Dari Laptop Butut Seseorang yang Ingin jadi Penerjemah
Aku masih ingat hari ketika untuk pertama kalinya aku membaca Kataribe no List. Manga itu bercerita tentang benda-benda antik yang memiliki kekuatan aneh: sebuah arloji yang dapat memundurkan waktu, sebuah kelereng yang dapat menemukan apa pun, dan sebatang kapur yang mampu merenggut nyawa manusia. Dalam kisah itu, benda-benda tersebut tampak berakar dari dongeng-dongeng klasik yang pernah kita dengar sekilas waktu kecil, hanya saja kini dihadirkan kembali dengan cara yang misterius, bahkan agak kelam. Saat menutup halaman terakhir manga itu, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang aneh: rasa kagum, sekaligus dorongan kuat untuk menelusuri kembali sumber kisah-kisah itu. Seolah ada suara kecil yang berkata, "Cobalah kembali ke asal semua dongeng ini."
Sejak saat itu, aku mulai mencari-cari buku dongeng klasik, dan langkah pertamaku jatuh pada nama yang paling sering disebut: Grimm Bersaudara. Di rak-rak toko buku dan perpustakaan, aku menemukan beberapa terjemahan, namun sebagian besar hanyalah kumpulan dongeng pilihan, bukan keseluruhan naskah. Padahal, Grimm Bersaudara tidak hanya mengumpulkan"Putri Salju" atau "Hansel dan Gretel". Mereka mengumpulkan dua ratus sepuluh kisah, masing-masing dengan nuansa, logika, dan keajaiban yang berbeda. Keinginan untuk membaca semuanya dalam bahasa Indonesia membuatku mulai menerjemahkannya sendiri, satu per satu, dari teks aslinya yang berbahasa Jerman maupun dari edisi terjemahan Inggris yang lebih lengkap.
Proyek itu bermula tanpa niat besar, hanya sebagai bentuk cinta kecil pada dunia cerita. Namun semakin jauh aku masuk ke dalam hutan dongeng Grimm, semakin aku sadar bahwa di balik kisah-kisah sederhana tentang anak kecil, binatang berbicara, dan raja-raja yang bijak atau dungu, tersembunyi sejarah panjang tentang cara manusia memahami moral, keajaiban, dan penderitaan. Terjemahan menjadi cara bagiku untuk menyentuh kembali akar dari imajinasi kolektif manusia Eropa, yang entah bagaimana juga memantul ke dalam budaya kita sendiri.
Perjalanan menerjemahkan dua ratus sepuluh kisah Grimm membuatku sering berhenti dan bertanya-tanya: dari mana datangnya semua ini? Dari mana asal "ibu peri" yang menolong, atau "ibu tiri" yang selalu kejam? Lalu aku menemukan bahwa sebelum Grimm Bersaudara menulis dan menyusun kembali dongeng-dongeng mereka, sudah ada penulis lain yang menempuh jalan serupa, di negeri dan zaman berbeda. Aku pun mulai menelusuri nama-nama yang disebut dalam berbagai catatan, dan perhentianku berikutnya jatuh pada Charles Perrault dari Prancis dan Hans Christian Andersen dari Denmark.
Dari Perrault, aku belajar bahwa dongeng tidak hanya sekadar hiburan bagi anak-anak, melainkan juga pantulan sopan santun istana dan budaya literer abad ke-17. Ia menulis "Cinderella", "Sleeping Beauty", dan "Little Red Riding Hood" dalam gaya yang elegan, penuh pelajaran moral dan selera istana. Sedangkan Andersen, yang hidup lebih dari seabad kemudian, membawa dongeng keluar dari dinding kastil dan menanamkannya kembali ke dalam hati manusia biasa. Dalam ceritanya, penderitaan sering kali tidak berakhir dengan bahagia, tetapi justru menyingkapkan keindahan dalam duka, seperti dalam "The Little Mermaid" atau "The Match Girl". Dari mereka, aku memahami bahwa dongeng berkembang mengikuti zaman, dan setiap penulis membawa pantulan masyarakatnya sendiri.
Namun, semua penelusuran itu akhirnya menuntunku semakin jauh ke masa lampau, menuju satu nama yang sering hanya disebut sekilas: Giambattista Basile. Seorang bangsawan dari Napoli pada abad ke-17, Basile menulis Lo cunto de li cunti atau Pentamerone, kumpulan lima puluh kisah rakyat dalam dialek Neapolitan yang menjadi cikal bakal dari begitu banyak dongeng yang kita kenal sekarang. Di dalamnya, aku menemukan benih cerita yang kelak diolah oleh Perrault dan Grimm: "Cenerentola", versi awal dari Cinderella; "La Gatta Cenerentola", yang lebih gelap dan lebih getir daripada versi istana; serta kisah "Petrosinella", nenek moyang Rapunzel yang dikurung di menara. Membaca Basile terasa seperti menyusuri naskah purba yang masih kasar, penuh aroma rakyat jelata, dengan logika yang kadang ajaib, kadang kejam, tapi selalu jujur terhadap naluri manusia.
Semakin aku mengenal Basile, semakin aku merasa bahwa lingkar perjalananku menemukan bentuknya. Grimm menyalin dan menyusun ulang dongeng dengan semangat dokumenter; Perrault menulisnya sebagai cermin moral kaum bangsawan; Andersen menjadikannya medium renungan pribadi yang puitis; sementara Basile adalah akar, tanah yang menyuburkan semuanya. Maka aku memutuskan untuk menutup pencarian itu di sana, di tempat semuanya bermula, dengan keinginan untuk menghadirkan suaranya dalam bahasa kita sendiri.
Menerjemahkan dongeng-dongeng ini bukan perkara mudah. Kadang aku harus berhenti lama hanya untuk mencari satu kata yang terasa benar. Bahasa Indonesia modern memiliki banyak padanan yang efisien, tetapi tidak semuanya mampu memelihara nuansa kuno dan lembut dari teks asal. Dalam kisah Grimm atau Basile, misalnya, kata "forest" tidak sekadar berarti hutan, melainkan tempat yang menyimpan rahasia, tempat di mana manusia diuji oleh nasib. Atau kata "maiden", yang bukan sekadar gadis, melainkan lambang kemurnian dan sekaligus keterasingan. Tantangan seperti itu membuatku terus menimbang: seberapa jauh penerjemah boleh menyesuaikan diri dengan pembaca tanpa mengkhianati suara pengarangnya?
Akhirnya aku memilih berdiri di antara keduanya. Aku ingin bahasa Indonesia dalam buku ini terasa hidup dan bisa dinikmati siapa pun yang mencintai cerita, tetapi juga tetap menjaga aroma kuno yang membuat dongeng-dongeng itu berbeda dari kisah modern. Aku tidak berusaha memodernkannya, sebab keindahan dongeng justru lahir dari jarak waktu: dari bahasa yang terasa agak asing, dari nilai-nilai yang mungkin tidak lagi mutlak, dan dari imajinasi yang menganggap hutan bisa berbicara atau hewan bisa menasihati manusia.
Proyek ini, yang bermula dari keisengan seorang pembaca manga, akhirnya menjadi perjalanan panjang yang mengajarkanku banyak hal. Aku belajar bahwa menerjemahkan bukan hanya memindahkan kata, melainkan juga menyebrangkan roh cerita dari satu dunia ke dunia lain. Aku belajar bahwa dongeng tidak pernah mati; ia hanya menunggu seseorang yang mau mendengarkan kembali bisikannya. Dan aku belajar bahwa dalam setiap kisah, baik yang bahagia maupun yang getir, selalu ada cermin kecil bagi diri kita sendiri.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130