Sebuah pertanyaan pahit menggantung di udara, mengambang di atas puing-puing kemarahan dan luka: andai saja para wakil rakyat itu sedikit saja lebih peduli, akankah kerusuhan dan kekerasan yang baru saja terjadi bisa dihindari?
Akankah nyawa-nyawa yang melayang, termasuk seorang pengemudi ojek online (ojol) yang tak bersalah, tetap berada di sisi orang-orang tercinta mereka?
Rentetan peristiwa yang terjadi pada akhir Agustus 2025 bukanlah sekadar catatan sejarah demonstrasi. Ini adalah tamparan keras bagi nurani bangsa, sebuah cermin buram yang memperlihatkan bagaimana kesenjangan sosial, rasa keadilan yang tercederai, dan sikap abai penguasa bisa memicu kobaran api yang membakar segalanya.
Ketika Rakyat Berbicara, Siapa yang Mendengar?
Awalnya, niatnya baik. Ribuan buruh turun ke jalan, dengan keringat membasahi dahi dan harapan menggantung di setiap pekikan. Mereka menuntut keadilan, menolak upah murah, dan berharap hidup layak, sama seperti janji-janji yang kerap diumbar saat kampanye.
Mahasiswa, dengan idealisme yang masih menyala, ikut menyuarakan keresahan. Salah satu tuntutan utama yang mengganjal adalah tunjangan fantastis para wakil rakyat.
Bayangkan, ketika jutaan rakyat berjuang mati-matian hanya untuk sesuap nasi, para pengemban amanah di Senayan justru sibuk menaikkan tunjangan mereka, seolah hidup di planet lain.
Kita semua tahu, demonstrasi adalah hak. Itu adalah cara rakyat menyalurkan aspirasi, berharap ada telinga yang mau mendengar.
Tapi apa yang terjadi? Ketika massa buruh dan mahasiswa datang dengan harapan, mereka justru disambut oleh gedung parlemen yang lengang. Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, memilih untuk bekerja dari rumah.
Ini bukan hanya sekadar ketidakhadiran fisik, ini adalah ketidakhadiran empati, sebuah pesan tersirat bahwa "kami tidak mau diganggu."