Membongkar Mitos Hal yang Bisa Dikendalikan dan yang Tidak Bisa Dikendalikan
Kita hidup dalam ilusi bahwa hidup akan lebih baik jika kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kontrol. Tapi benarkah demikian? Bagaimana jika batas antara yang bisa dan tak bisa kita kontrol hanyalah konstruksi psikologis dan sosial yang rapuh? Artikel ini membongkar mitos kendali dari perspektif filsafat eksistensial, psikologi kompleks, dan teori sistem, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih realistis dan jujur tentang relasi kita dengan dunia.
Outline:
1. Pendahuluan: Kenyamanan dalam Ilusi Kontrol
Perkenalan gambar viral tentang "I Can vs I Cannot Control"
Mengapa konsep ini populer? (Kebutuhan psikologis untuk meredakan kecemasan)
Pertanyaan kunci: Apakah ini hanya ilusi yang menenangkan?
2. Asumsi Biner dan Dunia yang Tak Pernah Hitam Putih
Mengkritik dikotomi "kontrol vs tidak kontrol"
Kutipan dari Heraclitus: dunia dalam arus perubahan yang terus-menerus
Paparan tentang gray zone (contoh emosi orang lain yang bisa dipengaruhi)
3. Ilusi Kedaulatan Diri dan Kritik Eksistensial
Perspektif Jean-Paul Sartre: kebebasan radikal vs keterlemparan ke dunia
Apakah kita benar-benar bebas mengatur produktivitas, sikap, dan ketenangan batin?
Peran struktur sosial, trauma, dan kondisi tubuh (neurosains & eksistensialisme)
4. Interdependensi Sistemik: Diri sebagai Node dalam Jaringan
Kutipan dari Buddhisme (Anatta) dan Teori Sistem Niklas Luhmann
Diri bukan entitas otonom, melainkan simpul dari relasi yang terus berubah
Contoh konkret: ekonomi kreatif dalam ekosistem digital yang berubah-ubah
5. Manipulasi dan Kontrol Terselubung
Konsep Foucault tentang Power/Knowledge: kontrol tak selalu tampak
Etika manipulasi dan pengaruh sosial (dalam politik, iklan, dan relasi)
Perbedaan antara kontrol langsung, pengaruh tersembunyi, dan nudging
6. Dimensi Waktu dan Relativitas Kontrol
Masa lalu: rekonstruksi naratif dan false memory
Masa depan: konsep anticipatory systems dari Robert Rosen
Masa kini sebagai titik dinamis, bukan titik diam
7. Kekacauan, Ketidakpastian, dan Kecantikan dari Tidak Tahu
Teori Ilya Prigogine tentang sistem tak stabil dan bifurkasi
Chaos theory dan kompleksitas sebagai hukum dasar realitas
Ketidakpastian bukan kelemahan, tapi sumber kreativitas dan adaptasi
8. Penutup: Menuju Pemahaman yang Lebih Lentur
Bukan tentang menolak kontrol, tapi memahami sifatnya yang kontekstual dan sementara
Dari "I can control everything" menjadi "I can adapt with everything"
Ajakan untuk membingkai ulang kontrol sebagai hubungan, bukan kepemilikan
1. Pendahuluan: Kenyamanan dalam Ilusi Kontrol
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan gangguan, gambar viral yang membagi dunia menjadi dua lingkaran sederhana, "Apa yang Bisa Saya Kontrol" dan "Apa yang Tidak Bisa Saya Kontrol", hadir bagaikan oasis di tengah badai eksistensial. Visual ini telah dibagikan ribuan kali, dicetak dan ditempel di dinding ruang terapi, kantor startup, hingga kamar tidur remaja yang baru mengenal meditasi dan stoikisme.
Tampaknya, visual itu menawarkan kelegaan instan. Ia menyederhanakan realitas menjadi sebuah dikotomi yang tampak rapi: fokuslah pada apa yang bisa kau kendalikan, dan lepaskan sisanya. Nasihat ini sejalan dengan petuah filsafat Stoik kuno dari Epictetus hingga Marcus Aurelius, yang menekankan pentingnya membedakan antara yang tergantung pada kehendak kita dan yang tidak.
Namun, di balik ketenangan itu, muncul sebuah pertanyaan mengusik:
Apakah pembedaan ini benar-benar mencerminkan realitas, atau hanya sebuah konstruksi psikologis untuk meredakan kecemasan?
Mengapa Konsep Ini Populer?
Psikolog modern seperti Julian Rotter dengan Locus of Control, dan kemudian Albert Bandura dengan Self-Efficacy, menunjukkan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk merasa "berdaya". Ketika dunia luar terasa terlalu kacau, bahkan sekadar merasa mampu mengontrol pola makan atau suasana hati sendiri bisa menjadi tambatan emosional yang penting. Dalam bahasa Daniel Kahneman, ini adalah bentuk "substitution heuristic": kita menggantikan pertanyaan sulit seperti "bagaimana menghadapi kekacauan hidup?" dengan pertanyaan lebih mudah, "apa yang bisa saya lakukan sekarang?"
Lebih dari itu, ide ini memberikan struktur moral: jika saya fokus pada hal-hal yang saya kendalikan, saya adalah manusia bertanggung jawab. Sebaliknya, jika saya frustrasi terhadap yang di luar kendali, saya sekadar buang-buang energi. Ini bukan hanya strategi emosional, tetapi juga narasi etis tentang kedewasaan dan keikhlasan.
Namun, Apakah Ini Sebuah Ilusi yang Menenangkan?
Di sinilah filsafat menjadi penting: bukan untuk membongkar kenyamanan, tetapi untuk menguji validitasnya. Gagasan bahwa realitas dapat dibelah rapi menjadi yang bisa dan tidak bisa dikontrol mungkin lebih mencerminkan keinginan kita untuk keteraturan daripada kenyataan itu sendiri. Apakah kedamaian batin saya sungguh hanya bergantung pada saya? Apakah persepsi orang lain benar-benar tidak bisa saya pengaruhi?
Seperti kata Slavoj iek: "Realitas bukanlah sesuatu yang bisa dipetakan secara netral. Realitas selalu terikat pada bagaimana kita mengintervensinya." Atau dalam bahasa yang lebih klasik, seperti dikatakan oleh Immanuel Kant: "Dunia bukan sebagaimana adanya, tapi sebagaimana ia tampak melalui struktur kesadaran kita."
