B. Konteks Indonesia: Kesenjangan Kesiapan, Stagnasi Narasi Elite
Jika dunia sedang melaju di atas kereta supercepat bernama AI, Indonesia masih tertatih di peron, menyaksikan tanpa arah, bahkan tanpa peta. Di saat negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, atau bahkan Rwanda meluncurkan peta jalan nasional AI yang strategis, beretika, dan multidimensi, Indonesia belum menunjukkan kesiapan struktural maupun imajinatif dalam menghadapi gelombang ini.
Kesenjangan kesiapan terlihat nyata dalam berbagai indikator internasional. Berdasarkan Oxford Government AI Readiness Index 2023, Indonesia berada di peringkat ke-77 dari 193 negara, jauh tertinggal dari tetangga ASEAN seperti Singapura (1), Malaysia (29), dan Thailand (53). Ketimpangan ini bukan semata soal infrastruktur digital atau anggaran riset, tetapi soal narasi dan visi politik yang mandek.
Para elite Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal, lebih sibuk memanen elektabilitas daripada menanam benih arah masa depan. Narasi mereka seputar AI, jika ada, cenderung dangkal dan seremonial: terbatas pada jargon-jargon seperti "transformasi digital," "ekonomi kreatif," atau "teknologi untuk kesejahteraan rakyat"---tanpa fondasi konseptual, kebijakan konkret, atau refleksi etik yang mendalam.
Ketiadaan narasi transformatif dari elite ini mengindikasikan stagnasi intelektual dalam ruang-ruang kekuasaan. Tidak ada roadmap nasional yang mengintegrasikan AI dengan pendidikan, ketenagakerjaan, kedaulatan data, atau etika digital. Bahkan dalam dokumen-dokumen strategis seperti RPJMN atau perencanaan industri 4.0, AI lebih sering ditempatkan sebagai pelengkap retorika daripada sebagai poros utama perubahan sosial.
Di sisi lain, masyarakat mulai mengalami disrupsi langsung:
Pekerja kehilangan pekerjaan karena otomatisasi.
Disinformasi membanjiri ruang publik melalui algoritma.
Anak-anak terpapar konten manipulatif oleh sistem rekomendasi tak bertanggung jawab.
Namun para pemimpin kita seolah bisu, tak lagi mengeluarkan "feromon" kepemimpinan yang bisa memberi arah, perlindungan, atau imajinasi. Mereka ibarat ratu lebah yang telah mati dalam sarang yang masih penuh kehidupan, menyisakan kekosongan struktur dan potensi kekacauan sistemik.
Dan seperti dalam koloni lebah, ketika feromon sang ratu menghilang, hanya ada dua pilihan: kehancuran atau transformasi.