Di masa lalu, kita butuh seseorang untuk menyuarakan aspirasi. Jarak yang jauh, keterbatasan komunikasi, dan jumlah populasi membuat demokrasi tidak bisa langsung. Maka lahirlah konsep "wakil rakyat", orang yang kita pilih untuk membawa suara kita ke ruang pengambilan keputusan.
Tapi itu masa lalu.
Hari ini, kita hidup dalam era ketika setiap suara bisa langsung dikumpulkan, diproses, dan dianalisis melalui kecerdasan buatan. Teknologi sudah menembus batas waktu dan ruang. Pertanyaannya kini lebih tajam: masih relevankah wakil rakyat di era AI?
Demokrasi Digital Sudah Hadir, tanpa Kita Sadari
Tanpa perlu menunggu pemilu lima tahun sekali, media sosial sudah menjadi tempat rakyat berpendapat tiap detik. Dari keresahan soal harga beras hingga undang-undang kontroversial, semua tumpah di Twitter, Instagram, TikTok, dan forum-forum digital. Yang membaca? Bukan hanya manusia, tapi algoritma.
AI dapat:
- Mengidentifikasi tren aspirasi masyarakat.
- Merangkum opini publik dari jutaan komentar.
- Menyusun proyeksi kebijakan berbasis data perilaku rakyat.
Bayangkan bila sistem ini diintegrasikan ke dalam proses legislasi. Suara publik bisa diolah secara real-time, transparan, dan nyaris tanpa bias pribadi. Maka, untuk apa lagi wakil rakyat?
Kalau Hanya Menyuarakan Rakyat, AI Bisa
Secara teknis, kecerdasan buatan bisa menggantikan fungsi administratif wakil rakyat:
- Membaca suara mayoritas.
- Menyusun draf undang-undang.
- Menyimulasikan dampak kebijakan.
Namun, demokrasi bukan sekadar "siapa yang paling banyak bersuara". Demokrasi yang sehat harus juga melindungi yang sedikit, yang terpinggirkan, yang tidak viral. Dan di sinilah batas AI mulai terlihat.