Perlu dicatat bahwa Utsman bin Affan senantiasa ikut serta dalam berbagai peperangan yang terjadi pada masa awal Islam, kecuali dalam Perang Badar. Ketidakhadiran beliau dalam perang tersebut dikarenakan beliau sedang mendampingi dan merawat istrinya, Ruqayyah, yang sedang sakit hingga akhirnya wafat dan dimakamkan pada hari kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badar. Setelah Ruqayyah wafat, Utsman bin Affan kembali dinikahkan oleh Rasulullah SAW dengan putri beliau yang lain, Ummu Kultsum. Oleh karena pernikahan beliau dengan dua putri Nabi inilah, beliau mendapat julukan Dzunnurain, yang berarti "pemilik dua cahaya".
Utsman bin Affan dikenal sebagai seorang yang sangat pandai menjaga kehormatan diri, memiliki sifat pemalu dan lemah lembut, berbudi pekerti luhur, penyabar, serta gemar bederma. Pada peristiwa Perang Tabuk, atas ajakan Rasulullah SAW, beliau menyumbangkan sebanyak 950 ekor kuda dan berbagai perlengkapan logistik, ditambah dengan uang sejumlah 1000 dinar. Beliau juga memiliki kemampuan finansial yang besar, terbukti ketika beliau membeli sumur milik seorang Yahudi dengan harga 20.000 dirham dan kemudian mewakafkannya untuk kepentingan kaum Muslimin. (Marzuenda, 2021)
Di masa pemerintahan Usman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Pemerintahannya berlangsung selama dua belas tahun, namun pada paroh terakhir muncul perasaan dan ketidakpuasan dari umat Islam. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut dan sifatnya yang lemah lembut. Salah satu faktornya yaitu kebijaksanaanya mengangkat keluarganya dalam kedudukan tinggi (salah seorang yaitu Marwan bin Hakam). Keluarganyalah yang dasarnya menjalankan pemerintahan. Beliau tidak dapat berbuat banyak, harta kekayaan negara tidak terkontrol oleh Usman sendiri. Akhirnya Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu. Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. (Yatim, 1993)
Zaman Ali bin Abi Thalib
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muththalib bin Hasyim bin Abd al-Manaf bin Luay bin Kilab bin Qushai. Ali dilahirkan di Makkah ketika Nabi Muhammad SAW berusia tiga puluh tahun. Ibunda beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abd al-Manaf. Abu Thalib, ayah Ali, dikenal memiliki banyak anak. Ketika Makkah dilanda musim paceklik, Rasulullah SAW dan paman beliau, Abbas, mengambil inisiatif untuk membantu meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh sebagian dari anak-anaknya. Keduanya menawarkan bantuan kepada Abu Thalib, yang kemudian diterima. Abbas mengambil Ja'far, sementara Rasulullah SAW mengambil Ali.
Ali merupakan individu pertama dari kalangan anak-anak yang memeluk agama Islam, yaitu ketika usianya belum genap tiga belas tahun. Beliau juga merupakan orang yang tidur di tempat tidur Nabi Muhammad SAW pada malam hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) dan kemudian menyusul Nabi ke Yatsrib setelah menunaikan amanah yang diberikan Nabi kepadanya. Nabi Muhammad SAW kemudian menikahkan Ali dengan putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, pada tahun ketiga Hijrah, ketika Ali berusia dua puluh enam tahun. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putra, Hasan dan Husain. Ali turut serta dalam seluruh peperangan yang diikuti oleh Nabi Muhammad SAW, kecuali dalam Perang Tabuk, di mana Nabi mempercayakan Ali untuk menggantikan posisi beliau di Madinah.
Ali dikenal sebagai seorang ahli penunggang kuda dan seorang pemberani. Abu Bakar dan Umar bin Khattab sering melibatkan Ali dalam musyawarah-musyawarah penting, mengingat kecerdasan beliau dalam pemahaman agama dan keahliannya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. (Marzuenda, 2021) Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib berlangsung selama enam tahun. Selama masa kepemimpinannya, beliau menghadapi berbagai gejolak dan tantangan. Ketika menjabat sebagai khalifah, beliau memberhentikan para gubernur yang sebelumnya diangkat oleh Utsman bin Affan. Selain itu, beliau juga menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk dan mengembalikan hasil dari tanah tersebut kepada negara, serta memberlakukan kembali sistem distribusi pajak tahunan sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Umar bin Khattab.
Tidak lama setelah itu, Ali menghadapi pemberontakan dari Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Mereka menuntut pembelaan atas kematian Utsman bin Affan. Namun, Ali tidak bersedia menghukum para pelaku pembunuhan tersebut dengan segera dan mengusulkan agar permasalahan ini diselesaikan melalui perundingan damai. Akan tetapi, kebijakan beliau ini tidak diterima, sehingga terjadilah "Perang Jamal". Dalam pertempuran tersebut, Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan kemudian dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan Ali ditentang oleh gubernur Damaskus, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, beserta para pendukungnya yang terdiri dari mantan pejabat tinggi yang telah diberhentikan. Kemudian, Ali bersama pasukannya bergerak menuju Kufah dan bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Peperangan terjadi dan berakhir dengan tahkim (arbitrase). Namun, tahkim tersebut ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada, bahkan memunculkan golongan ketiga yang dikenal sebagai al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Akibatnya, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu pendukung Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Ali), dan al-Khawarij. Munculnya kelompok al-Khawarij ini semakin melemahkan kekuatan tentara Ali, sementara kekuatan Mu'awiyah semakin bertambah. Pada tanggal 20 Ramadhan tahun 40 Hijriah (bertepatan dengan tahun 660 Masehi), Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh salah seorang anggota al-Khawarij.
Setelah Ali wafat, kepemimpinan umat Islam kemudian diemban oleh putranya, Hasan bin Ali, selama beberapa bulan. Pada masa kepemimpinannya, kekuatan Hasan semakin menurun, sementara kekuatan Mu'awiyah semakin meningkat. Akhirnya, Hasan bin Ali membuat perjanjian damai dengan Mu'awiyah dengan tujuan untuk menyatukan kembali umat Islam di bawah satu kepemimpinan politik, yaitu di bawah kepemimpinan Mu'awiyah. Namun, di sisi lain, perjanjian ini menjadikan Mu'awiyah sebagai penguasa absolut dalam Islam. Dengan demikian, Mu'awiyah menjadi penguasa tunggal masyarakat Muslim pada saat itu. Sementara itu, keluarga Hasan memilih untuk hidup mengasingkan diri sebagai rakyat biasa. Akan tetapi, Bani Umayyah terus melakukan pengejaran terhadap keluarga Hasan hingga akhirnya Hasan meninggal dunia karena diracun. Tahun persatuan ini, yaitu tahun 41 Hijriah (bertepatan dengan tahun 661 Masehi), dikenal sebagai tahun Jama'ah ('am jama'ah). Dengan demikian, berakhirlah masa Khulafa'ur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan dinasti-dinasti dalam sejarah Islam. (Yatim, 1993)
Lembaran Baru Dinasti Umayyah