Mohon tunggu...
M. A. Ulin Nuha
M. A. Ulin Nuha Mohon Tunggu... Penulis Kadang Kolo

Belajar Oret-oretan, menggoreskan sebuah tinta pelan-pelan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Peradaban Islam: Irak

15 Juli 2025   14:35 Diperbarui: 16 Juli 2025   00:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, di tengah keunggulan Dinasti Abbasiyah pada periode ini, terdapat berbagai tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas negara, baik dari dalam maupun dari luar. Gerakan-gerakan tersebut meliputi sisa-sisa pendukung Bani Umayyah, perselisihan di kalangan internal Abbasiyah, pemberontakan Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, pemberontakan kelompok Syi'ah, serta konflik antar bangsa dan aliran pemikiran agama. Akibatnya, Abbasiyah lebih fokus pada pembangunan peradaban dibandingkan dengan perluasan wilayah. Ciri khas yang menonjol pada masa ini adalah pemindahan ibu kota ke Baghdad, yang menjauhkan pengaruh Arab dalam tata negara. Selain itu, dalam struktur pemerintahan Abbasiyah terdapat jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen, serta pembentukan tentara profesional.

Setiap masa ada pemimpinnya, dan setiap pemimpin ada masanya. Demikianlah, tidak lama kemudian Dinasti Abbasiyah mengalami masa-masa disintegrasi. Sebenarnya, pergolakan telah muncul sejak periode pertama, namun para khalifah pada saat itu mampu memadamkannya. Pada masa al-Mu'tasim, unsur-unsur Turki mulai masuk ke dalam pemerintahan. Masuknya unsur Turki ini semakin menambah persaingan di dalam istana. Al-Mu'tasim dan para khalifah setelahnya pada awalnya mampu meredam persaingan tersebut. Namun, pada masa al-Mutawakil, orang-orang Turki mulai merebut kekuasaan, dan setelah al-Mutawakil wafat, merekalah yang menentukan siapa yang menjadi khalifah.

Kekuasaan secara de facto tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun masih ada anggota keluarga Abbasiyah yang memegang jabatan khalifah. Sebenarnya, ada upaya untuk melepaskan diri dari pengaruh para perwira Turki, namun upaya tersebut gagal. Dari dua belas khalifah Abbasiyah setelah al-Mu'tasim, hanya empat yang meninggal secara wajar, selebihnya dibunuh atau diturunkan dari jabatannya secara paksa. Setelah melemahnya kekuatan tentara Turki, muncul dinasti-dinasti kecil yang merdeka di berbagai wilayah kekhalifahan. Watt, dalam buku Badri Yatim, berpendapat bahwa sejak awal abad kesembilan Masehi, kekuasaan Abbasiyah sudah mulai memudar, terutama karena kelalaian dalam bidang ketentaraan dan ketergantungan pada tentara profesional, terutama tentara Turki. Muncul pula gerakan Syu'ubiyah (fanatisme kebangsaan anti-Arab), yang mempengaruhi politik. Para khalifah tidak cukup menyadari bahaya fanatisme ini, meskipun dalam bidang kesusastraan dan karya ilmiah, mereka tidak menghadapi masalah tersebut dengan serius.

Faktor-faktor utama kemunduran Dinasti Abbasiyah antara lain adalah munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri di berbagai wilayah, kesulitan komunikasi akibat luasnya wilayah kekhalifahan, serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap para penguasa. Ketergantungan yang tinggi pada tentara profesional juga menyebabkan masalah keuangan, terutama dalam hal pembayaran gaji tentara. Ketika kekuatan militer menurun, para khalifah tidak lagi mampu mengumpulkan pajak secara efektif.

