersifat impersonal, karena karismanya, tetapi ukurannya adalah bahwa hukum tersebut masyara- haruslah bersifat rasional. Menurut sosiolog hukum Max Weber, suatu hukum dikatakan rasional jika memenuhi syarat rasional yang formal dan rasional

bokum yang rasional formal dalam hal ini adalah bahwa hukum ueTscbut secara intelektual haruslah konsisten, vaitu konsisten an- tara faktor-faktor seperti aturan hukum (legal rules), prinsip hukum (legal principles), standar hukum (legal standards), dan konsep hukum (legal concepts). Adapun yang dimaksud dengan hukum rasional secara substantif adalah aturan hukum yang bersesualan de- ngan ideologi dan nilai-nilai yang berubah-ubah dalam masyarakat. Kalaupun ada ketidaksesuaian antara faktor-faktor tersebut maka ketidaksesuaian atau penyimpangan tersebut haruslah mempunyai alasan dan basis yang rasional pula. urduap pnsyeuup Buvx (ot LL61 e H uyo) mursqns suA Suek persoalan Misalnya terhadap valid atau tidaknya suatu pemerintahan dalam suatu negara atau bahkan terhadap valid atau tidaknya suatu negara, yang dalam ilmu hukum dikenal dengan "teori identitas negara." Teori identitas negara adalah teori dalam ilmu hukum yang mengajarkan bahwa syarat-syarat dan unsur-unsur agar suatu kum- pulan manusia dapat dikatakan sebagai negara haruslah memiliki identitas tertentu, identitas mana ditetapkan oleh ilmu hukum, bu- kan oleh ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal ini, memang banyak ahli berteori bahwa identitas suatu negara ditentukan oleh ilmu hukum, bukan oleh ilmu lain Dalam hal ini, ilmu hukumlah yang memberikan identitas yang bersifat final dan bersifat "taken for granted." seperti ilmu sosiologi, psikologi, atau ilmu politik.

Adapun unsur-unsur negara yang telah ditetapkan oleh im hukum tersebut sebagai berikut: a. Adanya rakyat. b. Adanya wilayah negara. C. Adanya pemerintahan yang sah. d. Adanya pengakuan terhadap negara tersebut (unsur fakultatin Sebagaimana diketahui bahwa ilmu sosiologi menganalisis masyarakat secara faktual, kausal, dan empiris. Akan tetapi, ketika ilmu sosiologi menentukan eksistensi suatu negara, tidak pernah dianalisis dan ditentukan dalam hubungan kausal, dan tidak pula karena hasil penelitian empiris. Melainkan semata-mata karena kumpulan manusia/masyarakat tersebut oleh hukum telah dipandang memenuhi unsur dan syarat sebagai sebuah negara. Karena itu, tidak pernah ada premis misalnya sescorang merupakan merupakan warga negara secara sosiologi tetapi bukan warga negara secara yuridis, demikian juga sebaliknya. final. Bahwa ke. napa finalnya harus ditentukan oleh ilmu hukum, bukan oleh ilmu.

Jadi, pada prinsipnya, dalam hubungan dengan validitas hukum, Hans Kelsen juga berpandangan sebagai berikut (Stephen Munzer, 1972: 25) 1. Kelsen membedakan antara konsep "validitas" (validity) dengan konsep "kegunaan" (efficacy). 2. Ke dalam konsep "validitas" tercakup juga pengertian "kekuat- an memaksa" (binding force). 3. Memenuhi suatu "kriteria" tertentu adalah salah satu karakte- ristik dari validitas. Namun demikian, dalam hubungannya dengan persoalan validitas hukum, pendapat Hans Kelsen memiliki beberapa kelemahan atau kekurangannya, kelemahan, yaitu (Stephen Munzer, 1972: 25): 1. Kelsen gagal dalam menganalisis tentang konsep "manfaat" dari norma yang non-memaksa.

2. Kelsen tidak tuntas dalam menganalisis tentang perbedaan antara konsep "manfaat" (efficacy) dengan konsep eksistensi (exis- tence).

3. Ada banyak tipe aturan hukum (legal rules) dari apa yang sering Pemberian pengertian kepada "validitas" tidak cukup kompre disebut-sebut oleh Kelsen. hensif.

5. Kelsen gagal dalam menganalisis efek resiprokal antara "validi tas" dengan manfaat (Stephen Munzer, 1972: 25)

Karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa validitas suatu norma hukum memiliki beberapa wajah sekaligus, yaitu:

1. Wajah metafisis.

2. Wajah positivis.

3. Wajah sosiokultural.

4. Wajah mesin keadilan (machinery of justice).

5. Wajah utilitarian.

Wajah metafisis dari validitas suatu aturan hukum mensyaratkan suatu norma hukum harus bersesuaian dengan cita hukum, postulat-postulat hukum dan ide-ide hukum yang bersifat apriori. Kemudian, wajah positivis dari validitas suatu norma hukum meng- hubungkan validitas norma hukum tersebut dengan kesesuaiannya dengan sistem perundang-undangan yang berlaku dan dengan nor- ma dasar (konstitusi) dalam suatu negara. Adapun dengan wajah sosio kultural dari suatu validitas hukum yang dimaksudkan adalah tindakan menilai terhadap validnya suatu norma hukum dengan kenyataan apakah sesuai atau tidaknya dengan kesadaran hukum dan kultur hukum masyarakat, sehingga norma hukum tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, wajah mesin keadilan (machinery of justice) dari validitas suatu norma hukum mensyarat- kan agar validnya suatu norma hukum, maka norma hukum terse- but haruslah dapat diterapkan oleh mesin-mesin penerap hukum. Dan yang dimaksud dengan mesin-mesin penerap hukum dalam hal ini adalah hakim, jaksa, polisi, pemerintah, advokat, dan kurator. Kemudian, wajah utilitarian dari validitas suatu norma hu- kum mensyaratkan agar suatu norma hukum selalu dikaitkan de- ngan manfaat yang akan didapati oleh masyarakat jika kaidah hu- kum tersebut diterapkan. Dalam hal ini yang dipertanyakan apakah akan lebih bermanfaat jika norma hukum tersebut diterapkan dengan seandainya diterapkan norma hukum model lain.

Tentu saja, ketika dikatakan bahwa hukum tersebut harus efektif sehingga dapat dianggap hukum yang valid, efektif dalam ini berarti salah satu atau kedua dari arti sebagai berikut: Efektif bagi pelaku hukum. Misalnya hukuman pidana bagi penjahat, sehingga setelah dihukum dia sudah jera (memenuhi 1. unsur efek jera) sehingga kemudian dia tidak lagi melakukan tindakan kejahatan tersebut. Efektif bagi masyarakat, terutama terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum. Misalnya, jika ha- kim menjatuhkan hukuman bagi seorang penjahat dalam 2. ses perkara "inabsensia" maka mungkin saja hukuman itu tidak efektif bagi pelaku kejahatan karena penjahatnya tidak diketemukan, tetapi hukuman seperti itu dapat membuat seperti "efek pencegah" melakukan kejahatan bagi para panjahat lain, di samping menimbulkan "efek keamanan" bagi masyarakat secara keseluruhan.

Selanjutnya, bagaimana misalnya jika ada dua aturan hukum yang saling kontradiktif, tentu dalam hal ini hanya satu aturan saja yang berlaku. Jadi, hanya satu aturan hukum tersebut yang valid atau yang lebih valid dari yang satunya lagi. Untuk itu diperlukan beberapa teori, seperti:

1. Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum.

2. Hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.

3. Hukum yang lebih tinggi derajatnya, mengesampingkan hukum yang rendah.

4. Hukum yang lebih menyangkut kepentingan sampingkan hukum yang kurang menyangkut kepentingan

5. Jika belum ada hukum yang baru, maka hukum yang sih dianggap berlaku. 6. Mencari hukum yang paling sesuai dengan norma dasar (kons titusi).

7. Mencari hukum yang paling adil.

8. Mencari hukum yang paling dapat diterima oleh masyarakat.

Terhadap putusan pengadilan yang sama level, maka interpre- tasi memang harus dilakukan terhadap mana aturan yang lebih va- lid di antara kedua putusan pengadilan tersebut. Jika secara internal hukum tidak juga dapat diketemukan jawabannya, mana di antara mereka yang valid, maka harus dianalisis bagian demi bagian dari putusannya, untuk dicari mana di antara dua putusan tersebut vang merupakan norma yang paling sesuai dengan norma dasar, paling sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, dan sebagainya. Kemudian, menjadi persoalan hukum yang serius pula jika Suatu hukum dasar berubah atau diubah tidak dengan jalan normal tetapi misalnya dengan jalan revolusi. Dalam hal ini teori validita

hukum berubah wajah. Karena, dalam revolusi, tidaklah berlaku teori validitas bahwa suatu konstitusi (norma dasar) hanya dapat berubah sesuai dengan ketentuan dalam norma dasar itu sendiri, yaitu sesuai dengan pasal-pasal tentang perubahan konstitusi ditulis dalam konstitusi itu sendiri. Jadi, perubahan karena revolusi yang yang normal, karena memang rakyat sebagai pemangku risiko (risk taker) sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ternya- ta menentukan lain. Hanya saja, meskipun demikian, meskipun konstitusi berganti karena revolusi, hukum tidak boleh kosong, adalah kekecualian dari sistem perubahan norma dasar karena kehidupan masyarakat terus berlangsung tanpa henti. Kare- na itu, segala hukum yang telah berlaku dalam rezim konstitusi yang lama tetap berlaku sebelum dibuat aturan hukum yang baru. Untuk itu, teori keefektifan hukum yang berlaku yang lebih menonjol ber- lakunya dibandingkan dengan legalitas hukum. Dalam hal ini Hans Kelsen berpandangan bahwa: Mengikuti pendapat dari Hans Kelsen tersebut, sesuai dengan teori legitimasi aturan hukum, maka suatu aturan hukum akan sah berlakunya, kecuali dalam hal: valid

1. Sudah dibatalkan berlakunya dengan cara yang ditentukan dalam aturan hukum itu sendiri. Socks 88 TEORI-TEORI BESAR DALAM HUKUM (GRAND THEORY)

2. Sudah dicabut untuk digantikan dengan aturan hukum yang le. bih baru. 3

. Dibekukan karena terjadinya revolusi. Unt C. TEORI VALIDITAS DAN KEBERLAKUAN HUKUM Unt ma persyaratkan validitas suatu norma hukum, dalam arti "keberlaku. an" suatu kaidah hukum, jika memenuhi syarat-syarat sebagai beriada juga para ahli, misalnya dari Prof. Meuwissen, yang memkut (B. Arief Sidharta, 2009: 46): |

1. Keberlakuan sosial atau faktual. Dalam hal ini, kaidah hukum Un tersebut dalam kenyataannya diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umumnya, termasuk dengan menerima sanksi jika ada orang yang tidak menjalankannya.

 2. Keberlakuan yuridis. Dalam hal ini, aturan hukum tersebut dibuat melalui prosedur yang benar dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya, terutama dengan peraturan yang lebih tinggi.

3. Keberlakuan moral. Dalam hal ini, agar valid, maka kaidah hu- kum tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya kaidah hukum tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hu- kum alam.

1. Untuk mengetahui eksistensi dari suatu aturan hukum.

2. untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat dari suatu aturan hukum.

. 3. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dari para penegak hukum terhadap kaidah hukum yang bersangkutan.

4. Untuk mengetahui apakah aturan hukum tersebut memang di. maksudkan sebagai aturan yang mengikat secara hukum.

5. Untuk mengetahui apakah akibat hukum jika suatu aturan hukum tidak diikuti oleh masyarakat.

6. Untuk mengetahui apakah perlu dibuat suatu aturan hukum yang baru yang mengatur berbagai persoalan manusia.

7. Bagi seorang lawyer, jaksa, atau polisi untuk memprediksi ke- mungkinan kemenangan kasus yang sedang ditanganinya.

8. Untuk mengetahui apakah ada ikatan-ikatan nonhukum dari dan suatu aturan hukum, misalnya ikatan moral, ikatan lain-lain. Ikatan nonhukum ini tidak pernah diakui oleh para agama, penganut paham hukum positivisme.

Dalam hal ini, yang dimaksudkan oleh Hans Kelsen tersebut adalah bahwa efektivitas berlakunya suatu aturan hukum adalah jika umumnya aturan tersebut diterima berlakunya oleh masyarakat pada umumnya. Jika ada satu bagian dari aturan hukum tersebut ti- dak dapat diberlakukan hanya terhadap satu kasus tertentu saja, jadi merupakan suatu kekecualian, tidak berarti bahwa aturan hukum yang demikian menjadi aturan hukum tidak efektif. paham "Realisme Scandinavia." Mereka menolak berbagai ukuran validitas suatu hukum yang berdasarkan kepada dalil-dalil yang bersifat apriori, das Sollen, metafisikal atau moral, yang menempat- kan hukum lebih tinggi dari fakta. Tetapi, mereka lebih cenderung menggunakan kriteria untuk validitas suatu aturan hukum yang berdasarkan kepada fakta-fakta dalam masyarakat. Karena itu, bagi kaum realisme hukum, ada tambahan persya- ratan bagi validitas suatu aturan hukum, yaitu aturan hukum tersebut harus dirasakan oleh hakim sebagai suatu aturan yang mengikat sehingga dapat dan mau diterapkan oleh hakim tersebut.

A. TEORI HUKUM MURNI

Teori hukum murni adalah suatu teori besar dan kesohor dalam ilmu hukum, yang berusaha menelaah ilmu hukum dari dalam ilmu hukum sendiri dan dengan memakai metode ilmu hukum itu sen- diri, dengan menghilangkan pengaruh dari ilmu lain dalam meng- analisis hukum, seperti menghilangkan pengaruh dari ilmu etika, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan ilmu sejarah. Tujuan dari diabaikannya pengaruh dari bebagai di- siplin ilmu lain tadi dalam menganalisis ilmu hukum adalah agar kajiannya hanya bertumpu pada jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu. Tujuan selanjutnya adalah untuk menjaga agar dihasilkannya suatu telaahan terhadap ilmu hukum yang lebih fokus dan lebih mendalam, yang tidak bercampur baur dengan te- laahan ilmu lain, sehingga ilmu hukum itu sendiri tidak terdistorsi oleh ilmu-ilmu lain yang kebetulan memiliki objek kajian yang sa- ing berhubungan dengan objek kajian ilmu hukum tersebut. Dalam hal ini, suatu ketertiban hukum (legal order), jelas berbeda dengan ketertiban sosial (social order), atau ketertiban moral (moral order) atau ketertiban agama (religious order). Karena itu, teori hukum

murni ini hanya menelaah hukum secara "apa adanya" (das Sein dan tidak masuk ke lingkup "apa yang seharusnya" (das Sollen), se hingga karenanya teori hukum murni ini tergolong juga ke dalam ajaran "positivisme hukum." Hal ini seperti yang diakui sendiri oleh penggagas teori paham hukum murni, yaitu Hans Kelsen, bahwa to ori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Dalam hal ini Hans Kelsen menyatakan (Hans Kelsen, 1967: 1): Baik teori hukum murni (pure theory of law) maupun teori ma dasar (grundnorm) keduanya merupakan hasil pemikiran seorang ahli hukum besar yaitu Hans Kelsen. Hans Kelsen yang se- benarnya beraliran positivisme itu, lahir pada tahun 1881 dari ke- luarga Yahudi di Prague (Austria-Hungaria) meninggal di Bekeley, California, USA pada tahun 1973 pada usia 91 tahun. Dia belajar hukum pada Universitas Vienna dan mendapat gelar Ph.D. pada tahun 1906. Meskipun lahir di Prague, sejak umur tiga tahun dia sudah dibawa ke Vienna, dan pindah ke USA pada tahun 1940 dan kemudian mendapatkan kewarganegaraan USA sejak tahun 1945. Di samping bidang ilmu politik dan ketatanegaraan, Hans Kelsen juga mendalami bidang hukum internasional, di mana salah seorang yang pernah mengikuti ceramahnya di Berkeley adalah Zulfikar Ali Butho, yang kemudian menjadi perdana menteri dari negara Pakis- tan. Prestasi lain dari Hans Kelsen adalah bahwa dia merupakan pencetus berdirinya sebuah pengadilan khusus yang menangani masalah-masalah konstitusional, yang disebut dengan Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dapat diwujudkan berdirinya di Austria

banyak ke negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental. tetapi banyak juga paham-pahamnya memengaruhi para ahli hu- kum di USA, misalnya pengaruhnya dengan jelas kepada HLA Hart. Sebagaimana diketahui bahwa sebagai konsekuensi dari pem- bersihan/pemisahan ilmu hukum dari ilmu-ilmu lainnya, maka me- nurut aliran hukum murni, kaidah hukum sebab akibat yang terda- pat dalam ilmu pengetahuan alam sama sekali tidak dapat diguna-

berada dalam suatu sistem yang tersusun secara hierarkis, yang se- bagai suatu sistem maka seharusnya antara satu norma hukum d ngan norma hukum yang lain mestinya tidak saling bertentang satu sama lain, atau secara teori mestinya tidak bertentangan, yang semuanya bersumber dari satu norma dasar yaitu konstitusi. Kesin pulan seperti ini paling tidak dapat dipertahankan secara teoretis dan abstrak, meskipun dalam tataran konkret perbedaan bahkan pertentangan antara satu norma dengan norma lainnya masing-ma. sing mungkin terjadi, utamanya karena berbeda penafsiran dan pandang terhadap suatu kaidah konstitusi. cara Selanjutnya, sebagai salah satu penganut paham positivisme hukum, dalam banyak hal, pendapat Hans Kelsen tidak jauh berbe- da dengan paham hukum analitis (analitical jurisprudence). Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, ketika mengemukakan teorinya berkenaan dengan teori hukum murni (pure theory of law), Hans Kelsen ternyata membuat beberapa modifikasi, pengembangan, dan pelunakan terhadap prinsip bahwa hukum adalah suatu sistem dari norma memaksa itu. Modifikasi dari pendapat Hans Kelsen ter- sebut sebagai berikut (Stephen Munzer, 1972: 15): Kelsen memperlunak pendapatnya tentang anggapan bahwa hu- kum adalah suatu sistem dari kaidah memaksa. Karena Kelsen kemudian juga berpendapat bahwa tidak semua norma hukum adalah memaksa, tetapi ada juga kaidah hukum yang tidak me- maksa. Misalnya ada norma hukum yang memberi izin untuk melakukan sesuatu, yang jika tidak dilakukan perbuatan terse- but tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Jadi, kaidah hu- kum tersebut sama sekali tidak memaksa. 2. Kelsen kemudian berpendapat bahwa tidak semua norma yang memaksa tersebut menyediakan sanksi. Dalam hal ini, ada tin- alsm ion bela

dakan hukum yang sebenarnya memaksa (coercive) tetapi tidak memerlukan sanksi. Misalnya memasukkan orang ke rumah ta- karena diduga melakukan tindak pidana. Atau ketentuan 3. Dengan menggunakan kata "harus" (ought) berarti hukum ter- sebut memang bersifat memaksa atau perintah. Akan tetapi, pe- bahwa "Jika A begini, maka B harus begitu." (prescriptive), tetapi dapat juga berarti yang lebih lembut yak- ni "mengizinkan" (descriptive) ataupun "memberikan otorisasi" makaian kata "harus" tersebut oleh hukum dapat berarti "wajib" (authorizations). norma dasar (grundnorm), yaitu konstitusi. Akan tetapi, Hans Kel- sen kemudian menyatakan bahwa suatu kaidah hukum bisa saja bertentangan dengan kaidah hukum yang lain. Hal ini adalah wajar Selain itu, ilmu hukum juga berbeda dengan ilmu pengetahuan alam berkenaan dengan kebenaran dari premis-premisnya. Menu- rut para penganut paham positivisme, hukum berisikan perintah (prescription), yakni tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dan masyarakat, sementara ilmu pengetahuan alam berisi- kan penjelasan (description) tentang fakta yang secara aktual benar- benar terjadi di alam semesta ini. Karena itu, jika ilmu pengetahuan

alam dapat mengambil kesimpulan tentang benar salah suatu fakta alam, maka ilmu hukum hanya dapat menjelaskan apa yang "seh. rusnya" atau "tidak seharusnya" dilakukan oleh manusia, bukan yang benar atau salah terhadap manusia dan masyarakat. Kemudian jika dalam ilmu pengetahuan alam mencari kebenaran suatu pre dengan logika-logika yang dikonfrontasi langsung dengan fenome na alam, maka ilmu hukum mencari justifikasi terhadap premis-pre misnya melalui logika, perasaan kemanusiaan dan perasaan masya- rakat, kebiasaan-kebiasaan, dengan berpatokan dari dalam ilmu hu- kum itu sendiri, maupun dengan berpatokan pada premis-premis dari luar ilmu hukum, seperti premis dari agama, premis hukum alam, premis ketertiban umum, dan premis tersebut dikaitkan lang- sung dengan premis yang dipaksakan berlakunya bagi manusia dan masyarakat tersebut, meskipun oleh penganut teori hukum murni menghindari penggunaan premis yang bukan premis hukum. Kemudian, sebagaimana telah dijelaskan bahwa Hans Kelsen adalah salah seorang penganut paham positivisme hukum, yang mengembangkan teori antara lain yang disebut dengan "teori hu- kum murni" (pure theory of law).