Dari sinilah kita memulai: tidak dengan penolakan total terhadap peta "I Can Control vs I Cannot Control", tapi dengan semangat penyelidikan kritis. Kita akan lihat bahwa batas antara kontrol dan ketidakberdayaan tidak sejelas yang kita kira, bahkan sering kali bersifat cair, dapat dinegosiasikan, dan tak jarang bisa dimanipulasi.
2. Asumsi Biner dan Dunia yang Tak Pernah Hitam Putih
Jika dunia ini sesederhana dua lingkaran yang memisahkan "apa yang bisa dikontrol" dan "apa yang tidak", maka hidup akan jauh lebih mudah, lebih teratur, dan mungkin... membosankan. Namun kenyataannya, hidup tidak bekerja dengan cara itu. Realitas lebih menyerupai spektrum daripada switch, lebih seperti kabut yang terus bergerak daripada garis batas yang tegas.
Mengkritik Dikotomi "Kontrol vs Tidak Kontrol"
Pemetaan "biner" dalam gambar viral itu menyiratkan bahwa segala aspek dalam hidup bisa diklasifikasikan dengan jelas ke dalam dua kategori. Tetapi dalam banyak hal, kontrol bukanlah sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki, melainkan sesuatu yang dinegosiasikan, dibangun, atau diupayakan melalui konteks, waktu, dan relasi kekuatan.
Contohnya, dalam gambar tersebut, "emosi orang lain" termasuk ke dalam hal yang tak bisa kita kontrol. Namun, bukankah komunikasi yang empatik, intonasi suara, pilihan kata, atau bahkan kehadiran fisik kita dapat memengaruhi perasaan seseorang? Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya mengendalikan perasaan mereka, tetapi kita juga tidak sepenuhnya tak berdaya. Ini adalah wilayah abu-abu, gray zone, yang membantah dikotomi tersebut.
Contoh lain: "produktivitas saya" masuk kategori yang bisa kita kontrol. Tapi produktivitas dipengaruhi banyak faktor eksternal seperti cuaca, situasi politik, kondisi ekonomi, dan bahkan suasana hati orang-orang di sekitar kita. Maka, seolah-olah kita bisa mengontrolnya sepenuhnya, justru bisa menjadi bentuk penyangkalan terhadap kompleksitas dunia.
Dunia dalam Arus Perubahan: Heraclitus dan Ketakterdugaan
Heraclitus, filsuf Yunani yang terkenal dengan adagium "panta rhei" (segala sesuatu mengalir), percaya bahwa dunia ini terus berubah, tidak pernah tetap, tidak pernah berhenti. Ia berkata, "Kamu tidak bisa melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena air yang kamu injak sudah bukan air yang sama, dan kamu pun bukan diri yang sama."
Konsep ini penting karena mengguncang kepercayaan kita pada kategori statis. Apa yang bisa saya kontrol hari ini, bisa jadi tidak saya kuasai besok. Apa yang tampak tak bisa dikendalikan sekarang, bisa berubah ketika saya belajar keterampilan baru, mendapatkan dukungan, atau memahami sistem yang lebih besar.
Filsafat eksistensial, dari Simone de Beauvoir hingga Jean-Paul Sartre, juga menolak pembedaan yang kaku antara kebebasan dan determinasi. Sartre menyatakan bahwa manusia "terkutuk untuk bebas"-yakni kita tidak pernah sepenuhnya terpenjara oleh kondisi, tetapi juga tidak pernah sepenuhnya merdeka dari konsekuensinya. Kebebasan dan keterbatasan, kontrol dan ketakberdayaan, selalu berkelindan dalam pengalaman manusia.
Memahami Gray Zone sebagai Ruang Potensi
Alih-alih menyangkal wilayah abu-abu, kita perlu melihatnya sebagai ruang potensi. Wilayah ini adalah tempat kita bisa menegosiasikan pengaruh, belajar memahami batas-batas, dan merancang intervensi. Ini adalah wilayah politik, sosial, psikologis, bahkan spiritual, di mana kita tidak bisa menjamin hasil, tapi bisa memungkinkan kemungkinan.
Maka, pembagian kontrol dan ketidakberdayaan bukanlah peta final, melainkan undangan untuk memahami dunia dengan cara yang lebih dinamis. Dunia bukanlah catur dengan kotak hitam-putih, tetapi lebih seperti kanvas berwarna gradasi, di mana setiap goresan bisa memperluas atau menyempitkan ruang kendali kita.
3. Ilusi Kedaulatan Diri dan Kritik Eksistensial
Dalam banyak narasi motivasional modern, terutama yang bergema dalam kutipan-kutipan Stoik dan gambar-gambar pengembangan diri, terdapat gagasan bahwa diri manusia adalah raja kecil dalam kerajaan batinnya sendiri. Bahwa kita, melalui kehendak bebas, mampu mengatur produktivitas, mengelola sikap, dan memilih ketenangan batin kapan pun kita mau. Ini adalah bentuk modern dari mitos kedaulatan diri, sebuah imajinasi tentang kendali internal yang mutlak.
Namun filsafat eksistensial, khususnya dari Jean-Paul Sartre, mengajak kita untuk menggugat mitos tersebut.
Sartre: Kebebasan Radikal vs Keterlemparan ke Dunia
Dalam karya monumental Being and Nothingness, Sartre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang "terkutuk untuk bebas" (condemned to be free). Artinya, tidak ada penentu eksternal yang bisa sepenuhnya dijadikan alasan atas tindakan kita. Kita tidak bisa menyalahkan "keadaan" karena pada akhirnya, dalam setiap situasi, kita masih memilih bagaimana merespons.
Namun, Sartre juga mengakui bahwa manusia hidup dalam keadaan keterlemparan (facticity). Kita tidak memilih untuk dilahirkan di keluarga tertentu, di negara tertentu, dengan tubuh tertentu. Dalam pengertian ini, kebebasan kita selalu dibatasi oleh fakta-fakta yang mendahului keberadaan kita. Maka, manusia bukanlah penguasa mutlak, melainkan aktor yang bermain dalam panggung dunia yang tidak dia desain.
Konsep ini menjungkirbalikkan ilusi kontrol total terhadap diri. Ya, saya bisa memilih sikap terhadap penderitaan, tetapi kemampuan saya untuk "memilih" pun dibentuk oleh pendidikan saya, pengalaman saya terhadap rasa aman, atau bahkan kadar dopamin dalam otak saya.
Neurosains: Diri Bukanlah Entitas Tunggal dan Otonom
Penemuan neurosains modern memperkuat kritik terhadap ilusi kedaulatan diri. Antonio Damasio, dalam bukunya Descartes' Error, menunjukkan bahwa pengambilan keputusan manusia tidak semata-mata logis dan sadar, tetapi sangat dipengaruhi oleh kondisi tubuh (embodied cognition) dan emosi bawah sadar.
Lebih lanjut, studi tentang trauma dari Bessel van der Kolk (The Body Keeps the Score) menjelaskan bahwa pengalaman traumatis bisa mengunci seseorang dalam pola respons tertentu tanpa sadar---yang secara langsung memengaruhi produktivitas, sikap, dan ketenangan batin. Maka, mengatakan kepada orang yang trauma, "Kendalikan pikiranmu," bisa menjadi bentuk kekerasan psikologis, karena mengabaikan fakta bahwa akses terhadap kontrol itu sendiri bisa rusak.
Struktur Sosial dan Ketimpangan Kendali
Kebebasan untuk mengatur produktivitas dan ketenangan batin juga sangat dipengaruhi oleh struktur sosial. Apakah seorang buruh harian di kota megapolitan memiliki kontrol yang sama atas waktu luang dan refleksi diri sebagaimana seorang pekerja remote dengan akses kesehatan mental? Apakah seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan punya kemewahan untuk sekadar "mengatur sikap"?
Filsuf feminis seperti Simone de Beauvoir mengkritik gagasan universal tentang kehendak bebas yang mengabaikan struktur penindasan. Dalam The Second Sex, ia menunjukkan bahwa kebebasan perempuan, dan kelompok tertindas lainnya, sering kali dikonstruksi dalam batas-batas yang dipaksakan dari luar. Maka, pernyataan "fokus saja pada apa yang bisa kamu kontrol" bisa menjadi bentuk gaslighting struktural ketika tak disertai kesadaran akan ketimpangan sistemik.
Dengan ini, kita mulai memahami bahwa kendali bukanlah soal kemauan belaka, tapi juga akses, kondisi tubuh, dan struktur sosial. Diri bukanlah menara gading yang menjulang di atas dunia, tapi jaringan rentan yang terjalin dengan dunia secara mendalam, kadang menyakitkan, kadang membingungkan, tapi selalu eksistensial.
4. Interdependensi Sistemik: Diri sebagai Node dalam Jaringan
Gagasan bahwa kita dapat sepenuhnya memisahkan "apa yang bisa kita kontrol" dari "apa yang tidak bisa kita kontrol" tidak hanya keliru secara praktis, tetapi juga secara filosofis dan sistemik. Ia gagal memahami bahwa diri manusia bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari jaringan kompleks yang saling memengaruhi, baik secara sosial, biologis, maupun ekologis. Dalam kerangka ini, kontrol tidak bersifat absolut, melainkan relatif, kontekstual, dan selalu dinegosiasikan.
Anatta dalam Buddhisme: Ketiadaan Diri Tetap
Salah satu ajaran mendasar dalam Buddhisme adalah konsep Anatta, bahwa tidak ada "diri" yang tetap, abadi, dan terpisah dari dunia. Diri hanyalah ilusi dari rangkaian fenomena fisik dan mental yang saling berhubungan dan berubah-ubah. Dalam pandangan ini, mengatakan bahwa "saya bisa mengontrol pikiran saya" tanpa menyadari bahwa pikiran itu sendiri terbentuk dari pengalaman, lingkungan, dan kondisi tubuh, adalah seperti mencoba memegang air dengan tangan terbuka---sebagian mungkin tertahan, tapi sisanya selalu lolos.
Lebih jauh, dalam Patthana, kitab Abhidhamma Buddhis, dijelaskan bahwa semua fenomena---termasuk kehendak dan keputusan pribadi, muncul sebagai hasil kondisionalitas saling ketergantungan (paccaya). Maka, apa yang tampak sebagai "kontrol diri" adalah hasil dari kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan kontrol itu muncul. Ia bukan sumber, tapi akibat.
Niklas Luhmann dan Teori Sistem Sosial
Sosiolog Jerman Niklas Luhmann mengembangkan Teori Sistem yang menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari sistem-sistem komunikasi yang saling bergantung dan otonom secara fungsional. Diri, dalam hal ini, bukan pusat kendali absolut, tetapi simpul dalam jaringan komunikasi sosial yang terus beradaptasi.
Dalam kerangka Luhmann, tidak ada sistem tunggal yang dapat mengendalikan sistem lainnya secara total. Artinya, bahkan "kesadaran pribadi" (sebagai sistem psikis) tidak dapat mengendalikan sistem sosial, hukum, atau ekonomi secara langsung. Sebaliknya, sistem-sistem ini saling menyesuaikan dalam proses kompleks yang disebut autopoiesis, yaitu reproduksi dan adaptasi diri melalui komunikasi internal.
Dengan demikian, ketika seseorang merasa "mengatur hidupnya" melalui niat dan tekad, ia sebenarnya sedang bernegosiasi dengan sistem-sistem di luar dirinya, budaya, algoritma, nilai ekonomi, bahkan arsitektur platform digital.
Contoh Konkret: Ekonomi Kreatif dalam Ekosistem Digital
Ambil contoh seorang konten kreator yang ingin "mengontrol" produktivitas dan pertumbuhan kariernya di platform digital. Ia mungkin berpikir bahwa kerja keras, kreativitas, dan konsistensi adalah hal-hal yang sepenuhnya bisa dikendalikan.
Namun, performa karyanya sangat ditentukan oleh algoritma YouTube atau Instagram yang terus berubah dan tidak sepenuhnya transparan. Ia juga bergantung pada tren budaya, perubahan selera audiens, kebijakan monetisasi, hingga kestabilan koneksi internet di wilayahnya. Bahkan, kesehatan mentalnya, yang memengaruhi produktivitas, dipengaruhi oleh komentar dari netizen atau tekanan untuk terus relevan.
