Tak selalu ramai. Kadang hanya dua anak SD, kadang hanya seorang nenek yang duduk diam tanpa berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan di setiap jeda denting. Tapi bagi Alfan, mereka semua pendengar yang pantas dihormati. Karena mereka datang bukan untuk menghakimi, tapi mendengar.
Sore itu, Pak Iwan datang membawa kabar: Dinas Kebudayaan kabupaten ingin mengundang Alfan tampil di acara tahunan budaya lokal. Panggung kecil. Hadirin terbatas. Tapi itu cukup untuk membuat Alfan menahan napas.
"Aku takut," katanya lirih.
"Bagus," jawab Pak Iwan. "Artinya kamu tahu ini penting."
Selama beberapa hari, Alfan menghabiskan waktu di belakang rumah. Memilih bambu terbaik. Menyusun nada yang tepat. Bahkan menggali kembali cerita-cerita lama dari Pak Iwan tentang upacara adat, tentang bunyi yang membawa pesan duka dan harap. Ia tidak ingin hanya tampil. Ia ingin membuat orang merasa. Dan mengingat.
Hari itu tiba. Langit bersih. Udara hangat.
Panggung dibangun di halaman museum daerah. Ada lampu kecil, kursi-kursi plastik yang ditata rapi, dan banner warna warni yang menyebut namanya: "Alfan Ramadhan & Silotong: Suara dari Hutan yang Hampir Diam."
Ia tampil setelah tari Gantar dan sebelum pembacaan puisi. Penonton belum terlalu banyak, tapi beberapa kamera sudah terarah. Wartawan lokal mencatat di buku kecil. Entah kenapa, Alfan tak merasa gugup. Mungkin karena suara Silotong lebih keras dari degup jantungnya.
Ketika ia mulai memukul bambu, suasana berubah. Riuh pelan. Orang-orang diam. Suara Silotong menyapu panggung seperti ombak pelan yang menggulung pasir. Ada yang memejam. Ada yang merekam. Tapi tak satu pun yang bersuara.
Lalu Alfan berhenti sejenak. Ia bercerita. Tentang suara dari kampung, tentang lelaki tua di tengah bambu, tentang lulusan sarjana yang nyaris menyerah karena CV-nya hanya jadi tumpukan kertas di meja yang salah.
Ia tidak mengeluh. Ia hanya mengajak mereka mendengar. Bahwa tidak semua pekerjaan datang dari lowongan. Kadang ia tumbuh dari hal yang kita diamkan terlalu lama.