Sepulangnya dari acara itu, Alfan membuka kelas kecil di balai desa. Ia ajarkan anak-anak memainkan Silotong. Kadang dua, kadang lima. Ia tidak dibayar. Tapi setiap anak yang tertawa saat ketukan mereka menghasilkan nada yang benar, adalah bayaran yang tak bisa dimasukkan ke rekening.
Sebulan kemudian, datanglah tawaran dari luar daerah. Komunitas seni dari kota ingin mengundang. Tawaran pelatihan dari NGO. Bahkan wartawan televisi lokal datang membawa kamera dan pertanyaan—yang semuanya dijawab Alfan dengan cara paling sederhana: lewat denting bambu.
Pak Iwan suatu malam berkata, "Bambu itu sekarang milikmu. Tapi jangan simpan. Bagi."
Dan Alfan mengerti. Ia tidak sedang membesarkan usaha. Ia sedang merawat warisan. Dan diam-diam, warisan itu menyelamatkannya.
Di sudut pasar, warung kopi yang dulu sepi kini kembali ramai. Tapi bukan karena wifi gratis, melainkan karena suara bambu yang sesekali terdengar dari pelataran. Orang datang, duduk, mendengar. Lalu pulang membawa sesuatu yang tidak bisa dibungkus plastik: rasa pulang.
Dan Alfan? Ia tidak lagi merasa kecil saat ditanya, "Kerja di mana sekarang?"
Karena jawabannya bukan satu nama perusahaan, tapi ratusan pasang telinga yang mau mendengar. Bambu yang tak lagi diam. Dan dirinya yang akhirnya punya suara.
Baca cerpen lain:
- Telur, Peta, dan Pengertian
- Bau Waktu yang Membeku
- Gang Kecil Digital
- Lebaran Tanpa Kata
- Konspirasi Ketupat
- Di Antara Pusaran Laut Banda
- Cahaya Malam Lailatul Qadar
- Jalan Terakhir di Tapal Bumi
- Empat Wajah Agus
- Residu Bom Bali
- Rahasia di Balik Kabut
- Paranoia di Sungai Musi
- Azis dan BCL
- Waktu Maghrib di Kandeapi
- Bisikan di Lift Kosong
- Jerat Kawin Kontrak
- Delusi
- Luka dalam Cinta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI