Konsep ini menjungkirbalikkan ilusi kontrol total terhadap diri. Ya, saya bisa memilih sikap terhadap penderitaan, tetapi kemampuan saya untuk "memilih" pun dibentuk oleh pendidikan saya, pengalaman saya terhadap rasa aman, atau bahkan kadar dopamin dalam otak saya.
Neurosains: Diri Bukanlah Entitas Tunggal dan Otonom
Penemuan neurosains modern memperkuat kritik terhadap ilusi kedaulatan diri. Antonio Damasio, dalam bukunya Descartes' Error, menunjukkan bahwa pengambilan keputusan manusia tidak semata-mata logis dan sadar, tetapi sangat dipengaruhi oleh kondisi tubuh (embodied cognition) dan emosi bawah sadar.
Lebih lanjut, studi tentang trauma dari Bessel van der Kolk (The Body Keeps the Score) menjelaskan bahwa pengalaman traumatis bisa mengunci seseorang dalam pola respons tertentu tanpa sadar---yang secara langsung memengaruhi produktivitas, sikap, dan ketenangan batin. Maka, mengatakan kepada orang yang trauma, "Kendalikan pikiranmu," bisa menjadi bentuk kekerasan psikologis, karena mengabaikan fakta bahwa akses terhadap kontrol itu sendiri bisa rusak.
Struktur Sosial dan Ketimpangan Kendali
Kebebasan untuk mengatur produktivitas dan ketenangan batin juga sangat dipengaruhi oleh struktur sosial. Apakah seorang buruh harian di kota megapolitan memiliki kontrol yang sama atas waktu luang dan refleksi diri sebagaimana seorang pekerja remote dengan akses kesehatan mental? Apakah seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan punya kemewahan untuk sekadar "mengatur sikap"?
Filsuf feminis seperti Simone de Beauvoir mengkritik gagasan universal tentang kehendak bebas yang mengabaikan struktur penindasan. Dalam The Second Sex, ia menunjukkan bahwa kebebasan perempuan, dan kelompok tertindas lainnya, sering kali dikonstruksi dalam batas-batas yang dipaksakan dari luar. Maka, pernyataan "fokus saja pada apa yang bisa kamu kontrol" bisa menjadi bentuk gaslighting struktural ketika tak disertai kesadaran akan ketimpangan sistemik.
Dengan ini, kita mulai memahami bahwa kendali bukanlah soal kemauan belaka, tapi juga akses, kondisi tubuh, dan struktur sosial. Diri bukanlah menara gading yang menjulang di atas dunia, tapi jaringan rentan yang terjalin dengan dunia secara mendalam, kadang menyakitkan, kadang membingungkan, tapi selalu eksistensial.
4. Interdependensi Sistemik: Diri sebagai Node dalam Jaringan
Gagasan bahwa kita dapat sepenuhnya memisahkan "apa yang bisa kita kontrol" dari "apa yang tidak bisa kita kontrol" tidak hanya keliru secara praktis, tetapi juga secara filosofis dan sistemik. Ia gagal memahami bahwa diri manusia bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari jaringan kompleks yang saling memengaruhi, baik secara sosial, biologis, maupun ekologis. Dalam kerangka ini, kontrol tidak bersifat absolut, melainkan relatif, kontekstual, dan selalu dinegosiasikan.
Anatta dalam Buddhisme: Ketiadaan Diri Tetap