Newton hidup di Inggris abad ke-17, masa transisi dari abad kegelapan menuju Scientific Revolution. Di usia belasan, ia beruntung bisa masuk ke sekolah yang mendorong eksperimen dan observasi, meskipun awalnya ia dianggap murid yang lambat. Namun, justru ruang kesunyian dan kebebasan intelektual itulah yang membuatnya berkembang.
Lingkungan akademik Cambridge kemudian menyediakan wadah yang tepat: bukan mengekang kreativitas, melainkan memberi ruang untuk trial and error. Newton adalah bukti bahwa sistem pendidikan yang memberi ruang eksplorasi intelektual, alih-alih sekadar hafalan, bisa melahirkan lompatan ilmiah yang mengubah dunia.
3. Zuckerberg: Sistem Ekonomi Digital dan Kultur Eksperimen
Zuckerberg tumbuh dalam kultur Amerika yang mendorong inovasi dan kewirausahaan sejak dini. Ayahnya mendukung minatnya pada komputer, bahkan membayar tutor privat untuk mengasah kemampuannya. Sekolahnya (Phillips Exeter) menyediakan fasilitas lengkap, dari laboratorium komputer hingga kompetisi ilmiah.
Lebih dari itu, sistem sosial di sekitarnya tidak menghukum kegagalan. Membangun proyek, gagal, mencoba lagi---semua dianggap wajar, bahkan didorong. Visi yang ditanamkan sejak belia adalah "jangan takut membangun sesuatu yang baru."
Kunci Keberhasilan Mereka
Dari ketiga kisah ini tampak jelas: pembinaan yang tepat di usia belasan menentukan arah hidup seseorang.
-Fatih menaklukkan kota terkuat dunia bukan semata karena keberanian, melainkan karena pembinaan disiplin dan visi jangka panjang.
Newton menemukan hukum semesta karena lingkungan akademis memberinya ruang eksplorasi.
Zuckerberg membangun jejaring sosial global karena budaya pendidikan dan keluarga menanamkan keberanian bereksperimen.
Bandingkan dengan Indonesia hari ini: sistem pendidikan kita sering terjebak pada orientasi ujian, hafalan, dan birokratisasi. Visi besar jarang ditanamkan; yang ada hanyalah "belajar demi nilai". Sementara dunia bergerak cepat, remaja kita dibiarkan larut dalam alienasi digital tanpa arah strategis.
Pertanyaan besar yang muncul:
Apakah kita masih rela membiarkan usia emas remaja Indonesia (13--16 tahun) berlalu tanpa visi?
Apakah kita akan terus berpegang pada sistem pendidikan yang melahirkan lulusan tanpa arah, sementara dunia menuntut Al-Fatih baru, Newton baru, dan Zuckerberg baru?
Atau sudah saatnya kita menciptakan sistem pembinaan pasca-SMP yang menyalurkan energi remaja ke dalam disiplin, kolaborasi, dan visi jangka panjang?
C. Momentum Belasan Tahun sebagai Titik Pijak Peradaban