Umar bersifat tegas, rasional, dan berorientasi hukum, menjadi pelengkap karakter Abu Bakar dalam penguatan institusi negara.
Utsman dengan kelembutan dan kemurahan hatinya menonjol dalam peran administratif dan ekspansi Islam secara damai.
Ali tampil sebagai representasi hikmah, kedalaman ilmu, dan prinsipil terhadap keadilan.
Meskipun karakter dan gaya kepemimpinan mereka berbeda, ada solidaritas yang kokoh di masa Rasulullah hidup, terutama dalam mempertahankan misi profetik. Mereka berada pada kuadran sehati dan sepikiran.
Konflik Ideologis Pasca Wafat Nabi:
Wafatnya Nabi memunculkan krisis suksesi. Diskusi di Saqifah antara kaum Anshar dan Muhajirin menggambarkan perbedaan pandangan strategis, namun diredakan melalui musyawarah yang cepat dan penerimaan luas terhadap kepemimpinan Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar, setiap transisi kekuasaan mengandung potensi konflik, namun mekanisme syura dan rasa hormat kepada Rasulullah menjadi landasan resolusi.
Puncak konflik terjadi di masa Ali, yang mewarisi dampak politik dari pembunuhan Utsman. Di sinilah ketegangan berpindah dari sekadar perbedaan pendapat menjadi konflik struktural dan politik terbuka.
5.2 Relasi Musa dengan Harun, Khidir, dan Syuaib
Tiga relasi profetik ini mencerminkan kompleksitas hubungan manusia: mulai dari ikatan darah, relasi epistemik, hingga kontrak sosial.
a. Musa dan Harun: Relasi Keluarga dan Kolaborasi Profetik
Harun diangkat sebagai partner kenabian Musa untuk membantu menyampaikan risalah kepada Firaun. Keduanya memiliki misi yang sama (sepikiran), dan hubungan darah memperkuat keharmonisan (sehati).