Dengan kata lain, kendali atas dirinya terfragmentasi dan tersaring melalui sistem digital, sosial, dan psikologis. Ia bukan pusat kontrol, melainkan simpul dalam ekosistem yang kompleks, dinamis, dan penuh ketidakpastian.
Konsekuensi dari pemahaman ini sangat mendalam: bukan hanya bahwa kita tidak memiliki kontrol absolut, tapi bahwa "kontrol" itu sendiri adalah produk dari interaksi, ia tidak inheren dalam diri, melainkan muncul dari keterhubungan. Maka, membagi dunia menjadi "yang bisa dikontrol" dan "yang tidak bisa dikontrol" adalah mereduksi kompleksitas menjadi biner yang menenangkan tapi menyesatkan.
5. Manipulasi dan Kontrol Terselubung
Gambar yang membagi dunia menjadi dua wilayah, apa yang bisa kita kontrol dan tidak---mengabaikan dimensi ketiga yang jauh lebih subtil dan berbahaya: manipulasi. Di sinilah muncul ironi filosofis yang mendalam. Sebab, dalam kenyataannya, banyak hal yang kita anggap "tidak bisa dikontrol" ternyata bisa dipengaruhi, bukan dengan kekuatan langsung, melainkan melalui sistem simbolik, psikologis, dan sosial yang tak kasatmata.
Michel Foucault: Power/Knowledge dan Mekanisme Kekuasaan
Foucault, dalam karya-karya seperti Discipline and Punish dan The History of Sexuality, memperkenalkan gagasan bahwa kekuasaan (power) tidak hanya bekerja melalui larangan atau kekuatan koersif, tetapi melalui penyusunan pengetahuan (knowledge), norma, dan wacana yang membentuk subjektivitas manusia. Dengan kata lain, kontrol paling efektif bukan yang dipaksakan dari luar, tapi yang ditanamkan di dalam kepala.
Contohnya, dalam masyarakat modern, kita tidak selalu diawasi secara fisik, tetapi tetap berperilaku seolah-olah diawasi. Foucault menyebutnya sebagai efek panoptikon---sebuah bentuk kontrol terselubung di mana struktur sosial membuat kita menjadi pengawas bagi diri kita sendiri. Maka, kontrol tidak hilang, ia hanya bersembunyi dalam internalisasi norma.
Etika Manipulasi: Dari Politik hingga Relasi Personal
Manipulasi bukan sekadar taktik politik atau strategi iklan. Ia merasuk hingga ke kehidupan sehari-hari: dalam hubungan keluarga, relasi romantik, hingga budaya kerja. Seorang politisi mungkin tidak bisa "mengontrol" suara rakyat secara langsung, tetapi bisa membentuk opini publik dengan narasi, framing, dan spin doctoring.
Begitu pula dalam relasi personal, seseorang bisa mempengaruhi pasangannya melalui rasa bersalah, permainan emosi, atau "silent treatment." Ini bukan kekerasan langsung, tetapi bentuk kendali halus yang bekerja di bawah permukaan.
Di sini muncul dilema etis: kapan pengaruh menjadi manipulasi? Apakah mempengaruhi orang untuk berhenti merokok dengan kampanye emosional itu etis? Bagaimana dengan iklan yang menargetkan rasa takut kehilangan (FOMO)? Manipulasi selalu berada di wilayah abu-abu antara niat baik, kontrol sosial, dan eksploitasi psikologis.
Nudging: Kontrol yang Lembut tapi Efektif
Dalam konteks ekonomi perilaku, Richard Thaler dan Cass Sunstein memperkenalkan konsep nudge---intervensi halus yang mendorong orang membuat keputusan tertentu tanpa melarang opsi lain. Contohnya, menaruh buah di rak mata saat sarapan agar orang lebih memilihnya dibanding donat.
Nudging bukan kontrol eksplisit, melainkan desain pilihan yang membentuk kecenderungan. Ini berbeda dari manipulasi klasik karena bersifat transparan dan bertujuan baik (misalnya, untuk kesehatan publik). Namun, dalam praktiknya, perbedaan antara nudging dan manipulating sering kali kabur.
Contoh ekstremnya tampak dalam dunia digital: notifikasi merah di aplikasi dirancang untuk menarik perhatian. Pilihan default untuk menyetujui "Terms and Conditions" tanpa membaca adalah bentuk nudging yang nyaris memanipulasi.
Dalam dunia nyata, pengaruh jarang bersifat absolut. Kita tidak sepenuhnya "mengontrol" pikiran orang lain, tapi kita bisa memengaruhinya. Kita tidak bisa "mengendalikan" persepsi publik, tapi kita bisa merancang narasi. Kontrol terselubung ini justru yang paling berbahaya---karena ia menyamar sebagai kebebasan.
6. Dimensi Waktu dan Relativitas Kontrol
Salah satu kekeliruan mendasar dari pembagian realitas ke dalam "yang bisa dikontrol" dan "yang tidak bisa dikontrol" adalah pengabaian terhadap dimensi waktu. Dalam kerangka linear, waktu sering dipahami sebagai garis lurus dari masa lalu ke masa depan. Namun dalam realitas subjektif dan kognitif, waktu tidak pernah benar-benar linier, ia lentur, penuh bias, dan terus diproses ulang oleh pikiran.
Masa Lalu: Rekonstruksi Naratif dan False Memory
Kita sering berpikir bahwa masa lalu adalah wilayah yang "sudah tetap" dan karenanya "tak bisa dikontrol". Namun, dari perspektif psikologi kognitif dan filsafat waktu, masa lalu justru bersifat rekonstruktif. Setiap kali kita mengingat sesuatu, kita tidak hanya "memutar ulang", tapi juga menyusun ulang ingatan itu berdasarkan konteks sekarang, emosi terkini, dan tujuan naratif kita.
Elizabeth Loftus, dalam studinya tentang false memory, menunjukkan bahwa memori sangat mudah dimanipulasi, bahkan bisa menciptakan kenangan palsu yang diyakini benar oleh subjek. Ini berarti, kendali atas masa lalu bukan tidak mungkin, tetapi terjadi dalam bentuk konstruksi naratif yang terus-menerus kita perbarui dan percayai.
Di sinilah muncul ironi: kita tidak bisa mengubah peristiwa masa lalu, tetapi kita bisa mengontrol makna yang kita berikan padanya, dan ini punya efek riil terhadap kondisi psikologis dan pilihan masa kini.
Masa Depan: Sistem Antisipatif dan Ketidakpastian Aktif
Filsuf-biolog Robert Rosen memperkenalkan konsep anticipatory systems, yaitu sistem yang tidak hanya merespons masa kini, tetapi bertindak berdasarkan model masa depan yang diproyeksikannya. Dalam kerangka ini, organisme hidup (termasuk manusia) tidak hanya bereaksi terhadap rangsangan, tapi juga memodelkan kemungkinan-kemungkinan dan bertindak berdasarkan prediksi itu.
Artinya, masa depan bukan sepenuhnya tak bisa dikontrol, karena dalam batas tertentu kita membentuknya lewat ekspektasi, skenario, dan rencana. Namun masa depan juga tak sepenuhnya bisa dikontrol, karena ia mengandung unsur kontingensi dan kekacauan (chaos) yang tak terduga.
Konsep ini juga menggarisbawahi betapa pentingnya sikap epistemik yang rendah hati: kita perlu mengakui keterbatasan dalam memprediksi, sembari tetap bertindak seolah kita punya tanggung jawab atas yang akan terjadi.
Masa Kini: Titik Dinamis dalam Ketegangan Temporal
Sering kali masa kini digambarkan sebagai "satu-satunya yang bisa kita kontrol." Tapi dalam kenyataannya, masa kini bukan titik tetap, melainkan momen dinamis yang menjadi hasil dari tarikan dua kutub: kenangan dan ekspektasi.
Dalam filsafat fenomenologis, terutama pada Edmund Husserl dan Martin Heidegger, masa kini selalu sudah dipengaruhi oleh "retensi" (apa yang baru saja terjadi) dan "protensi" (apa yang akan atau kita harapkan terjadi). Artinya, tindakan kita di masa kini tak pernah bebas mutlak, karena ia selalu dibebani oleh warisan masa lalu dan beban kemungkinan masa depan.
Dengan kata lain, sekalipun kita menyusun niat untuk "mengendalikan diri" saat ini, intensi itu sendiri adalah hasil dari dinamika waktu yang lebih besar daripada titik sekarang itu sendiri.
Dimensi waktu memperumit logika kontrol. Masa lalu bisa direkonstruksi, masa depan bisa dimodelkan, dan masa kini tak pernah netral. Alih-alih membagi realitas secara biner, kita perlu memahami kontrol sebagai relatif terhadap waktu, bukan absolut. Setiap tindakan adalah hasil negosiasi antara memori, prediksi, dan kesadaran sesaat.
7. Kekacauan, Ketidakpastian, dan Kecantikan dari Tidak Tahu
Dalam upaya manusia menaklukkan dunia, kita sering menganggap ketidakpastian sebagai musuh. Ketidaktahuan dianggap kelemahan; kekacauan adalah ancaman terhadap tatanan. Namun, ilmu pengetahuan modern, dari termodinamika hingga teori chaos, justru menunjukkan bahwa ketidakpastian bukanlah kegagalan pengetahuan, melainkan bagian esensial dari realitas itu sendiri.
Ilya Prigogine dan Sistem yang Tidak Stabil
Fisikawan dan filsuf Ilya Prigogine, pemenang Nobel dalam bidang kimia, memperkenalkan konsep "dissipative structures" dalam sistem termodinamika jauh dari kesetimbangan. Menurutnya, sistem-sistem kompleks tidak selalu mencari kestabilan; justru dalam kondisi jauh dari keseimbangan-lah, sistem mengalami bifurkasi, yakni titik cabang yang dapat menghasilkan keteraturan baru yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Artinya, kekacauan dan ketidakstabilan bukan akhir dari sistem, tetapi pintu menuju bentuk keteraturan baru. Dengan kata lain, ketidakpastian dapat melahirkan bentuk kehidupan dan kreativitas yang lebih tinggi.
Chaos Theory dan Kompleksitas sebagai Hukum Dasar
Chaos theory mengungkap bahwa dalam sistem yang tampaknya acak, sering tersembunyi pola non-linear yang sangat sensitif terhadap kondisi awal, dikenal sebagai butterfly effect. Edward Lorenz, dalam simulasi cuaca yang terkenal, menunjukkan bahwa perubahan sangat kecil pada input awal dapat menyebabkan perbedaan drastis pada hasil akhir.
Ini berarti bahwa kontrol absolut dalam sistem kompleks adalah ilusi, karena ketidakpastian inheren dalam sistem. Namun, justru dalam kondisi yang penuh fluktuasi itulah kehidupan menjadi dinamis dan kreatif.
Dalam teori kompleksitas, sistem-sistem hidup (seperti masyarakat, otak, atau ekonomi) bukanlah sistem tertutup dan statis, melainkan jaringan terbuka yang adaptif, selalu berada di "tepi kekacauan" (edge of chaos), yaitu zona optimal antara keteraturan dan kebebasan. Di sinilah kreativitas, inovasi, dan evolusi berlangsung.
Ketidaktahuan sebagai Sumber Daya Intelektual dan Emosional
Filsafat tradisional sering mencurigai ketidaktahuan sebagai kebodohan. Namun dalam tradisi Socratic, pengakuan "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" adalah bentuk pengetahuan tertinggi. Ketidaktahuan bukan penghambat pencarian makna, tapi prasyaratnya.
Dalam konteks psikologis, rasa nyaman yang terlalu cepat dalam "kepastian palsu" justru dapat membunuh pertumbuhan. Sebaliknya, rasa tidak tahu, bila dipeluk dengan penuh kesadaran, mendorong keterbukaan, keingintahuan, dan fleksibilitas adaptif.
Bahkan dalam ranah kreatif, ketidakpastian memainkan peran sentral. Seniman, penemu, dan ilmuwan besar sering memulai dari ruang gelap ketidaktahuan, bukan dari peta yang sudah lengkap. Inilah yang disebut oleh Keats sebagai "negative capability"-kemampuan untuk tinggal dalam keraguan dan ambiguitas tanpa tergesa-gesa mencari jawaban yang kaku.
Ketidakpastian bukanlah ruang kosong yang perlu segera diisi, melainkan ruang subur tempat segala kemungkinan bertunas. Dunia yang tidak bisa sepenuhnya dikontrol bukan berarti dunia yang buruk, melainkan dunia yang hidup, terbuka, dan memungkinkan transformasi. Di sinilah kecantikan dari "tidak tahu" menemukan tempatnya: sebagai kekuatan yang melahirkan harapan, adaptasi, dan penciptaan.
8. Penutup: Menuju Pemahaman yang Lebih Lentur
Di akhir perjalanan ini, kita sampai pada satu benang merah: bukan tentang menolak kontrol, tetapi mendefinisikannya kembali. Selama ini, kontrol sering dibayangkan sebagai kekuasaan absolut atas realitas, suatu bentuk kepemilikan atas dunia, tubuh, atau perasaan. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kontrol yang rigid dan biner hanyalah ilusi yang menenangkan, bukan cermin dari kenyataan yang kompleks dan dinamis.
Kontrol Bukan Kepemilikan, Melainkan Relasi
Daripada memandang kontrol sebagai milik pribadi atas suatu kondisi, kita bisa membingkainya sebagai hubungan yang terus-menerus dinegosiasikan antara diri dan dunia. Kontrol tidak lagi berarti dominasi, tetapi kemampuan untuk berinteraksi dengan batas, peluang, dan ketidakpastian. Dalam kerangka ini, kontrol menjadi lebih seperti "menari dengan realitas" daripada "mengatur realitas".
Kita tidak mengontrol badai, tapi bisa belajar menavigasi perahu dalam gelombang. Kita tak bisa mengatur sepenuhnya emosi orang lain, tapi bisa membangun ruang dialog yang empatik. Kita tidak bisa memprediksi masa depan dengan presisi, tapi bisa mengembangkan ketahanan terhadap kejutan.
Dari "I Can Control Everything" ke "I Can Adapt with Everything"
Paradigma lama mendorong kita untuk mengejar kendali penuh: manajemen waktu, disiplin emosi, kontrol pikiran. Namun, paradigma yang lebih lentur mendorong kita untuk beradaptasi, bukan mendominasi. Adaptasi bukan tanda kelemahan, melainkan refleksi kecerdasan tertinggi dari makhluk hidup. Evolusi bukan hasil dari kontrol total, tetapi dari kemampuan bertahan dalam ketidakpastian.
Alih-alih terus memisahkan hidup menjadi apa yang bisa dan tidak bisa dikontrol, kita bisa mulai bertanya: bagaimana saya bisa terlibat secara aktif dan sadar dalam dinamika ini? Di sini, kontrol bukan titik akhir, melainkan proses kolaboratif antara individu dan lingkungannya.
Jangan Menyerah pada Apa yang Tampaknya Tidak Dapat Dikontrol
Namun, lentur bukan berarti menyerah. Hanya karena sesuatu dikategorikan sebagai "tidak bisa dikontrol" bukan berarti kita tidak memiliki pengaruh terhadapnya. Justru, dalam banyak kasus, perubahan besar muncul dari resistensi terhadap hal-hal yang tampak mapan dan tidak tergoyahkan.
Sejarah penuh dengan contoh di mana manusia mempengaruhi struktur kekuasaan, merekonstruksi budaya, atau melawan takdir biologis---meski semua itu semula dianggap berada di luar jangkauan kendali. Mulai dari perlawanan Gandhi terhadap imperialisme, gerakan hak sipil, revolusi digital dari garasi kecil, hingga penaklukan keterbatasan fisik melalui teknologi medis---semuanya menegaskan bahwa apa yang "tidak bisa dikontrol" bukanlah tembok mati, tapi medan perjuangan.
Filsuf eksistensialis seperti Albert Camus menekankan pentingnya pemberontakan terhadap absurditas---sebuah bentuk keberanian untuk tetap bertindak, meski hasilnya tak pasti. Di sini, pemberontakan bukan soal menang, tetapi soal tetap hidup sebagai subjek yang bermakna di tengah kekacauan. Kita tidak harus pasrah terhadap trauma, sistem sosial yang menindas, atau kecenderungan destruktif dalam diri---karena di sanalah ruang manipulasi, rekonstruksi, dan bahkan transendensi terbuka.
Menuju Etika Kontrol yang Etis dan Ekologis
Dalam dunia yang saling terhubung, pemahaman tentang kontrol juga harus mempertimbangkan dampak sistemik. Jika kontrol dipraktikkan tanpa kesadaran relasional (misalnya dalam bentuk manipulasi yang merusak atau eksploitasi), maka ia akan menghancurkan jaringan tempat kita sendiri bergantung. Sebaliknya, kontrol yang etis, yang didasarkan pada kesalinghubungan, adaptasi, dan keberanian untuk menolak stagnasi, akan melahirkan bentuk kehidupan yang lebih lestari dan manusiawi.
Penutup akhir:
Kontrol yang sejati bukanlah tentang mengendalikan segalanya, melainkan tentang berdamai dengan keterbatasan, peka terhadap peluang, berani menolak stagnasi, dan menari bersama perubahan. Dunia bukanlah benda mati untuk dikuasai, tetapi sahabat dinamis yang mengundang kita untuk terus belajar, beradaptasi, berpengaruh, dan berjuang.
Maka dari itu, mungkin sudah waktunya kita mengubah kalimat viral itu menjadi:
"It's not about what I can control, but how I can adapt, resist, and co-create meaningfully."
Dan di situlah letak kebebasan sejati: lentur tapi tidak menyerah, terbuka tapi tetap menggugat.
DAFTAR PUSTAKA
Sartre, Jean-Paul. (1943). Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology. Trans. Hazel E. Barnes. New York: Philosophical Library. Â Digunakan untuk menjelaskan kebebasan radikal dan keterlemparan eksistensial manusia ke dalam dunia tanpa kendali penuh.
Foucault, Michel. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon Books. Sumber utama untuk membahas konsep kekuasaan sebagai jaringan kontrol yang tidak selalu kasat mata.
Luhmann, Niklas. (1995). Social Systems. Stanford: Stanford University Press. Rujukan sentral untuk memahami individu sebagai simpul dalam jaringan komunikasi sosial, bukan entitas otonom.
