Pendiri Dinasti Samaniyah adalah Nashr bin Ahmad (874-892 M), yang diangkat oleh Khalifah al-Mu'tamid pada tahun 874 Masehi sebagai amir di Samarkand. Nashr membuat kebijakan yang tegas untuk membersihkan wilayahnya dari para pencuri dan preman, memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat. Setelah konflik dengan saudaranya, Ismail bin Ahmad, yang menjadi penguasa Bukhara, Nashr meninggal pada tahun 892 Masehi, dan Ismail menggantikannya.
Ismail bin Ahmad (892-907 M) berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memperluas wilayah Samaniyah. Pada tahun 900 Masehi, ia merebut Khurasan dari Dinasti Shaffariyah. Dinasti ini terus berkembang, dengan wilayah yang meliputi seluruh kawasan Transoxiana, dengan Bukhara sebagai ibu kota. Di bawah pemerintahan Ismail dan penerusnya, Samaniyah menjadi kekuatan politik yang penting di wilayah tersebut.
Namun, setelah kematian Ismail, Dinasti Samaniyah mengalami ketegangan internal dan eksternal. Penerus Ismail, Ahmad (907-912 M), yang dikenal adil, dibunuh oleh anak-anaknya, dan kekuasaannya jatuh ke tangan anaknya, Nashr bin Ismail. Pada masa Nashr II (913-943 M), Samaniyah memperluas wilayahnya lebih jauh, namun kelemahan kepemimpinan mulai muncul.
Pada akhir abad ke-10 Masehi, Dinasti Samaniyah mulai mengalami kemunduran. Pada masa pemerintahan Manshur bin Abdul Malik (961-976 M), wilayah kekuasaan mulai terpecah, dengan kelompok Buwaihi menguasai sebagian wilayah Iran dan Tabristan, serta pemberontakan dari berbagai wilayah yang ingin memisahkan diri. Salah satu penyebab utama melemahnya dinasti ini adalah ketidakmampuan pemimpin muda dalam mengelola pemerintahan. Selain itu, pengaruh besar dari bangsa Turki, khususnya dari Dinasti Ghaznawi, turut menyebabkan kemunduran Samaniyah, yang akhirnya runtuh pada akhir abad ke-10 Masehi.
Dinasti Buwaihi (933-1055 M)
Dinasti Buwaihi dimulai dengan para pasukan dari wilayah Dailam, yang dikenal sebagai petualang. Abu Syuja', pemimpin awal Dinasti Buwaihi, bersama anak-anaknya, menguasai wilayah penting seperti Isfahan, Syiraz, Ahwaz, dan Karman pada tahun 934 Masehi. Syiraz dipilih sebagai ibu kota dinasti ini.
Ahmad bin Buwaih diangkat oleh Khalifah al-Mustakfi pada tahun 945 Masehi sebagai amr al-umar' (panglima tertinggi) dengan gelar mui'zz al-dawlah (pemberi kemuliaan negara), yang menandai awal berdirinya Dinasti Buwaihi sebagai kekuatan utama di pemerintahan Abbasiyah. Ahmad meminta penyebutan namanya dalam khotbah Jumat dan dicantumkan dalam mata uang, menunjukkan pengaruh besarnya dalam pemerintahan. Pada tahun 946 Masehi, setelah menggulingkan Khalifah al-Mustakfi, Ahmad dan keturunannya mulai mengendalikan wilayah Irak dan Persia, dengan Baghdad sebagai provinsi yang diperintah dari Syiraz, ibu kota mereka.
Di bawah pemerintahan 'Add al-Dawlah (949-983 M), Dinasti Buwaihi mencapai puncak kejayaannya. Ia berhasil menyatukan berbagai kerajaan kecil di Persia dan Irak, membentuk negara besar yang menyerupai imperium. 'Add al-Dawlah juga menikahi putri Khalifah al-Tha'i pada tahun 980 Masehi, mengikatkan hubungan politik yang kuat antara Buwaihi dan Abbasiyah.
Dinasti Buwaihi mulai mengalami kemunduran setelah kematian 'Add al-Dawlah, ketika perpecahan internal terjadi antara putranya---Baha', Syaraf, dan Shamsam al-Dawlah---yang bersaing untuk kekuasaan. Selain itu, ideologi Syi'ah yang menjadi ciri khas Buwaihi menyebabkan ketegangan dengan mayoritas Sunni di Baghdad. Pada tahun 1055 Masehi, Dinasti Buwaihi digantikan oleh Dinasti Seljuk setelah Thughril Beg memasuki Baghdad, mengakhiri kekuasaan Buwaihi. Dinasti ini runtuh dengan berakhirnya pemerintahan al-Malik al-Rahim (1048-1055 M), yang meninggal di penjara.
Dinasti Ghaznawiyah (977-1186 M)
Sejarah berdiri dan perkembangan politik Dinasti Ghaznawiyah dimulai dari para pengembara Turki yang memperoleh kekuatan secara bertahap di bawah Dinasti Samaniyah. Salah satu tokoh penting awal adalah Alptigin, seorang budak Turki yang akhirnya menjadi kepala hajib (chamberlain) dan amir di wilayah Khurasan pada tahun 961 Masehi. Karena ketidakpuasan dengan penguasa Samaniyah, Alptigin merebut Ghaznah pada tahun 962 Masehi dan mendirikan kerajaan yang kemudian menjadi Dinasti Ghaznawi, yang meliputi wilayah Afghanistan dan Punjab.