Hari-hari Alfan mulai berubah. Bangun pagi. Membantu ayah di kebun. Sore ke hutan. Dan malamnya, ia tidur dengan rasa lelah yang tidak pahit.
Ia mulai belajar lebih banyak tentang Silotong—asal-usulnya, jenis bambu terbaik, cara menyetel nada dengan tali rotan. Ia membuka catatan-catatan lama yang Pak Iwan simpan dalam plastik agar tak dimakan rayap.
"Kenapa Bapak simpan semua ini?" tanya Alfan suatu waktu.
"Karena saya tahu suatu saat akan ada yang datang mencarinya."
Mata mereka bertemu sejenak. Tidak ada yang berkata, tapi dalam diam, Alfan tahu: mungkin itu sebab ia pulang.
Pada hari pasar, Alfan membawa Silotong kecil ke pelataran. Ia memainkannya di sela keramaian. Orang-orang menoleh. Anak-anak berhenti mengejar balon. Bahkan Pak Sali yang biasa mencibir, kini mematung sambil menatap.
Alfan tidak berharap uang. Tapi ia melihat sesuatu di mata orang-orang: ingatan. Ada yang tersenyum kecil. Ada yang menahan air mata. Dan ada yang mencatat nomor HP Alfan, menawari tampil di acara desa minggu depan.
Di ujung pasar, Pak Iwan berdiri. Tidak bertepuk tangan. Tidak juga tersenyum lebar. Tapi ia mengangguk pelan, dan itu cukup.
Alfan tahu, ia belum menang. Tapi setidaknya, kali ini, ia tidak merasa kalah.
Hujan turun pagi itu. Tipis dan sabar, seperti tangan ibu yang menyisir rambut anaknya. Alfan duduk di beranda rumah, memandangi batang bambu yang diletakkannya di atas pangkuan. Sejak beberapa minggu terakhir, Silotong bukan lagi sekadar alat musik warisan. Ia kini seperti tubuh kedua Alfan. Diam-diam tumbuh melekat dalam hidupnya, memberi suara pada sunyi yang dulu hanya bisa ia telan sendiri.
Kabar tentang anak muda pengangguran yang memainkan bambu bersuara itu telah menyebar. Dari mulut ke mulut. Dari warung ke pos ronda. Ada yang penasaran, ada yang sinis, dan tentu saja—ada yang datang.