Mohon tunggu...
M. A. Ulin Nuha
M. A. Ulin Nuha Mohon Tunggu... Penulis Kadang Kolo

Belajar Oret-oretan, menggoreskan sebuah tinta pelan-pelan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Peradaban Islam: Irak

15 Juli 2025   14:35 Diperbarui: 16 Juli 2025   00:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Periode keempaat (447 H/1055 M -- 590 H/1194 M), masa dinasti Seljuk, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

Periode kelima (590 H/ 1194 M -- 656 H/ 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh manapun, tetapi hanya terpusat di Baghdad.

Pada periode awal pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Secara politik, para khalifah pada masa ini merupakan tokoh-tokoh yang sangat kuat, baik dalam bidang politik maupun agama. Periode ini juga ditandai dengan perkembangan pesat dalam landasan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Namun, setelah beberapa waktu, kekhalifahan mulai melemah, meskipun perkembangan ilmu pengetahuan terus berlanjut.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini, tergolong singkat, yaitu hanya dari tahun 750 hingga 754 Masehi. Oleh karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M). Beliau dengan gigih menghadapi berbagai musuh, seperti kelompok Khawarij, Syi'ah, dan sisa-sisa Bani Umayyah, serta menyingkirkan tokoh-tokoh besar satu per satu. Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali, yang merupakan paman beliau sendiri dan ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Suriah dan Mesir, akhirnya dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah Abu Ja'far al-Manshur karena dianggap tidak loyal. Kemudian, Abu Muslim sendiri, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing, dihukum mati pada tahun 755 Masehi.

Awalnya, ibu kota negara Abbasiyah adalah al-Hasyimmiyah, di wilayah Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan kekuasaan, ibu kota negara dipindahkan ke Baghdad pada tahun 762 Masehi, yang terletak dekat dengan bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Dengan demikian, ibu kota negara berada di tengah-tengah pengaruh bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini, al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban administrasi. Beliau mengangkat personel yang kompeten untuk menduduki jabatan-jabatan eksekutif dan yudikatif.

Dalam bidang pemerintahan, al-Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat seorang wazir sebagai koordinator antar departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, yang berasal dari Balkh, Persia. Beliau juga membentuk lembaga protokoler negara, sekretariat negara, dan kepolisian negara, serta melakukan pembenahan terhadap angkatan bersenjata. Al-Manshur menunjuk Muhammad ibn 'Abd al-Rahman sebagai hakim negara. Jawatan pos yang telah ada sejak masa Dinasti Umayyah ditingkatkan perannya dengan penambahan tugas. Jika sebelumnya hanya bertugas mengantarkan surat, kini jawatan pos juga bertugas mengumpulkan informasi dari berbagai daerah, sehingga administrasi negara berjalan lebih lancar. Para pejabat pos juga bertugas melaporkan perilaku para gubernur kepada khalifah.

Khalifah al-Manshur berambisi untuk menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang sempat melepaskan diri dan memantapkan keamanan di wilayah perbatasan. Upaya ini diwujudkan dengan merebut benteng-benteng di Asia Kecil, seperti kota Malatia, wilayah Cappadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 Masehi. Di wilayah utara, bala tentaranya mendekati pegunungan Taurus dan selat Bosporus. Di sisi lain, al-Manshur menjalin perdamaian dengan Kaisar Bizantium Constantine V, dan selama masa gencatan senjata dari tahun 758 hingga 765 Masehi, Bizantium membayar upeti tahunan kepada Abbasiyah. Bala tentara Abbasiyah juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di wilayah Kaukasus, suku Daylami di tepi Laut Kaspia, serta suku-suku Turki lainnya di wilayah Oskus dan India.

Pada masa al-Manshur, terjadi perubahan dalam pemahaman mengenai kedudukan khalifah. Beliau menyatakan, "Inna ma ana sulthan allah fi ardhihi" (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian, konsep khalifah dalam pandangan beliau dan para penerusnya adalah sebagai mandat dari Allah, bukan dari manusia, dan bukan sekadar penerus Nabi Muhammad SAW seperti pada masa Khulafaur Rasyidin. Selain itu, berbeda dengan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah menggunakan gelar kehormatan untuk para khalifahnya. Contohnya, al-Manshur adalah gelar kehormatan bagi Abu Ja'far. Gelar-gelar kehormatan ini bahkan lebih populer daripada nama asli para khalifah.

Jika dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah dibangun oleh Abu al-Abbas dan al-Manshur, maka puncak keemasan dinasti ini terletak pada masa pemerintahan tujuh khalifah setelah mereka, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (785-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi, perekonomian mengalami peningkatan, terutama di sektor pertanian melalui pembangunan irigasi dan di sektor pertambangan seperti emas, perak, tembaga, dan besi. Selain itu, perdagangan transit antara timur dan barat juga menghasilkan kekayaan yang besar. Kota Bashrah pada saat itu menjadi pelabuhan yang sangat penting.

Popularitas Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma'mun. Kekayaan negara yang melimpah dimanfaatkan untuk keperluan sosial, seperti pembangunan rumah sakit, lembaga pendidikan kedokteran dan farmasi. Pada masa itu diperkirakan terdapat sekitar 800 dokter. Selain itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran tertinggi terwujud pada masa pemerintahan kedua khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, hingga perkembangan kesusastraan mencapai masa keemasannya. Al-Ma'mun dikenal sebagai khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga penerjemahan buku-buku asing dari berbagai bahasa sangat digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku tersebut, beliau menggaji para penerjemah dari kalangan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Beliau juga mendirikan banyak sekolah, dan yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), yang menjadikan Baghdad pada masa al-Ma'mun sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.

Al-Mu'tasim, khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar bagi orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, terutama dalam bidang ketentaraan sebagai pengawal pribadi khalifah. Berbeda dengan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengubah sistem ketentaraannya. Praktik kaum Muslim mengikuti peperangan secara sukarela mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, tentara dibina secara khusus menjadi prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Abbasiyah menjadi semakin kuat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun