Dia diam saja. Tangannya pelan mengusap kaca jendela. Tiba-tiba dia menghambur padaku hingga selimut di tubuhnya ikut tanggal, kemudian memelukku sambil menangis deras.
Maka seketika itu uratku tegak, keras dan membara.
9
di Puncak Malam
Kipas angin gantung di kamar terus saja berisik, riuh-rendah dan reyot.
Baling-balingnya oleng membelah-belah udara.
"Aku ingin jadi angin," katamu. "Agar bisa menelusup ke celah tersempit dimana kau berada.".Â
"Ah tidak," sanggahmu sendiri. "Aku ingin jadi udara saja, biar bisa masuk ke tubuhmu setiap waktu."
Sejenak sunyi. Tiba-tiba :"Tidak! Aku ingin jadi diriku sendiri saja biar bisa menyiumimu sesukaku."Â
Kemudian segalanya jadi sunyi. Hilang suara kipas angin yang berisik. Yang ada hanya desah nafas dan kecipak bibirmu melumat bibirku.
Cepat, hangat dan padat.