Pasca-keruntuhan Kerajaan Ottoman, Irak berada di bawah pengelolaan Inggris melalui mandat Liga Bangsa-Bangsa. Pengaruh Inggris sangat dominan pada periode awal pembentukan negara Irak, terutama di kawasan Teluk Persia. Meskipun Inggris kemudian mendirikan Kerajaan Irak pada tahun 1921 dengan Raja Faisal I sebagai penguasa, pengaruh mereka tetap kuat. Pemberontakan oleh kelompok Kurdi pada akhirnya mendorong pembentukan Kerajaan Irak yang lebih mandiri pada tahun 1932, meskipun jejak pengaruh Inggris masih terasa dalam berbagai aspek politik dan militer.
Perjalanan Irak menuju kemerdekaan sejati diwarnai oleh pergolakan politik dan pemberontakan etnis Kurdi yang berkelanjutan. Pada tahun 1958, sebuah kudeta militer mengakhiri sistem monarki dan mendirikan Republik Irak. Di bawah kepemimpinan Abd al-Karim Qasim, Irak berusaha untuk menegaskan kedaulatannya. Namun, ketidakstabilan politik terus berlanjut dengan serangkaian kudeta hingga Partai Ba'ath mengambil alih kekuasaan pada tahun 1963. Era dominasi Partai Ba'ath mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Saddam Hussein, yang membawa transformasi signifikan bagi Irak, meskipun pemerintahannya yang otoriter juga diwarnai pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Masa pemerintahan Saddam Hussein juga ditandai dengan keterlibatan Irak dalam berbagai konflik besar, termasuk Perang Irak-Iran (1980-1988) dan Perang Teluk (1990-1991), yang membawa dampak destruktif bagi negara tersebut. Pemberontakan oleh etnis Kurdi dan kaum Syiah pada tahun 1991, serta sanksi internasional, semakin memperburuk kondisi internal Irak. Puncak dari ketidakstabilan ini adalah invasi AS pada tahun 2003, yang menggulingkan Saddam Hussein dan mengantarkan Irak pada periode ketidakstabilan yang berkepanjangan, ditandai dengan kekerasan sektarian, kebangkitan kelompok ekstremis seperti ISIS, dan upaya yang terus berlangsung untuk membangun pemerintahan yang demokratis. Meskipun secara formal Irak kini lebih demokratis, tantangan besar masih dihadapi dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional, stabilitas politik, dan pemulihan ekonomi (Luthfiatul Udhma, 2018).
Sejak awal berdirinya, Irak telah mengalami berbagai transisi politik yang kompleks, namun tantangan internal dan pengaruh eksternal terus mewarnai perjalanannya. Dalam konteks regional, munculnya fenomena radikalisme di Timur Tengah sekitar tahun 2013 memberikan dampak signifikan terhadap Irak. Radikalisme, yang seringkali dipicu oleh krisis identitas dan penolakan terhadap modernisasi Barat, diekspresikan secara ekstrem dalam menanggapi berbagai isu sosial, agama, dan politik. Kelompok seperti ISIS, dengan tujuan mendirikan negara berdasarkan interpretasi mereka terhadap syariat Islam melalui cara-cara kekerasan, menjadi salah satu manifestasi paling berbahaya dari radikalisme ini. Istilah radikal sendiri, yang berasal dari Barat, seringkali dikaitkan dengan kekerasan yang mengatasnamakan agama, terutama Islam, dan dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran agama yang sebenarnya. (Sainuddin, 2016) Fenomena ini, bersamaan dengan isu intoleransi dan kekerasan antar umat beragama yang juga terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menjadi tantangan serius bagi perdamaian dan stabilitas global.
Sejarah hubungan antara dunia Kristen dan Islam pada periode modern juga memberikan konteks penting bagi situasi di Irak. Bersamaan dengan kemunduran kerajaan-kerajaan Islam di masa lalu, Eropa mengalami kemajuan pesat, yang sebagiannya dipengaruhi oleh interaksi dengan peradaban Islam. Namun, era kolonialisme kemudian menorehkan luka sejarah, di mana kekuatan-kekuatan Kristen Barat mendominasi sebagian besar dunia Islam, seringkali dengan justifikasi misi keagamaan. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan permusuhan di kalangan umat Muslim terhadap Barat. Meskipun terdapat ajaran untuk berdakwah dan menginjil dalam kedua agama, hubungan antara Kristen-Barat dan Islam seringkali diwarnai konflik dan kesalahpahaman. (Nasir & Hasaruddin, 2023) Gerakan modernisme Islam dan nasionalisme di abad ke-19 dan ke-20 merupakan respons terhadap dominasi Barat, yang kemudian mengarah pada kemerdekaan banyak negara Muslim. Namun, memasuki abad ke-21, isu-isu seperti konflik Israel-Palestina dan sentimen anti-Islam di Barat terus memengaruhi hubungan kedua peradaban.
Konflik-konflik besar seperti Perang Irak-Iran (1980-1988) dan Perang Teluk (1990-1991), serta invasi Irak tahun 2003, memiliki dampak yang mendalam terhadap Irak. Perang Irak-Iran, yang dipicu oleh masalah perbatasan dan kekhawatiran ideologis, menyebabkan kerugian besar bagi kedua negara. Sementara itu, Perang Teluk dipicu oleh invasi Irak ke Kuwait dan melibatkan intervensi internasional. Invasi tahun 2003, meskipun berhasil menggulingkan Saddam Hussein, justru membuka babak baru ketidakstabilan dengan munculnya kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS, yang memiliki akar sejak tahun 1999 dan kemudian memanfaatkan kekosongan kekuasaan pasca-invasi untuk memperluas pengaruhnya. Taktik brutal ISIS dalam mencapai tujuannya, termasuk terorisme dan perang gerilya, semakin memperparah situasi di Irak.
Peran kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS sangat merusak bagi Irak. Mereka menjadi aktor utama dalam meningkatkan kekerasan melalui serangan teroris dan memperdalam konflik sektarian antara Sunni dan Syiah. Kelompok-kelompok ini juga aktif merekrut anggota, melakukan penculikan, dan menghancurkan warisan budaya. Dukungan eksternal yang diterima oleh beberapa kelompok ekstremis semakin memperumit konflik dan menghambat upaya perdamaian. Secara keseluruhan, peran kelompok ekstremis menciptakan ketidakstabilan politik yang parah di Irak.
Dampak perang di Irak sangat luas, mencakup aspek politik, sosial, dan agama. Di bidang politik, perang menyebabkan ketidakstabilan yang berkelanjutan, pergolakan sosial, dan konflik sektarian yang mendalam. Irak juga kehilangan posisinya sebagai kekuatan penyeimbang di kawasan Arab, sementara negara-negara tetangga seperti Turki dan Iran juga terkena dampak regional. Di bidang sosial, perang menyebabkan penderitaan rakyat yang luar biasa, jutaan orang menjadi pengungsi, dan tatanan sosial mengalami perubahan yang signifikan. Kerusakan infrastruktur juga menghambat pemulihan ekonomi Irak, meskipun negara ini memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Dalam aspek agama, konflik memengaruhi identitas masyarakat dan memicu persepsi negatif antar kelompok agama. Respons pemerintah dan masyarakat terhadap perang juga beragam, dengan adanya penentangan terhadap intervensi asing dan kekecewaan terhadap ketidakmampuan pasukan koalisi dalam menciptakan keamanan pasca-konflik.
Meskipun demikian, berbagai upaya rekonsiliasi dan perdamaian telah dilakukan oleh pemerintah Irak, lembaga internasional seperti PBB, dan masyarakat sipil. Tokoh-tokoh seperti Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah menekankan pentingnya rekonsiliasi sebagai langkah awal menuju perdamaian. Berbagai inisiatif dan usulan penyelesaian konflik telah diajukan, termasuk rekonsiliasi nasional, penarikan pasukan asing, dan pembangunan kembali infrastruktur. Namun, upaya perdamaian di Irak menghadapi kendala yang signifikan, terutama konflik sektarian yang mendalam dan peran kelompok-kelompok ekstremis yang terus menebar kekerasan. Upaya untuk mengatasi dampak perang memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan perlawanan terhadap ekstremisme, promosi dialog antar-kelompok, dan pembangunan kembali ketahanan masyarakat, serta pemulihan ekonomi dan infrastruktur. Konflik-konflik sebelumnya seperti Perang Irak-Iran dan Perang Teluk juga diakhiri melalui berbagai upaya diplomatik dan resolusi PBB (A et al., 2023), meskipun tantangan untuk mencapai perdamaian dan stabilitas yang langgeng di Irak dan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan masih sangat besar.
Pencapaian Peradaban Islam di Kawasan Mumbit Hilal
Setelah Islam masuk ke wilayah Mumbit Hilal (Mesopotamia), umat Islam melakukan tiga kali penyerangan hingga akhirnya berhasil menguasai wilayah yang dikenal sebagai "tempat kelahiran peradaban" ini. Setelah merebut kekuasaan, umat Islam mulai menyebarkan ajaran Islam dan membangun peradaban di kawasan tersebut. Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, pendidikan masih mengikuti pola pendidikan pada masa Nabi Muhammad SAW, baik dari segi materi maupun kelembagaan.