Julian melambaikan tangan kirinya pura-pura menjadi penumpang agar angkutan itu berhenti. Si sopir melewatinya tanpa menoleh dan tetap melajukan kendaraannya.
Dia mengambil pistol dari balik kausnya dengan cepat, lalu menarik pelatuknya tepat kearah kedua ban belakang. Laju angkutan itu terhenti karena dua bannya koyak oleh peluru metal yang ditembakkan Julian.Â
Julian melompat kedalam pintu belakang dan memukul dengan keras pelipis kiri si sopir dengan tangan kirinya. Ikbal datang tepat ketika si sopir pingsan. Dia membuka pintu depan dan menembakkan pistol berpeluru pelumpuh saraf ke leher sopir tadi. Peluru itu akan membuatnya tidak bisa bergerak setelah siuman nanti.Â
Ikbal lalu mencari dinamit yang disebut Rika ada di bawah kursi penumpang di belakang sopir. Dinamit itu ada di dalam tas besar yang terbuka.Â
Selain peledak berbentuk silinder dengan panjang dua puluh sentimeter dan bersumbu itu, terlihat pula lima korek api gas dan tiga granat tangan. Di samping tas ada dua jerigen kecil yang Ikbal duga berisi bensin.Â
Sedetik rasa penasaran berkelebat di benak Ikbal. Dinamit dan granat adalah cara kuno yang sudah tidak dipakai untuk melakukan teror karena penggunaannya tidak praktis, apalagi dilakukan seorang diri sambil membawa kendaraan. Apa motifnya?Â
"Bagaimana, Ikbal?" tanya Julian menunggu keputusan Ikbal setelah dia juga melihat apa yang dilihat Ikbal.Â
"Biar polisi yang menangani. Dinamit dan granat ini tidak akan meledak. Kita kembali ke Jalan Pasirkaliki," kata Ikbal sambil meninggalkan angkutan kota, Julian cepat mengikutinya.
"Jee, telepon polisi, laporkan ada angkutan kota yang membawa dinamit dan granat," Ikbal mengontak temannya yang lain. "Kau tetap disitu, Rika," sambungnya.Â
"Noted," Jee merespon dari balik kemudi mobil jip bongsor warna hitam.Â
Rika juga menjawab "ya" dari dalam kamar Hotel Citradream.Â