Kemunculan dinasti-dinasti kecil di Baghdad dan wilayah sekitarnya menjadi salah satu penyebab utama keruntuhan Daulah Abbasiyah. Wilayah-wilayah yang sebelumnya ditaklukkan hanya tinggal nama, dan administrasi negara tidak mampu mendukung stabilitas dan persatuan. Bangkitnya identitas etnik, terutama melalui gerakan Syu'ubiyah, juga mempercepat proses disintegrasi. Pada periode akhir kekhalifahan Abbasiyah, perhatian lebih difokuskan pada perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam daripada pada persoalan politik. Beberapa provinsi mulai melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah melalui pemberontakan para pemimpin lokal yang berhasil meraih kemerdekaan. Penyebab lain kemunduran adalah penerapan otonomi dan pemberian hak-hak istimewa kepada militer, yang membuat mereka menjadi lebih independen. Para penguasa Abbasiyah, terutama al-Mu'tasim, merasa perlu mempekerjakan tentara profesional, terutama dari kalangan Turki, untuk menjaga stabilitas kekuasaan mereka.

 Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad:

Daulah Idrisiyyah (172-375 H)

Daulah Idrisiyyah adalah sebuah kerajaan yang didirikan pada tahun 172 Hijriah oleh Idris bin Abdullah bin Al Hasan, yang merupakan keturunan dari Ali bin Abi Thalib. Dinasti ini berkuasa di wilayah Maghrib Aqsha (Maroko modern) dan menganut mazhab Zaidiyyah, sebuah cabang Syi'ah yang lebih dekat dengan Ahlussunnah. Kisah berdirinya daulah ini bermula ketika al-Husein bin Ali, seorang keturunan langsung Ali bin Abi Thalib, berupaya untuk melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah Musa Al Hadi. Namun, upaya tersebut gagal dan banyak pengikutnya yang dibantai dalam Perang Fukh di dekat Mekah. Dari pertempuran ini, selamatlah Yahya bin Abdullah dan saudaranya, Idris bin Abdullah.

Idris kemudian menuju Maghrib Aqsha dan bertemu dengan Ishaq bin Mahmud bin Abdul Hamid, kepala suku Barbar Aurubah yang menganut mazhab Mu'tazilah. Meskipun berbeda dalam keyakinan, keduanya sepakat untuk mendirikan kerajaan di bawah kepemimpinan Idris yang bermazhab Zaidiyyah. Pada tahun 172 Hijriah, Idris diangkat sebagai pemimpin dan berhasil mengumpulkan dukungan dari berbagai mazhab yang ada. Idris mendirikan ibu kota kerajaannya di kota Fez dan mengangkat banyak pejabat dari kalangan suku Barbar. Ia juga membangun kekuatan militer yang besar dengan dukungan dari berbagai suku seperti Zanatah, Aurubah, Shanhajah, dan Hawarah. Kekuasaannya meluas setelah menaklukkan Tlemecen, yang memberikan stabilitas di wilayah Maghrib. 

Namun, Idris akhirnya terbunuh melalui sebuah intrik yang didalangi oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Setelah wafatnya Idris, kekuasaan diteruskan oleh putranya, Idris II, yang diangkat menjadi penguasa pada usia 10 tahun. Selama masa pemerintahannya, Idris II berhasil menjadikan kota Fez sebagai pusat kemegahan dan peradaban, menarik cendekiawan dan ilmuwan dari seluruh dunia Islam, termasuk Andalusia dan wilayah Timur.

Pada masa pemerintahan Yahya bin Muhammad bin Idris pada tahun 234 Hijriah, Daulah Idrisiyyah mulai mengalami kemunduran. Yahya lebih condong kepada etnis Arab, yang menyebabkan ketegangan dengan bangsa Barbar. Selain itu, munculnya sistem feodalisme, di mana Yahya membagi-bagikan tanah negara kepada keluarganya, memicu perselisihan internal. Akibatnya, Daulah Idrisiyyah runtuh pada tahun 375 Hijriah dan digantikan oleh Dinasti Fatimiyah. Meskipun demikian, keturunan Dinasti Idrisiyyah masih ada hingga kini di Maghrib dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun