Bangsa besar mencetak tokoh besar lewat sistem, bukan kebetulan.
Masa remaja bukan ruang labil, tapi ladang penakluk zaman.
I. Pendahuluan: Remaja Indonesia dalam Cermin Krisis
A. Krisis Identitas, Disorientasi Masa Depan, dan Alienasi Digital
Di tengah arus deras bonus demografi, Indonesia justru menghadapi paradoks sosial: mayoritas penduduk berusia muda, namun banyak di antaranya justru kehilangan arah. Jika masa remaja dulunya dikenal sebagai masa pencarian jati diri, kini ia berubah menjadi masa kebingungan massal yang difasilitasi teknologi, dibungkus kebebasan semu, dan dibentuk oleh algoritma yang tak peduli pada nilai.
1. Krisis Identitas
Menurut Erik Erikson, fase remaja adalah tahap krusial pembentukan identitas (identity vs role confusion). Pada titik ini, individu bertanya: siapa aku, untuk apa aku hidup, dan di mana tempatku dalam dunia ini? Tapi di Indonesia hari ini, ratusan ribu remaja menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu dalam diam---karena sistem pendidikan terlalu sibuk mengejar angka, dan keluarga terlalu letih menghadapi tekanan ekonomi.
Banyak remaja tumbuh tanpa struktur makna. Mereka tak diberi ruang menumbuhkan nilai melalui pengalaman nyata, hanya dijejali doktrin atau dibiarkan hanyut di dunia maya. Akibatnya, yang terbentuk bukan identitas yang kuat, melainkan role confusion kolektif---mereka tak tahu ingin jadi apa, tak tahu harus belajar apa, bahkan tak yakin kenapa mereka hidup.
2. Disorientasi Masa Depan
Saat ditanya cita-cita, jawaban remaja masa kini lebih sering bersifat impulsif dan imitasi: influencer, content creator, YouTuber. Bukan karena profesi itu salah, tapi karena mayoritas tidak memahami proses dan tanggung jawab di baliknya. Yang mereka lihat hanya kemasan: viralitas, glamor, dan pengakuan instan.
Penelitian dari Kementerian PPN/Bappenas (2022) menyatakan bahwa hanya 23% remaja Indonesia yang memiliki gambaran konkret tentang masa depannya. Sisanya berada dalam ketidakjelasan, baik karena lingkungan yang tidak mendukung, kurangnya pembinaan vokasional, maupun karena sistem pendidikan yang tidak terintegrasi dengan realitas sosial dan ekonomi.
3. Alienasi Digital
Teknologi seharusnya memberdayakan, tapi pada remaja yang belum matang secara neurologis dan moral, gawai sering menjadi candu yang melemahkan. Anak usia 13--17 tahun di Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari 7 jam per hari di internet (We Are Social, 2023), mayoritas untuk konten hiburan dan media sosial, bukan pembelajaran.
Fenomena "digital alienation" ini bukan hanya membuat mereka menjauh dari dunia nyata---dari interaksi sosial yang sehat, dari dialog lintas usia, dari pengalaman praktis---tetapi juga menjauh dari dirinya sendiri. Hidup mereka diarahkan oleh notifikasi, validasi semu dari "like" dan "views", hingga mereka sulit merasakan makna dari kesunyian, kegagalan, dan proses.