Rosen, Robert. (1985). Anticipatory Systems: Philosophical, Mathematical, and Methodological Foundations. Oxford: Pergamon Press. Digunakan untuk menjelaskan bagaimana masa depan secara sistemik memengaruhi tindakan masa kini.
Prigogine, Ilya & Stengers, Isabelle. (1984). Order Out of Chaos: Man's New Dialogue with Nature. New York: Bantam Books. Digunakan untuk memahami dinamika ketidakpastian, bifurkasi, dan kreativitas dalam sistem kompleks.
Heraclitus. (Fragment). Dikutip dalam The Presocratic Philosophers oleh G.S. Kirk dan J.E. Raven. Cambridge: Cambridge University Press, 1957. Untuk mendukung pemikiran bahwa dunia adalah arus perubahan yang terus-menerus.
Ricur, Paul. (2004). Memory, History, Forgetting. Trans. Kathleen Blamey & David Pellauer. University of Chicago Press. Digunakan untuk membahas konstruksi memori masa lalu dan ilusi kendali terhadap narasi diri.
Kahneman, Daniel. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux. Relevan untuk menjelaskan bias persepsi, nudge, dan ilusi kontrol dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
Thaler, Richard H. & Sunstein, Cass R. (2008). Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. Yale University Press. Digunakan untuk menjelaskan pengaruh tersembunyi dalam pengambilan keputusan dan ilusi otonomi.
Bauman, Zygmunt. (2000). Liquid Modernity. Polity Press. Digunakan dalam konteks perubahan sosial yang cepat dan bagaimana ketidakpastian melekat pada relasi dan identitas.
Giddens, Anthony. (1991). Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Stanford University Press. Untuk mendukung pemikiran tentang diri sebagai proyek refleksif yang dibentuk oleh institusi dan dinamika global.
Barabsi, Albert-Lszl. (2002). Linked: How Everything is Connected to Everything Else and What It Means. Perseus Publishing. Untuk memperkuat kerangka sistem jaringan dan interdependensi dalam ekosistem sosial dan digital.
Klein, Naomi. (2007). The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. Knopf Canada. Relevan dalam menjelaskan bagaimana struktur eksternal (ekonomi-politik) memengaruhi produktivitas dan kesejahteraan.
Maturana, Humberto & Varela, Francisco. (1980). Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living. D. Reidel Publishing. Relevan untuk mendukung ide tentang sistem hidup yang bersifat self-organizing namun dipengaruhi konteks eksternal.
Mat, Gabor. (2022). The Myth of Normal: Trauma, Illness, and Healing in a Toxic Culture. Avery Publishing. Sumber kontemporer yang menghubungkan trauma, sistem sosial, dan ilusi kontrol terhadap kesehatan dan keseimbangan batin.
Lampiran 1: Cara Mempengaruhi Variabel yang Dianggap "Tidak Bisa Dikontrol"
1. What Others Think (Apa yang Dipikirkan Orang Lain)
Pengaruh Sosial dan Priming: Melalui cara kita berpakaian, berbicara, dan membawa diri, kita membentuk kesan yang memengaruhi persepsi orang lain.
Nudging Kognitif: Strategi komunikasi tertentu (framing, storytelling) dapat menanamkan ide yang memengaruhi arah pemikiran orang, meski tanpa kontrol penuh.
Neurosains Sosial: Mirror neuron menunjukkan bahwa pikiran kita bisa dipengaruhi oleh emosi atau ekspresi orang lain---dan sebaliknya.
2. What Others Say (Apa yang Dikatakan Orang Lain)
Kontrol Konteks Interaksi: Kita bisa membentuk struktur percakapan melalui pertanyaan terarah, mengalihkan topik, atau menciptakan suasana tertentu.
Strategi Retoris: Teknik persuasi (logos, ethos, pathos) dalam retorika dapat membentuk respons verbal orang lain, terutama dalam debat, wawancara, atau negosiasi.
Norma Sosial: Ketika norma yang kita bangun kuat, tekanan kelompok (peer pressure) bisa membentuk ulang pola komunikasi orang.
3. What Others Feel (Apa yang Dirasakan Orang Lain)
Empati dan Resonansi Emosional: Emosi bersifat menular; ketenangan kita bisa menular, seperti juga kemarahan. Ini menjadikan emosi bukan murni privat.
Validasi Emosional: Memberi ruang, pengakuan, dan pemahaman dapat menggeser perasaan seseorang dari defensif ke terbuka.
Psikologi Terapan: Terapi perilaku, konseling, atau bahkan kehadiran yang konsisten dapat memengaruhi suasana hati jangka panjang orang lain.
4. Others' Motives (Motivasi Orang Lain)
Modifikasi Insentif: Dalam ekonomi perilaku, kita tahu bahwa perubahan insentif (materi, sosial, simbolik) dapat mengubah motivasi.
Internalisasi Nilai: Pendidikan, pemimpin yang menginspirasi, atau nilai budaya dapat masuk dan membentuk motivasi orang dari dalam.
Co-creation Goals: Melibatkan orang dalam perumusan tujuan bersama menciptakan kepemilikan dan dorongan internal yang baru.
5. What Others Believe (Keyakinan Orang Lain)
Dekonstruksi dan Rekonstruksi Narasi: Melalui diskusi filosofis, penyampaian bukti baru, atau pengalaman pribadi yang mengubah paradigma.
Cognitive Dissonance: Membuat orang sadar akan kontradiksi dalam keyakinan mereka dapat membuka ruang perubahan.
Identitas Kolektif: Komunitas, agama, atau gerakan sosial bisa memengaruhi sistem kepercayaan seseorang secara signifikan.
6. Others' Perception (Persepsi Orang Lain)
Visual dan Bahasa Simbolik: Penggunaan simbol, estetika, dan metafora dapat menggiring cara orang menafsirkan suatu fenomena.
Priming & Anchoring: Persepsi bisa dibentuk lewat urutan informasi atau titik referensi awal yang kita munculkan.
Kekuatan Narasi Pribadi: Kisah yang kita ceritakan tentang diri dan dunia dapat menggiring pemahaman orang lain.
7. The Past (Masa Lalu)
Rekonstruksi Naratif: Dari perspektif psikologi dan terapi naratif, makna atas masa lalu bisa diubah, meski kejadian tak bisa diulang.
Memori Bersifat Plastis: Neurosains menunjukkan memori itu konstruktif, tidak statis. Kita bisa mengarahkan bagaimana memori direkonstruksi.
Sejarah Publik dan Politik Memori: Negara dan budaya membentuk narasi tentang masa lalu (misalnya melalui monumen atau buku sejarah).
8. The Future (Masa Depan)
Anticipatory Systems (Robert Rosen): Kita membentuk masa depan lewat model prediktif dalam pikiran dan tindakan sekarang.
Psikologi Harapan dan Visualisasi: Optimisme dan perencanaan jangka panjang dapat memengaruhi kemungkinan realisasi masa depan.
Teknologi dan Intervensi Sosial: Masa depan bukan takdir mutlak; kebijakan, teknologi, dan kreativitas manusia mengintervensi arah sejarah.
9. The Situation Around Us (Situasi di Sekitar Kita)
Ekologi Desain dan Rekayasa Sosial: Arsitektur, teknologi, dan peraturan bisa membentuk ruang dan perilaku di dalamnya.
Pengaruh Sosial Mikro: Dengan mengubah interaksi kecil (misal, senyum, sikap kolaboratif), kita bisa menggeser dinamika situasi.
Teori Kompleksitas: Sistem sosial bersifat sensitif terhadap perubahan kecil (efek kupu-kupu), sehingga intervensi minimal pun bisa menimbulkan dampak besar jika tepat konteks.
Apa yang disebut "tidak bisa dikontrol" sering kali hanya berarti "tidak bisa dikendalikan secara langsung dan instan". Namun, melalui pengaruh sistemik, manipulasi simbolik, komunikasi reflektif, dan rekonstruksi kognitif, kita tetap dapat menggeser, membentuk ulang, dan bahkan merevolusi hal-hal yang tampak berada di luar jangkauan.
Lampiran 2: Intervensi Eksternal terhadap Variabel "I Can"
1. Positive Attitude (Sikap Positif)
Kondisi Sosial & Lingkungan: Hidup di lingkungan penuh tekanan (kemiskinan, kekerasan, atau diskriminasi sistemik) bisa membuat sikap positif bukan sekadar pilihan, melainkan perjuangan.
Paparan Informasi Negatif: Algoritma media sosial yang bias terhadap konflik dan emosi negatif bisa mengikis semangat dan menurunkan afek positif.
Gangguan Neurokimia: Depresi, PTSD, atau gangguan bipolar memengaruhi respons afektif, bahkan ketika seseorang "ingin" berpikir positif.
2. Eating & How to Be Healthy (Pola Makan dan Kesehatan)
Food Desert & Ketimpangan Akses: Banyak wilayah, terutama di komunitas miskin, tidak memiliki akses ke makanan segar dan sehat, hanya makanan ultra-proses.
Budaya & Tradisi: Norma sosial tentang makanan (seperti pesta makanan tinggi gula/lemak) sering bertentangan dengan gaya hidup sehat.
Kerja dan Waktu: Jam kerja panjang dan tekanan ekonomi dapat membuat orang memilih makanan cepat saji dan melewatkan olahraga demi bertahan hidup.
3. Ways to Make Money (Cara Menghasilkan Uang)
Mobilitas Sosial Terhambat: Sistem pendidikan yang timpang, bias rasial/gender, dan nepotisme struktural bisa membatasi peluang mencari penghasilan.
Automatisasi & Perubahan Ekonomi: Banyak pekerjaan hilang karena otomatisasi, disrupsi digital, atau kebijakan ekonomi global yang tak bisa dikendalikan individu.
Trauma dan Kesehatan Mental: Kesulitan ekonomi bisa diperparah oleh trauma yang menghambat motivasi, keberanian mengambil risiko, atau kemampuan membangun jejaring.
4. Inner Peace (Kedamaian Batin)
Kondisi Rumah & Keluarga: Hidup dengan orang toksik atau dalam relasi abusif sangat memengaruhi kestabilan batin, bahkan jika seseorang berlatih mindfulness sekalipun.
Lingkungan Bising & Penuh Gangguan: Urbanisasi, kemacetan, polusi suara dan cahaya mengganggu ritme sirkadian dan meningkatkan stres bawah sadar.
Warisan Trauma: Trauma masa kecil dan luka psikologis yang belum sembuh membentuk respons terhadap dunia yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh niat pribadi.
5. Relationships (Hubungan Interpersonal)
Ketimpangan Emosional atau Ekonomi: Relasi bisa terhambat oleh ketidakseimbangan kekuasaan, pendidikan, atau status sosial.
Kondisi Eksternal yang Menekan: Pandemi, konflik politik, atau migrasi paksa dapat memisahkan orang dari pasangan, teman, atau keluarga.
Budaya Patriarkal / Normatif: Di banyak masyarakat, norma budaya membatasi pilihan dalam hubungan (misal: siapa boleh dikencani, dinikahi, atau bagaimana peran dijalankan).
6. Productivity (Produktivitas)
Burnout Sistemik: Dunia kerja modern seringkali mengagungkan produktivitas, tapi tidak memberi cukup waktu untuk istirahat, pemulihan, atau kreativitas.
Gangguan Eksternal Mikro: Notifikasi terus-menerus, kondisi kerja yang tidak ergonomis, atau peralatan yang rusak bisa mengganggu fokus.
Krisis Iklim & Ketidakpastian Sosial: Perasaan tak menentu tentang masa depan bisa menciptakan "existential fatigue" yang menggerus motivasi kerja jangka panjang.
Variabel yang kita anggap sebagai "dalam kendali penuh" sebenarnya rentan terhadap intervensi, tekanan, dan hambatan dari luar. Faktor-faktor seperti sistem ekonomi, kondisi sosial, infrastruktur publik, warisan psikologis, hingga algoritma digital modern bermain peran besar dalam menentukan kualitas dan keberlangsungan kontrol pribadi.
Maka, pemahaman yang utuh dan jujur atas interdependensi antara kendali pribadi dan struktur eksternal sangat penting---bukan untuk menyerah, melainkan untuk memperkuat strategi hidup yang adaptif dan realistis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI