Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Membongkar Batasan Antara Hal yang Bisa Dikendalikan dan Hal yang Tidak Bisa Dikendalikan

16 April 2025   19:30 Diperbarui: 16 April 2025   16:31 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sinilah filsafat menjadi penting: bukan untuk membongkar kenyamanan, tetapi untuk menguji validitasnya. Gagasan bahwa realitas dapat dibelah rapi menjadi yang bisa dan tidak bisa dikontrol mungkin lebih mencerminkan keinginan kita untuk keteraturan daripada kenyataan itu sendiri. Apakah kedamaian batin saya sungguh hanya bergantung pada saya? Apakah persepsi orang lain benar-benar tidak bisa saya pengaruhi?

Seperti kata Slavoj iek: "Realitas bukanlah sesuatu yang bisa dipetakan secara netral. Realitas selalu terikat pada bagaimana kita mengintervensinya." Atau dalam bahasa yang lebih klasik, seperti dikatakan oleh Immanuel Kant: "Dunia bukan sebagaimana adanya, tapi sebagaimana ia tampak melalui struktur kesadaran kita."

Dari sinilah kita memulai: tidak dengan penolakan total terhadap peta "I Can Control vs I Cannot Control", tapi dengan semangat penyelidikan kritis. Kita akan lihat bahwa batas antara kontrol dan ketidakberdayaan tidak sejelas yang kita kira, bahkan sering kali bersifat cair, dapat dinegosiasikan, dan tak jarang bisa dimanipulasi.

2. Asumsi Biner dan Dunia yang Tak Pernah Hitam Putih

Jika dunia ini sesederhana dua lingkaran yang memisahkan "apa yang bisa dikontrol" dan "apa yang tidak", maka hidup akan jauh lebih mudah, lebih teratur, dan mungkin... membosankan. Namun kenyataannya, hidup tidak bekerja dengan cara itu. Realitas lebih menyerupai spektrum daripada switch, lebih seperti kabut yang terus bergerak daripada garis batas yang tegas.

Mengkritik Dikotomi "Kontrol vs Tidak Kontrol"

Pemetaan "biner" dalam gambar viral itu menyiratkan bahwa segala aspek dalam hidup bisa diklasifikasikan dengan jelas ke dalam dua kategori. Tetapi dalam banyak hal, kontrol bukanlah sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki, melainkan sesuatu yang dinegosiasikan, dibangun, atau diupayakan melalui konteks, waktu, dan relasi kekuatan.

Contohnya, dalam gambar tersebut, "emosi orang lain" termasuk ke dalam hal yang tak bisa kita kontrol. Namun, bukankah komunikasi yang empatik, intonasi suara, pilihan kata, atau bahkan kehadiran fisik kita dapat memengaruhi perasaan seseorang? Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya mengendalikan perasaan mereka, tetapi kita juga tidak sepenuhnya tak berdaya. Ini adalah wilayah abu-abu, gray zone, yang membantah dikotomi tersebut.

Contoh lain: "produktivitas saya" masuk kategori yang bisa kita kontrol. Tapi produktivitas dipengaruhi banyak faktor eksternal seperti cuaca, situasi politik, kondisi ekonomi, dan bahkan suasana hati orang-orang di sekitar kita. Maka, seolah-olah kita bisa mengontrolnya sepenuhnya, justru bisa menjadi bentuk penyangkalan terhadap kompleksitas dunia.

Dunia dalam Arus Perubahan: Heraclitus dan Ketakterdugaan

Heraclitus, filsuf Yunani yang terkenal dengan adagium "panta rhei" (segala sesuatu mengalir), percaya bahwa dunia ini terus berubah, tidak pernah tetap, tidak pernah berhenti. Ia berkata, "Kamu tidak bisa melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena air yang kamu injak sudah bukan air yang sama, dan kamu pun bukan diri yang sama."

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun