Dinasti Umayyah, yang merupakan kekhalifahan Islam pertama setelah era Khulafaur Rasyidin, didirikan oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan, yang berasal dari suku Quraisy, Bani Umayyah. Setelah terjadinya Perang Shiffin pada tahun 657 Masehi, Mu'awiyah dan Hasan bin Ali menyepakati Perjanjian Hasan-Mu'awiyah sebagai upaya untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan. Perjanjian ini bertujuan untuk menghentikan kekerasan di antara umat Islam yang telah terjadi sejak wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Hasan bin Ali, setelah ayahnya Ali bin Abi Thalib wafat, memilih jalan damai dengan Mu'awiyah.
Dalam perundingan tersebut, Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan dengan beberapa persyaratan, yaitu: Mu'awiyah diakui sebagai khalifah yang sah; keselamatan Hasan dan para pengikutnya dijamin; para pengikut Hasan diberikan otonomi dalam wilayah mereka; dan Hasan menerima kompensasi finansial sebagai imbalan atas penyerahan kekuasaan. Perjanjian ini berhasil mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, meskipun sebagian pengikut Ali merasa dikhianati oleh keputusan tersebut. Mu'awiyah kemudian menjabat sebagai khalifah hingga wafatnya pada tahun 680 Masehi. Dalam proses perundingan, Hasan mengutus Abdullah untuk menyampaikan persyaratan-persyaratannya kepada Mu'awiyah, dan Mu'awiyah mengutus Abdullah bin Amir untuk memenuhi persyaratan tersebut. Mu'awiyah mengakui kelayakan Hasan sebagai seorang khalifah, namun menyatakan bahwa dirinya lebih mampu untuk memikul tanggung jawab kekhalifahan.
Pada Rabi'ul Awwal tahun 41 Hijriah atau 661 Masehi, disepakati sebuah peristiwa yang dikenal sebagai 'Aam Jama'ah (Tahun Persatuan), yang menjadikan Mu'awiyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Penyerahan kekuasaan dari Hasan kepada Mu'awiyah di Maskin secara resmi menandai berdirinya Dinasti Umayyah. Perjanjian ini dianggap sebagai momen penting dalam sejarah Islam karena berhasil mengakhiri konflik internal dan menstabilkan kekhalifahan. Meskipun tidak diakui secara resmi oleh penduduk Basrah, Mu'awiyah terus berupaya hingga akhirnya berhasil mengambil alih kekuasaan secara penuh. Mengikuti model pemerintahan Persia dan Romawi, Mu'awiyah kemudian mewariskan kekuasaannya kepada putranya.
Ketidakpuasan kemudian muncul ketika Yazid bin Mu'awiyah diangkat menjadi khalifah. Husein bin Ali menolak untuk mengakui Yazid sebagai khalifah karena dianggap tidak sah. Husein, yang merupakan putra Ali bin Abi Thalib, menentang kekuasaan Bani Umayyah karena beliau berpendapat bahwa kepemimpinan seharusnya didasarkan pada musyawarah di antara umat Islam. Mu'awiyah dianggap telah melanggar janjinya dengan mewariskan tahta kepada Yazid. Sebagai respons terhadap situasi ini, Husein memutuskan untuk berpindah dari Madinah ke Mekah, dan kemudian menuju Kufah atas permintaan masyarakat Irak yang tidak mengakui kepemimpinan Yazid.
Husein mendapatkan dukungan dari beberapa sahabat Nabi untuk pergi ke Kufah. Masyarakat Kufah menyatakan pengakuan mereka terhadap Husein, yang kemudian menjadikan Kufah sebagai basis perlawanan terhadap Yazid. Rangkaian peristiwa yang mengarah pada tragedi Karbala adalah sebagai berikut: para pendukung Husein di Kufah memintanya untuk datang; Husein mengirim Hani bin Urwah sebagai utusan pertama; Muslim bin Aqil dikirim sebagai utusan kedua; penduduk Kufah menarik dukungan mereka karena merasa takut terhadap kekuatan pasukan Yazid; meskipun demikian, Husein tetap melanjutkan perjalanan dan akhirnya terbunuh di Karbala.
Dalam perjalanan menuju Kufah, Husein mendengar berita mengenai kematian Muslim bin Aqil. Meskipun sempat mempertimbangkan untuk kembali, Husein tetap melanjutkan perjalanannya dan menuntut agar para pembunuh Muslim dihukum. Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah yang loyal kepada Yazid, mengirimkan pasukan untuk mencegah Husein memasuki Kufah. Pertempuran yang tidak seimbang terjadi di Karbala, yang mengakibatkan tewasnya Husein dan sebagian besar pendukungnya. Ubaidillah bin Ziyad, Al-Jausyan, dan Sinan disebut sebagai pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembunuhan Husein. Kepala Husein kemudian dikirim ke Damaskus, sementara jenazahnya dimakamkan di Karbala.
Tragedi Karbala yang terjadi pada tahun 680 Masehi melibatkan pengkhianatan dari sebagian kelompok Syiah Kufah terhadap Husein. Husein menolak untuk mengakui Yazid sebagai khalifah karena beliau menganggap pengangkatan Yazid bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Husein berangkat menuju Kufah atas undangan dari penduduk wilayah tersebut, namun sesampainya di Karbala, beliau dan rombongannya dikepung oleh pasukan Yazid. Mayoritas penduduk Kufah yang sebelumnya mendukung Husein justru berbalik arah dan memberitahukan keberadaan beliau kepada pasukan Yazid. Akibatnya, Husein dan para pengikutnya terbunuh dalam pertempuran tersebut, sebuah peristiwa yang dianggap sebagai pengkhianatan orang Syiah Kufah terhadap Husein. Namun, setelah tragedi tersebut, sebagian kelompok Syiah justru melakukan ritual-ritual penghormatan dan bahkan penyembahan terhadap Husein.
 Khalifah-Khalifah Berpengaruh Dinasti Umayyah:
Mu'awiyah bin Abu Sufyan (661-679 M)
Mu'awiyah, yang lahir di Mekah pada tahun 602 Masehi, adalah putra Abu Sufyan. Beliau memeluk Islam setelah penaklukan Mekah pada tahun 630 Masehi. Dikenal memiliki kemampuan administrasi yang baik, Mu'awiyah pernah menjadi penulis wahyu. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, beliau menjabat sebagai gubernur Suriah. Di wilayah tersebut, Mu'awiyah berhasil mengelola daerah-daerah yang baru ditaklukkan dari Kekaisaran Bizantium, menerapkan sistem perpajakan yang efektif, serta menunjukkan sikap toleransi terhadap penduduk setempat.
Mu'awiyah memusatkan kekuatan Islam di sekitar Suriah, memimpin penaklukan Siprus pada tahun 649 Masehi, dan melakukan ekspedisi ke Anatolia. Beliau memperkuat sistem administrasi, militer, infrastruktur, dan menerapkan kebijakan yang adil di Damaskus. Mu'awiyah membangun basis kekuasaan yang kuat di Suriah, mengembangkan infrastruktur, dan mengambil sikap netral dalam konflik antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah. Beliau menolak untuk menyerahkan jabatannya sebagai gubernur kepada Ali, yang kemudian memicu terjadinya Perang Shiffin.