Di bawah Alaudin Muhammad bin Tekish, Dinasti Khwarizmi mencapai puncak kejayaannya, menguasai wilayah yang sangat luas, mencakup Khurasan, Transoxiana, Kerman, Makran, dan wilayah barat Sungai Indus. Wilayahnya membentang dari Irak di barat hingga Sungai Indus di timur, serta dari Laut Kaspia dan Laut Aral di utara hingga Teluk Arab dan Samudra Hindia di selatan.
Kejatuhan Dinasti Khwarizmi bermula ketika Alaudin menolak tawaran dagang dari Jenghis Khan, penguasa Kekaisaran Mongol, pada tahun 1218 Masehi. Gubernur Otrar, Yanal Khan, yang mencurigai utusan Mongol, menangkap mereka, dan Alaudin menolak untuk mengembalikannya. Sebagai balasan, Jenghis Khan mengirim pasukan besar untuk menyerang Dinasti Khwarizmi. Dalam waktu dua tahun, pasukan Mongol yang berjumlah sekitar 200.000 orang berhasil menaklukkan kota-kota besar seperti Samarkand dan Bukhara. Alaudin melarikan diri dan wafat di sebuah pulau di Laut Kaspia pada tahun 1220 Masehi.
Sebelum kematiannya, Alaudin menunjuk putranya, Jalaludin al-Mangkuberti, sebagai penggantinya. Jalaludin melanjutkan perlawanan terhadap Mongol, mengalahkan mereka dalam beberapa pertempuran, termasuk di Ghazna. Meskipun demikian, pasukan Mongol akhirnya berhasil menaklukkan Dinasti Khwarizmi setelah pertempuran besar di Sungai Indus. Jalaludin melarikan diri ke India dan bertahan selama tiga tahun. Pada tahun 1225 Masehi, ia kembali menyeberangi Sungai Indus menuju Persia dan merebut kembali beberapa wilayah dari Mongol, kecuali Transoxiana. Akhirnya, Jalaludin terbunuh pada tahun 1231 Masehi di pegunungan Kurdistan, yang menandai berakhirnya Dinasti Khwarizmi. (Al Farouqy, 2021)
Selain kemunculan dinasti-dinasti kecil, keruntuhan Abbasiyah juga disebabkan oleh perebutan kekuasaan internal, berbagai pemberontakan, serta dampak Perang Salib yang dipicu oleh tindakan Dinasti Seljuk. Pada tahun 471 Hijriah, Seljuk berhasil merebut Bait Al-Maqdis dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir. Penguasa Seljuk kemudian mempersulit umat Kristen untuk berziarah ke sana, yang mendorong seorang tokoh Kristen menyerukan perang suci yang dipelopori oleh Paus Urbanus II.
Singkatnya, kemunduran Abbasiyah dipercepat oleh persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, serta serangan dan ancaman dari luar, seperti Perang Salib dan invasi tentara Mongol. Gereja-gereja Kristen bahkan berasosiasi dengan pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan dan semakin kuat di wilayah-wilayah yang dihuni oleh Ahl Al-Kitab (umat Kristen dan Yahudi). Akibatnya, tentara Mongol menghancurkan pusat-pusat peradaban Islam, salah satunya adalah Baitul Hikmah. Setelah peristiwa ini, kekuatan Abbasiyah semakin melemah dan mengalami kemunduran yang signifikan.
Lebih lanjut, serangan tentara Mongol menjadi faktor krusial dalam keruntuhan Abbasiyah. Permusuhan dan peperangan antara bangsa Mongol dan dunia Islam bermula pada tahun 1212 Masehi. Saat itu, tiga orang saudagar dari Bukhara beserta rombongannya tiba di wilayah Mongol dan menuju ibu kota Karakorum. Namun, mereka ditangkap dan disiksa oleh orang-orang Mongol, dan barang dagangan mereka dirampas. Tidak lama setelah kejadian itu, Jenghis Khan mengirim 50 orang saudagar Mongol ke Bukhara untuk berdagang. Akan tetapi, atas perintah Amir Bukhara, Gayur Khan, mereka ditangkap dan dihukum mati. Tindakan ini memicu kemarahan Jenghis Khan dan merencanakan penyerbuan ke kerajaan Khawarizmi dan wilayah-wilayah lain di Asia Tengah. Penyerbuan tersebut baru terlaksana pada tahun 1219 Masehi, hanya berselang tiga tahun setelah tentara Mongol menaklukkan seluruh wilayah Cina. Pembunuhan 50 saudagar Mongol menumbuhkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap umat Islam.Â
Mengingat kemampuan bangsa Mongol dalam menaklukkan Cina, mereka memiliki tentara yang kuat dan terlatih dalam seni perang. Peristiwa penghinaan ini kemudian mendorong bangsa Mongol untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap umat Islam. Pada tahun 1258 Masehi, tentara Mongol dengan kekuatan 200.000 orang tiba di salah satu gerbang Baghdad. Khalifah al-Mu'tashim tidak mampu menahan kekuatan tentara Hulagu Khan.
Dalam situasi krisis tersebut, wazir khalifah, al-Alqami, memanfaatkan kesempatan untuk menipu khalifah dengan mengatakan bahwa ia telah melakukan perundingan damai dengan Hulagu Khan. Al-Alqami menyampaikan bahwa Hulagu Khan berjanji akan tetap menghormati khalifah, bahkan berkeinginan untuk menikahkan putrinya dengan putra khalifah, Amir Abu Bakar, dan tidak menginginkan apa pun kecuali kepatuhan. Dengan mempercayai informasi palsu tersebut, Khalifah al-Muta'shim bersama seluruh pembesar kerajaan, para hakim, serta keluarga mereka yang berjumlah sekitar 30.000 orang keluar menemui Hulagu. Awalnya mereka disambut dengan ramah, namun setelah itu mereka dibantai habis, termasuk Wazir al-Alqami. Sebelum membunuh wazir, Hulagu Khan bahkan mencela al-Alqami atas pengkhianatannya terhadap orang yang telah memberinya kedudukan. Selama 40 hari, pasukan Hulagu Khan melakukan pembunuhan massal, penjarahan, pemerkosaan, dan pembakaran. Rumah-rumah ibadah dihancurkan, bayi-bayi dibunuh bersama ibu mereka, dan wanita hamil ditusuk perutnya. Kota Baghdad dihancurkan rata dengan tanah. Sejak saat itu, berakhirlah kekuasaan Abbasiyah dan wilayah tersebut dikuasai oleh Hulagu Khan. (Amin, 2016)
Pembentukan Negara dan Fenomena Masa Kini
Irak, sebuah negara yang terletak di jantung Timur Tengah, memiliki warisan sejarah yang kaya dan kompleks. Dengan luas wilayah 437.072 kilometer persegi, Irak berbatasan langsung dengan Turki, Iran, Kuwait, Arab Saudi, Yordania, dan Suriah. Kehidupan di Irak diwarnai oleh keberagaman etnis, di mana bangsa Arab menjadi mayoritas, berdampingan dengan kelompok minoritas signifikan seperti Kurdi, Turkoman, Assyria, Mandean, Shabaki, dan Yazidi. Dalam hal kepercayaan, mayoritas mutlak penduduk Irak (97%) memeluk agama Islam, dengan mayoritas di antaranya adalah Muslim Syiah, sementara sebagian kecil menganut agama Kristen atau kepercayaan lainnya.
Sejarah modern Irak sangat dipengaruhi oleh dinamika kawasan dan kekuatan global. Salah satu kelompok etnis yang memiliki peran penting dalam sejarah Irak adalah bangsa Kurdi. Wilayah asal mereka, Kurdistan, kini terbagi di antara Irak dan negara-negara tetangga. Setelah runtuhnya Kerajaan Ottoman pasca-Perang Dunia I, harapan bangsa Kurdi untuk mendirikan negara merdeka pupus, dan mereka menjadi minoritas di negara-negara baru yang terbentuk. Di Irak sendiri, status dan aspirasi bangsa Kurdi seringkali menjadi sumber ketegangan politik.