Hakikat yang logis dari semua kaida adalah suatu arti dari tin- 1. dakan yang berasal dari kehendak (the meaning of acts of will 2. Hanya kaidah yang dibuat dalam suatu tertib hukum nasional saja yang benar-benar berasal dari tindakan hendak (will). yang berasal ke- Norma dasar dari ketertiban hukum nasional terdapat dalam 3. berbagai ketentuan dalam ilmu hukum yang memang bertu- juan untuk terciptanya suatu ketertiban hukum nasional. Ketika suatu kaidah dasar diasumsikan, maka bentuk kaidah 4. yang paling logis adalah bahwa suatu tindakan yang berasal dari suatu kehendak (will), kehendak mana haruslah telah dibayang- kan sebelumnya (J.W. Haris, 1979: 39). Selajutnya, seperti telah disebutkan bahwa teori hukum murni dari Hans Kelsen mencoba menganalisis hukum dari segi hukum itu sendiri, dalam artian tidak keluar ke bidang-bidang pengetahuan lain. Karena itu, teori hukum murni tidak mengenal pendekatan ter- hadap hukum yang bersifat multidisipliner. Dalam hal ini, hukum hanya dilihat dari dalam hukum itu sendiri, dengan mengabaikan faktor-faktor seperti faktor moral, sejarah hukum, sosiologi hukum, hukum alam, filsafat hukum, dan sebagainya. Karena itu, maka ajar- an-ajaran dari Hans Kelsen sebenarnya tergolong juga ke dalam kategori aliran positivisme. Suatu ketika Hans Kelsen bahwa hanya dengan pendekatan kepada hukum yang murni anali- tikal yang dapat disebut sebagai "ilmiah." menyatakan . Only a purely analyti- 1933: 106). cal approach to law can be regarded as scientific" (M. Ivor Jennings, Kant meskipun berpaham positivisme, tetapi karena berakar sangat mendalam dalam tradisi berpikir kaum Kristiani, maka dalam filsafat Immanuel Kant masih banyak mengandung unsur-unsur transedental, metafisika, dan moral. sampai pada kesimpulan-kesimpulan tertentu. Karena itu, dalam mengembangkan teori hukum murninya, Hans Kelsen banyak berbicara tentang: dan badan hukum.

-Subjek hukum orang and badan hukum

-Tentang hukum publik dan hukum privat. 

- Kedaulatan negara (sovereignity).

- Hubungan antara hukum dengan negara.

-Hubungan antara negara dengan rakyat.

-Hubungan antara parlemen dengan pemerintah.

-Tentang hak-hak subjektif.

-Dan sebagainya.

yang sah," yang dalam hal ini berupa pemberian otoritas/kewenang- normatif ataupun berdasarkan suatu "asumsi" tentang "perintah bersumber pada konstitusi sebagai sebuah grundnorm. Paling tidak seperti yang diajarkan oleh paham positivisme hukum, bahwa hal ini adalah sebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap pengertian negara sebagai personifikasi dari sekumpulan norma yang berisikan perintah-perintah yang mengandung unsur "paksa. an yang valid sesuai hukum yang berlaku dalam suatu sistem yang Selanjutnya, jika ditinjau dari berbagai karakteristik dari teori norma dasar, dapat disimpulkan bahwa teori norma dasar sebenar- nya termasuk juga ke dalam teori positivisme hukum, yang kemu- dian teori norma dasar tersebut dikembangkan oleh teori hukum murni. Salah satu ajaran yang sangat populer dari teori hukum dasar adalah teori tentang tindakan aturan hukum yang berjenjang (teori piramida terbalik). Dalam hal ini, teori dasar yang merupakan kon- stitusi dalam suatu sistem pemerintahan, merupakan norma dasar yang dalam suatu segitiga terbalik tempatnya adalah yang tertinggi (dengan wilayah kerja yang luas). Kemudian, di bawahnya konstitusi terdapat peraturan hukum yang levelnya lebih rendah dari norma dasar tetapi substansinya tetap bernaung di bawah norma dasar, sehingga tidak boleh me- nyimpang dari substansi norma dasar tersebut. Hans Kelsen memerincikan aturan-aturan hukum yang jen- jangnya dibawah dari norma dasar (di bawah konstitusi), masing- masing dengan jenjang berturut-turut sebagai berikut (Hans Kelsen, 1967: 221):

1. Legislation (dibuat oleh parlemen) dan Custom (terbentuk da- lam masyarakat).

2. Statute (juga dibuat oleh parlemen tetapi lebih khusus legisla- tion) dan Ordinance (dibuat oleh otoritas adminisratif).

3. Material and Formal Law. Merupakan peraturan-peraturan yang akan diterapkan oleh badan-badan yang berwenang, utamanya pengadilan, untuk diterapkan terhadap kasus-kasus konkret. Selanjutnya, dalam hubungan dengan undang-undang yang buat oleh parlemen, maka kaum positivis, termasuk penganut teori norma dasar beranggapan bahwa oleh undang-undang yang dibuat oleh parlemen, undang-undang tersebut bersifat konstitutif, dalam arti parlemenlah yang membuat hukum tersebut. Adapun bagi para abli hukum berhaluan sejarah, seperti yang dipelopori Von Savig- ny, hukum ada dalam "jiwa bangsa" (volksgeist), sementara parle- men yang merumuskan hukum tersebut sebenarnya tidak mem- bangsa tersebut. Hal ini mirip dengan pandangan para ahli hukum berhaluan sosiologis, yang menyatakan bahwa hukum terdapat da- buat hukum, tetapi menemukan hukum yang terdapat dalam jiwa lam masyarakat di mana parlemen juga hanya menemukan saja, sehingga undang-undang yang dibuat oleh parlemen juga bersifat Kemudian, salah satu ajaran yang sangat populer dari teori hu- kum dasar adalah teori tentang tindakan aturan hukum yang ber- yang deklatoir saja. jenjang (teori piramida terbalik). Dalam hal ini, teori dasar merupakan konstitusi dalam suatu sistem pemerintahan, merupa- kan norma dasar, yang dalam suatu segitiga terbalik tempatnya ada- lah yang tertinggi (dengan wilayah kerja yang luas). Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa teori grundnorm sangat annya dengan konstitusi (grundnorm). Jadi sangat bersifat legalistik, yang memang merupakan ciri khas paham-paham yang beraliran mendewakan keabsahan dari suatu aturan hukum berupa kesesuai positivisme

ilmu hukum berkembanglah pendapat, seperti yang li hukum Denmark beraliran realisme hukum-Alf Ross--yang me- nyatakan bahwa untuk mengukur valid tidaknya suatu aturan hu- kum, tidak dilihat terhadap apa yang "telah" dilakukan oleh gak hukum "di masa lalu" tetapi apa yang "akan" dilakukannya di ini hanyalah suatu prediksi saja, yakni prediksi bahwa aturan hu- kum tersebut akan dapat diterapkan terhadap kasus/fakta konkret pene- masa depan. Jadi, ketika suatu aturan hukum dikatakan valid, maka di masa depan. Bila seandainya bahwa aturan hukum tersebut tidak diterapkan oleh penegak hukum, maka aturan hukum tersebut men- jadi tidak valid atau merupakan aturan hukum yang salah (false). Paham yang menjadi "teori prediksi" seperti ini sangat representatif terhadap paham realisme hukum. Teori "prediksi" terhadap validi- tas hukum ini berpegang teguh pada prinsip "hukum sebagai proses kejadian" (law as a process of becoming). Akan tetapi, "teori prediksi" tersebut, yaitu teori yang meng- ajarkan bahwa validitas hukum digantungkan pada apakah akan di- terapkan atau tidaknya suatu aturan hukum oleh penegak hukum misalnya apakah akan ditegakkan oleh hakim, banyak juga me- ngandung kelemahannya, misalnya: 1. Pandangan penegak hukum yang satu akan berbeda dengan

pandangan penegak hukum yg lain.  

2. Pandangan seperti ini akan membuat

hukum selalu kabur dan tidak pernah pasti, karena tergantung pada ditegakkan atau ti- daknya hukum tersebut di masa yang akan datang. lain. yang

3. Bagaimana kita tahu bahwa tentang sikap para penegak hukum sampai datang waktunya bagi penegak hukum untuk menegakkan hukum tersebut.

4. Sikap para penegak hukum terhadap suatu norma hukum bisa berbeda dari waktu ke waktu, misalnya ketika para penegak hukum tersebut berganti dengan yang lain. Dalam hal ini, ada konservatif, ada yang agak moderat, dan penegak hukum ada yang sangat moderat, sehingga pandangan mereka j yang akan und berbeda-beda terhadap kaidah-kaidah hukum tertentu.

5. Sering juga secara diam-diam hakim telah membuat hukum yang baru daripada memilih aturan hukum yang tidak jelas atau daripada memilih salah atu dari aturan hukum yang saling ber- tentangan satu sama lain.

6. Sering juga ada kemungkinan terdapat dua aturan hukum yang berbeda dan bertentangan satu sama lain yang harus diterapkan oleh para penegakan hukum. Hal seperti ini tentu tidak mung- kin terjadi dalam teori Hans Kelsen, karena menurut Hans Kelsen, seluruh hukum berada dalam suatu sistem yang bersumber pada konstitusi sebagai norma dasar (grundnorm), sehingga jika misalnya ada dua aturan hukum yang saling bertentangan, sudah pasti salah satu atau keduanya berada di luar sistem yang ada, sehingga aturan hukum seperti itu harus dianggap tidak valid. Karena itu, Kelsen cenderung menggunakan prinsip hukum seperti:

  • Hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah.
  • Hukum lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum. Hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum yang lebih lama.
  •  Hukum yang lebih menyangkut kepentingan umum menge- sampingkan hukum yang kurang menyangkut kepentingan umum. Apa yang di Indonesia lebih dikenal dengan teori hukum pro- gresif, dengan para penegak hukumnya yang juga bersikap progresif, sebenarnya tidak lain dari perwujudan dari teori prediksi ke dalam praktik hukum di Indonesia. Akan tetapi, bagaimanapun juga, teori norma dasar (grund- norm) (bersama-sama dengan teori hukum murni-reine rechtsleh- re) telah merupakan ikon khas dari Hans Kelsen, dan telah banyak dipraktikkan di berbagai negara di dunia ini.

