Bukan tentang menolak kontrol, tapi memahami sifatnya yang kontekstual dan sementara
Dari "I can control everything" menjadi "I can adapt with everything"
Ajakan untuk membingkai ulang kontrol sebagai hubungan, bukan kepemilikan
1. Pendahuluan: Kenyamanan dalam Ilusi Kontrol
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan gangguan, gambar viral yang membagi dunia menjadi dua lingkaran sederhana, "Apa yang Bisa Saya Kontrol" dan "Apa yang Tidak Bisa Saya Kontrol", hadir bagaikan oasis di tengah badai eksistensial. Visual ini telah dibagikan ribuan kali, dicetak dan ditempel di dinding ruang terapi, kantor startup, hingga kamar tidur remaja yang baru mengenal meditasi dan stoikisme.
Tampaknya, visual itu menawarkan kelegaan instan. Ia menyederhanakan realitas menjadi sebuah dikotomi yang tampak rapi: fokuslah pada apa yang bisa kau kendalikan, dan lepaskan sisanya. Nasihat ini sejalan dengan petuah filsafat Stoik kuno dari Epictetus hingga Marcus Aurelius, yang menekankan pentingnya membedakan antara yang tergantung pada kehendak kita dan yang tidak.
Namun, di balik ketenangan itu, muncul sebuah pertanyaan mengusik:
Apakah pembedaan ini benar-benar mencerminkan realitas, atau hanya sebuah konstruksi psikologis untuk meredakan kecemasan?
Mengapa Konsep Ini Populer?
Psikolog modern seperti Julian Rotter dengan Locus of Control, dan kemudian Albert Bandura dengan Self-Efficacy, menunjukkan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk merasa "berdaya". Ketika dunia luar terasa terlalu kacau, bahkan sekadar merasa mampu mengontrol pola makan atau suasana hati sendiri bisa menjadi tambatan emosional yang penting. Dalam bahasa Daniel Kahneman, ini adalah bentuk "substitution heuristic": kita menggantikan pertanyaan sulit seperti "bagaimana menghadapi kekacauan hidup?" dengan pertanyaan lebih mudah, "apa yang bisa saya lakukan sekarang?"
Lebih dari itu, ide ini memberikan struktur moral: jika saya fokus pada hal-hal yang saya kendalikan, saya adalah manusia bertanggung jawab. Sebaliknya, jika saya frustrasi terhadap yang di luar kendali, saya sekadar buang-buang energi. Ini bukan hanya strategi emosional, tetapi juga narasi etis tentang kedewasaan dan keikhlasan.
Namun, Apakah Ini Sebuah Ilusi yang Menenangkan?