Kisah ini berawal pada tahun ke-8 Hijriah, ketika Nabi Muhammad SAW mengirimkan surat kepada Kisra, penguasa Persia yang saat itu memimpin Mesopotamia. Perlu diketahui bahwa "Kisra" adalah gelar khusus yang diberikan kepada pemimpin atau Raja Persia. Kisra yang menerima surat dari Nabi Muhammad SAW adalah Kisra Abrawaiz, putra Hormuz IV dan cucu Anusyirwan. Kisra Abrawaiz memerintah Persia dari tahun 590 hingga 628 Masehi. Surat tersebut berisi ajakan untuk memeluk Islam, agama yang diyakini sebagai kebenaran dan rahmat bagi seluruh alam semesta.
Akan tetapi, respons Kisra terhadap surat tersebut sangat negatif. Ketika surat Nabi Muhammad SAW dibacakan kepadanya, ia merobeknya dengan penuh amarah seraya berkata, "Seorang budak rendahan dari rakyatku berani menulis namanya mendahului namaku." Ketika berita penghinaan ini sampai kepada Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, "Semoga Allah mencabik-cabik kerajaannya."
Doa Nabi Muhammad SAW tersebut dikabulkan. Kerajaan Persia mengalami kekalahan telak dalam peperangan melawan Romawi. Kisra Abrawaiz kemudian digulingkan oleh putranya sendiri, Syirawaih, yang membunuhnya dan merebut kekuasaan. Kerajaan Persia terus mengalami perpecahan dan kemunduran hingga akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sehingga tidak lagi mampu berdiri sebagai sebuah kekuatan. (Wahidmurni, 2017)
Tidak lama kemudian, pada hari senin, tanggal 12 Rabi'ul Awal 11 H / 8 Juni 623 M., Nabi Muhammad Saw. wafat dirumah istrinya Aisyah R. A. Beliau tidak meninggalkan wasiat siapa yang akan menggantikannya, lalu para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul bermusyawarah di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Akhirnya yang terpilih adalah Abu bakar. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasulullah Saw., Abu Bakar disebut sebagai Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. (Yatim, 1993)
Zaman Abu Bakar ash-Shiddiq
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin 'Amir bin 'Amr bin Ka'ab bin Sa'id bin Taim bin Murrah al-Tamimi. Semasa Jahiliyah, ia lebih dikenal dengan nama Abd al-Ka'bah, yang kemudian diganti oleh Nabi Muhammad SAW menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepadanya karena ia termasuk golongan orang yang paling awal memeluk agama Islam. Sementara itu, gelar Ash-Shiddiq diberikan kepadanya karena ia selalu dengan segera membenarkan Rasulullah dalam berbagai peristiwa, terutama dalam peristiwa Isra' Mi'raj.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam adalah penentuan pengganti beliau sebagai kepala negara. Hal ini dikarenakan kedudukan Nabi sebagai pemimpin negara di Madinah tidak dapat diabaikan, sementara beliau tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan menggantikannya. Oleh sebab itu, segera setelah wafatnya Nabi, para tokoh Anshar dan Muhajirin berkumpul di Tsaqifah Bani Sa'idah untuk bermusyawarah dalam memilih seorang khalifah. Perdebatan sengit terjadi karena masing-masing kelompok merasa lebih berhak untuk menggantikan Nabi.
Kaum Muhajirin merasa memiliki hak yang lebih besar karena merekalah yang pertama kali memeluk Islam dan Nabi Muhammad SAW berasal dari kalangan mereka. Di sisi lain, kaum Anshar merasa berhak karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Nabi saat hijrah ke Madinah. Abu Bakar kemudian mengusulkan agar pemimpin baru berasal dari kalangan Muhajirin dan wakilnya dari kalangan Anshar. Namun, usulan ini ditolak oleh kaum Anshar yang mengusulkan agar dipilih dua pemimpin dari kedua kelompok tersebut. Abu Bakar menolak usulan ini dengan alasan dapat menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Beliau juga mengingatkan akan hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pemimpin berasal dari suku Quraisy. Selanjutnya, Abu Bakar mengusulkan Umar bin Khaththab sebagai khalifah. Akan tetapi, Umar menolak dan menyatakan bahwa Abu Bakarlah yang paling pantas untuk menduduki jabatan tersebut. Pada akhirnya, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah dengan dukungan dari Umar, dan seluruh hadirin memberikan bai'at sebagai tanda kesepakatan.
Setelah terpilih, Abu Bakar mengumpulkan rakyat di masjid. Di hadapan mereka, Abu Bakar menyampaikan pidatonya: "Saya telah terpilih menjadi pemimpin kamu sekalian, meskipun saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Karena itu, bantulah saya seandainya saya berada di jalan yang benar dan bimbinglah saya seandainya saya berbuat salah. Kebenaran adalah kepercayaan dan kebohongan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian akan menjadi kuat dalam pandangan saya hingga saya menjamin hak-haknya Insya Allah, dan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah dalam pandangan saya sehingga saya dapat merebut hak daripadanya. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan bila saya mendurhakai Allah dan Rasul-Nya saya jangan diikuti." (Marzuenda, 2021)
Masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq berlangsung relatif singkat, yaitu hanya dua tahun. Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang singkat tersebut, beliau berhasil menghadapi berbagai tantangan krusial dan menyatukan kembali umat Islam. Di bawah kepemimpinannya, kaum musyrik berhasil ditaklukkan, keyakinan Islam semakin tertanam kuat, dan persiapan untuk penaklukan wilayah Persia dan Romawi mulai dilakukan. Langkah awal dalam upaya ini adalah dengan menaklukkan Kerajaan Hirah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Abu Bakar menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan yang bertugas menaklukkan Kerajaan Hirah, yang saat itu berfungsi sebagai benteng pertahanan antara wilayah Persia dan bangsa Arab. Khalid bin Walid, yang baru saja meraih kemenangan dalam perang di Yamamah, segera bergerak menuju Hirah.
Kedatangan Khalid bin Walid, dengan keyakinan diri yang tinggi setelah keberhasilannya di Yamamah, membuat Raja Hirah saat itu, Iyas bin Qabishah, merasa gentar. Iyas bin Qabishah kemudian memilih untuk mengajukan perdamaian kepada pasukan Muslim yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Akhirnya, kedua belah pihak mencapai kesepakatan damai, di mana Kerajaan Hirah setuju untuk membayar jizyah (pajak) kepada umat Islam.