Reflek saya setiap kali melihat hujan turun adalah cari ember atau baskom. Bertahun-tahun memang selalu begitu. Kok bisa? Sedari kecil, orangtua dan nenek serta kakek di kampung memang terbiasa menadah air hujan dengan wadah seadanya di rumah.
Wilayah tempat tinggal nenek dan kakek memang punya musim kemarau lebih panjang. Bermula dari hal tersebut, nenek dan kakek sangat terbiasa menghemat air bersih. Menadah air hujan, jadi bagian rutinitas apabila musim penghujan tiba.
Lantas air hujan yang terkumpul digunakan buat apa? Berhubung dulu air hujan terasa lebih aman (sekitar tahun 2000 an). Digunakan buat cuci piring, cuci lap, bersih-bersih rumah.Â
Lumayan banget, misal hujannya deras maka hasil menadah air hujannya pun lumayan banyak. Bisa ber ember-ember dan beberapa baskom.Â
Sederhana ya? Tapi konsisten dilakukan setiap kali hujan turun. Maka orangtua dan saya memang terbiasa menadah air hujan dengan wadah. Kejadian itu berlangsung lama.Â
Terkadang beberapa ember hasil panen air hujan, bapak gunakan buat menyiram tanaman. Lantas kalau sekarang gimana? Berhubung rumah tempat kami ngontrak nggak punya halaman, hanya ada loteng dan balkon. Biasanya bapak suka menadah air hujan di area balkon.
Tentu panen air hujannya nggak sebanyak saat tinggal di rumah permanen dengan halaman luas ya. Akan tetapi air hujan yang dikumpulkan tetap lumayan. Bermanfaat juga, perlu di saring saja.Â
Bisa buat: ngepel, cuci lap, bersihkan area kompor, hingga cuci piring. Kalau di pikir-pikir, Kota Bogor sering hujan. Artinya kami sering panen air hujan.Â
Lumayan banget, bisa kurangi angka meteran PAM yang digunakan. Selain menghemat pengeluaran tentu kebiasaan kami ini bisa mengurangi penggunaan air bersih yang semakin hari kian langka.
Iya, sebenernya di beberapa daerah dan wilayah Indonesia banyak yang mengalami kendala dan kesulitan buat mendapatkan air bersih. Contohnya kampung nenek dan kakek, kemarau panjang dan sulit cari air bersih.Â