Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis | Analis Politik

Menjadi Kompasianer sejak Januari 2019 | Menulis lintas disiplin tanpa batasan genre. Mencari makna lewat berbagai sudut, dari hal-hal paling sunyi hingga yang paling gaduh.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hentikan Amarah dan Konflik, Jangan Biarkan Negeri Ini Menangis

30 Agustus 2025   22:25 Diperbarui: 30 Agustus 2025   22:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (25/8/2025) | Sumber gambar: KOMPAS.com/ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

Bangsa kita kembali berduka. Bukan karena bencana alam, tetapi karena ulah kita sendiri. Di jalanan, bentrokan pecah, fasilitas rusak, dan korban berjatuhan. 

Melihat semua itu, hati saya sebagai warga Indonesia terasa perih, seolah negeri yang kita cintai ini sedang melukai dirinya sendiri.

Beberapa hari ini, kita semua menjadi saksi. Unjuk rasa besar-besaran terjadi di berbagai kota. Aksi itu awalnya lahir sebagai bentuk sah dari kekecewaan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak.

Namun apa yang semestinya menjadi ruang menyampaikan aspirasi, justru berubah menjadi tragedi. Gedung-gedung terbakar, fasilitas umum luluh lantak, dan yang paling menyayat hati: nyawa manusia melayang.

Nama itu masih terngiang di kepala saya: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online. Ia bukan aktivis garis depan, bukan politisi, bukan pula orang yang mencari sensasi.

Affan hanya seorang anak, yang hari itu keluar rumah untuk mencari nafkah, berharap bisa membawa pulang rezeki bagi keluarganya. Namun, di tengah kerusuhan, hidupnya berakhir di jalanan, dilindas kendaraan taktis. Seolah-olah nyawanya tidak ada harganya di tengah gelombang amarah yang membabi buta.

Ketika amarah sudah menguasai, kita sering tidak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan. Semua bisa menjadi sasaran, baik aparat, rakyat biasa, maupun orang-orang yang sama sekali tidak terlibat. Di titik itu, yang hancur bukan hanya gedung dan jalan, tetapi juga rasa kemanusiaan kita sendiri.

Kematian Affan bukan hanya tragedi bagi keluarganya, tetapi juga bagi kita sebagai bangsa. Ia adalah cermin nyata bahwa konflik telah menelan korban paling berharga: kemanusiaan.

Mari kita lihat ke berbagai daerah. Di Makassar, gedung DPRD yang seharusnya menjadi rumah rakyat hangus dilalap api. 

Di Bandung, Medan, Jambi, hingga Surabaya, fasilitas publik yang dibangun dengan keringat dan pajak rakyat kini tinggal puing-puing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun