Alfan berdiri di balik semak. Ia tak ingin mengganggu.
Bunyi bambu itu menyatu dengan suara alam. Angin memecah daun, burung sesekali berkicau, dan bunyi bambu itu seperti menjadi napas di antara semuanya. Seolah bambu-bambu itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar nada. Ada cerita, atau barangkali luka, yang bicara lewat denting-denting itu.
Setelah beberapa menit, lelaki itu berhenti. Mengusap alat musiknya, lalu menatap ke arah Alfan.
"Kau mau duduk?" tanyanya. Suaranya tidak keras, tapi cukup menembus hati.
Alfan maju perlahan, duduk di batu besar tak jauh darinya.
"Apa itu?" tanyanya akhirnya.
"Silotong," jawab lelaki itu. "Orang luar menyebutnya 'bambu bersuara'. Tapi ini bukan hanya alat musik. Ini adalah kenangan."
Alfan mengernyit. "Kenangan?"
Lelaki itu mengangguk. "Dulu, sebelum ada pengeras suara, sebelum ada televisi, orang Dayak pakai Silotong untuk menyampaikan pesan. Saat ada duka, lahirnya bayi, atau kabar jauh dari kota. Silotong-lah yang berbicara."
Alfan menatap batang bambu itu. Terlihat biasa saja. Tapi kini terasa seperti tubuh tua yang menyimpan seluruh sejarah kampung.
"Bambu ini sudah dipakai puluhan tahun. Bahkan mungkin lebih tua dari saya," lanjut lelaki itu, sambil tersenyum kecil.