  • Indikasi-indikasi dari berlakunya teori grundnorm dari Hans Kelsen ini dalam suatu ne- gara, antara lain jika dalam negara tersebut terdapat:

  • 1. Terdapat suatu lembaga negara yang khusus menganalisis apa- kah suatu undang-undang atau praktik kenegaraan bertentang- an dengan konstitusi atau tidak. Jadi, semacam Mahkamah Konstitusi yang ada di Indonesia.
  • 2. Peran dari parlemen (yang membuat undang-undang) sangat tinggi dengan kewenangan yang sangat luas.
  • 3. Peran dari pengadilan tidak begitu penting.
  • 4. Sistem pemberantasan pidana yang lebih bersifat menjerakan dan represif, dengan mengabaikan usaha-usaha yang bersifat  kuratif dan preventif.
  •  5. Sistem hukum dan penerapan hukumnya sangat bersifat legalis- tik. 6. Sistem hukum dan penegakan hukum yang sangat berorientasi pada sanksi dan hukuman.

  • TEORI BADAN HUKUM
  • A. PERKEMBANGAN TEORI BADAN  HUKUM
  • Memang pada awal mulanya dalam sejarah, yang dapat dimin- takan tanggung jawab secara hukum adalah hanya manusia priba- di, tidak termasuk badan hukum. Kemudian, kalaupun terbentuk perkumpulan semacam badan hukum, perkumpulan tersebut ma- sih tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum. Di samping itu, terhadap tindakan yang dilakukan oleh perkumpulan tersebut, pihak pribadi (pendiri, pemilik, atau anggotanya) sulit ju- ga dimintakan suatu tanggung jawab hukum. Inilah yang terjadi dalam sejarah hukum tempo dahulu pada saat-saat awal di mana eksistensi suatu perkumpulan sebagai badan hukum belum jelas direspons oleh hukum. Bahkan dahulu kala, jangankan kepada ba- dan hukum diberikan status pemangku hak dan tanggung jawab, bahkan tidak semua manusia oleh hukum dapat dianggap sebagai pemangku hak dan kewajiban, yang berarti mereka bukan subjek hukum. Tempo dahulu di banyak negara dalam sejarah, kepada ma- nusia yang termasuk golongan budak tidak dianggap sebagai subjek hukum. Jadi, mereka bukan pemangku hak dan kewajiban. Dan, di berbagai negara di dunia ini tempo dahulu bahkan wanita atau istri Juga tidak dianggap sebagai subjek hukum, tetapi mereka hanya di-

  • pertama oleh hukum dianggap sebagai pemangku hak dan kewa jiban adalah manusia individu. Setelah itu, dalam sejarah (jelas Selanjutnya, sejarah hukum menunjukkan bahwa yang paling lihatan sejak zaman Romawi), bahwa berturut-turut yang diakui se- bagai pemangku hak dan kewajiban sebagai berikut (George White. cross Paton, 1955: 325):
  • 1. Keluarga, tanpa memerlukan teori tentang badan hukum.
  • 2. Badan-badan keagamaan.
  • 3. Badan-badan pemerintah.
  • 4. Badan hukum ekonomi/bisnis.

  • Tetapi kemudian, di masa-masa setelah revolusi industri di Inggris, maka keperluan untuk adanya sebuah perkumpulan bisnis dalam bentuk badan hukum semakin terasa Dalam perkembangannya, suatu badan hukum di Inggris dapat di- dirikan berdasarkan: 1. Hukum asal Inggris (common law).

  • 2. Surat penetapan dari parlemen.
  • 3. Surat penetapan dari raja (royal charter).
    Secara prescription. Dalam hal ini, suatu badan hukum sudah lama ada, kemudian mencari putusan hukum untuk mengakui 4. badan hukum yang dalam kenyataannya sudah eksis tersebut. Misalnya, eksistensi badan hukum terhadap Kota London.

RANGKUMAN ISI BUKU (TEORI-TEORI BESAR DALAM HUKUM) OLEH DR. MUNIR FUADY, S.H., M.H., LL.M

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun