Bangsa kita kembali berduka. Bukan karena bencana alam, tetapi karena ulah kita sendiri. Di jalanan, bentrokan pecah, fasilitas rusak, dan korban berjatuhan.Â
Melihat semua itu, hati saya sebagai warga Indonesia terasa perih, seolah negeri yang kita cintai ini sedang melukai dirinya sendiri.
Beberapa hari ini, kita semua menjadi saksi. Unjuk rasa besar-besaran terjadi di berbagai kota. Aksi itu awalnya lahir sebagai bentuk sah dari kekecewaan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak.
Namun apa yang semestinya menjadi ruang menyampaikan aspirasi, justru berubah menjadi tragedi. Gedung-gedung terbakar, fasilitas umum luluh lantak, dan yang paling menyayat hati: nyawa manusia melayang.
Nama itu masih terngiang di kepala saya: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online. Ia bukan aktivis garis depan, bukan politisi, bukan pula orang yang mencari sensasi.
Affan hanya seorang anak, yang hari itu keluar rumah untuk mencari nafkah, berharap bisa membawa pulang rezeki bagi keluarganya. Namun, di tengah kerusuhan, hidupnya berakhir di jalanan, dilindas kendaraan taktis. Seolah-olah nyawanya tidak ada harganya di tengah gelombang amarah yang membabi buta.
Ketika amarah sudah menguasai, kita sering tidak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan. Semua bisa menjadi sasaran, baik aparat, rakyat biasa, maupun orang-orang yang sama sekali tidak terlibat. Di titik itu, yang hancur bukan hanya gedung dan jalan, tetapi juga rasa kemanusiaan kita sendiri.
Kematian Affan bukan hanya tragedi bagi keluarganya, tetapi juga bagi kita sebagai bangsa. Ia adalah cermin nyata bahwa konflik telah menelan korban paling berharga: kemanusiaan.
Mari kita lihat ke berbagai daerah. Di Makassar, gedung DPRD yang seharusnya menjadi rumah rakyat hangus dilalap api.Â
Di Bandung, Medan, Jambi, hingga Surabaya, fasilitas publik yang dibangun dengan keringat dan pajak rakyat kini tinggal puing-puing.