Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Menjadi Kompasianer sejak Januari 2019 | Menulis lintas disiplin tanpa batasan genre. Mencari makna lewat berbagai sudut, dari hal-hal paling sunyi hingga yang paling gaduh.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saatnya Indonesia Beralih dari Demokrasi Perwakilan ke Demokrasi Partisipatif

28 Agustus 2025   13:21 Diperbarui: 28 Agustus 2025   13:21 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi | KOMPAS.com/Shutterstock

Ada satu kalimat sederhana yang sering kita dengar di masa pemilu: "Rakyat memilih wakilnya." Dari situlah konsep demokrasi perwakilan tumbuh. Para anggota DPR duduk di kursi empuk Senayan, membawa suara daerah dan konstituennya.

Tapi mari kita bertanya dengan jujur: apakah di zaman teknologi ini, konsep "diwakili" masih relevan?

Mengapa Dulu Perwakilan Diperlukan
Mari mundur sebentar ke masa ketika demokrasi modern lahir. Saat itu komunikasi lambat, perjalanan sulit, dan teknologi informasi belum ada. Rakyat mustahil ikut serta langsung dalam setiap pengambilan keputusan negara. Maka dibutuhkan orang-orang yang ditunjuk atau dipilih untuk mewakili suara banyak orang. Dari sinilah lahir parlemen.

Di Indonesia, sistem itu masih kita pegang teguh. Hasilnya, hari ini kita punya 580 anggota DPR. Secara teori, mereka adalah wajah dan suara rakyat. Tapi dalam praktik, rakyat sering merasa jauh dari para wakilnya. Aspirasi yang disampaikan sering kandas di jalan, tersaring oleh kepentingan partai, atau hilang di balik lobi-lobi politik.

Zaman Sudah Berubah
Kita kini hidup di era teknologi digital. Hampir setiap orang membawa ponsel pintar di kantongnya. Informasi bisa sampai dalam hitungan detik. Aspirasi bisa disampaikan lewat media sosial, aplikasi, atau sistem digital resmi. 

Pertanyaannya: untuk apa kita masih butuh ratusan orang duduk di gedung megah hanya untuk sekadar "mewakili" rakyat, jika rakyat sendiri sebenarnya bisa bersuara langsung?

Keterbatasan akses internet sering dijadikan alasan. Tapi mari realistis: justru anggaran besar yang sekarang habis untuk membiayai 580 anggota DPR bisa dipakai untuk mempercepat pemerataan digital.

Dengan memotong jumlah kursi, miliaran hingga triliunan rupiah bisa dialihkan ke pembangunan BTS di desa, subsidi paket data bagi keluarga miskin, atau pelatihan literasi digital.

Maka, alasan "rakyat belum bisa terhubung" bukanlah hambatan, melainkan tantangan yang bisa diatasi.

Belajar dari Negara Lain
Perubahan dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatif bukan sekadar utopia. Beberapa negara sudah lebih dulu melangkah:

  • Estonia: Hampir semua layanan publik berbasis digital. Rakyat bisa ikut pemilu secara online sejak 2005. Mereka juga bisa menyampaikan aspirasi dan usulan kebijakan lewat platform resmi pemerintah.
  • Islandia: Saat merancang konstitusi baru tahun 2011, rakyat diundang memberi masukan langsung lewat media sosial. Draft konstitusi dibuka ke publik dan diperbaiki sesuai masukan rakyat.
  • Swiss: Mempraktikkan referendum langsung. Rakyat punya hak menolak atau menerima kebijakan lewat voting nasional, bukan hanya menitipkan suara pada parlemen.
  • Taiwan: Menggunakan platform digital bernama vTaiwan untuk mengumpulkan opini publik tentang isu-isu besar, termasuk regulasi ekonomi digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun