Ikbal mengangguk, "Betul, komandan."Â
Kalangan polisi mengenal akademi itu sebagai kampus eksklusif berisi para mahasiswa jenius yang kurikulumnya menyontek akademi kepolisian. Sementara kalangan tentara mengenalnya sebagai akademi paramiliter yang melatih mahasiswanya seperti tentara, bahkan dengan teknologi menyerupai yang dipakai tentara.Â
Kerumunan orang menyemut di sekitar mereka. Beberapa orang merekam penggeledahan itu dengan telepon seluler mereka.Â
Julian, Drew, dan Rika makin gelisah dengan banyaknya orang yang merekam mereka. Dalam beberapa menit saja foto dan video berisikan wajah mereka pasti muncul di media sosial. Jika sampai viral maka media arus utama juga ikut menyiarkan mereka. Menjadi terkenal akan mengganggu jika mereka harus keluar kampus untuk melakukan tugas lapangan lagi. Hanya Jee yang tidak gelisah, dia sama tenangnya dengan Ikbal karena yakin jika pun terkena masalah, orangtuanya pasti membereskannya, berapapun biaya yang diperlukan. Menjadi terkenal juga tidak masalah, karena sebelumnya sudah banyak orang yang mengenali diri dan keluarganya.Â
"Senjata-senjata ini milik kalian?" tanya komandan polisi merujuk pada kantong transparan ditangannya. Ikbal yang menjawab,Â
"Bukan, komandan, itu milik Akademi."Â
"Kalian ada di lokasi kejadian saat sopir angkutan yang membawa dinamit itu pingsan?" tanya sang komandan.Â
Ikbal mengangguk tanpa ragu, "Iya, kami disana."Â
"Kalian yang melumpuhkan?"Â
"Benar, Komandan."Â
"Kalian juga yang melumpuhkan orang-orang bersenjata yang menembaki sekolah?" Ikbal baru akan membuka mulutnya untuk menjawab tapi sebuah news van berhenti dekat mereka dan seorang wartawati tergopoh-gopoh mendatangi komandan polisi, memperkenalkan dirinya dan minta waktu sekarang juga untuk siaran langsung.Â