Namun, kemampuan ini sering kali belum stabil. Banyak remaja yang sudah bisa "berfilosofi" di satu sisi, tapi masih bertindak impulsif di sisi lain. Ini karena pola pikir abstrak mereka belum sepenuhnya sinkron dengan kontrol emosional prefrontal cortex (yang matang di usia 20-an).
2. Mampu Memahami Nilai, Masa Depan, dan Konsekuensi
Secara moral, masa remaja adalah fase ketika nilai-nilai hidup mulai dipertanyakan dan dipilih. Mereka tidak lagi sekadar menerima dogma dari orang tua/guru, tapi ingin menguji, membandingkan, bahkan menantang.
Di sinilah letak potensi emasnya:
Mereka sudah sadar ada masa depan dan mulai bisa menghubungkan keputusan hari ini dengan dampaknya kelak.
Mereka mulai mencari sistem nilai yang bisa mereka pegang: apakah agama, ideologi, komunitas, atau bahkan tokoh panutan.
Mereka punya potensi untuk berkomitmen pada visi besar, asalkan ditanamkan dengan cara yang relevan dan inspiratif.
Jika tidak diarahkan, potensi abstrak ini bisa berbalik jadi nihilisme ("hidup nggak ada artinya, mending YOLO"), atau jatuh ke ekstremisme dangkal ("kebenaran mutlak versi kelompokku").
Maka, kurikulum wajib karakter nasional yang terstruktur dapat menjadi jembatan moral-kognitif:
Menghubungkan idealisme remaja dengan realitas praktis.
Melatih mereka untuk berpikir kritis, etis, dan reflektif dalam mengambil keputusan.
Membiasakan mereka melihat konsekuensi, bukan hanya kesenangan sesaat.