Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Bisikan Denting Bambu

9 Mei 2025   18:47 Diperbarui: 9 Mei 2025   18:47 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen: Bisikan Denting Bambu (Sumber: Leonardo)

Hari-hari Alfan mulai berubah. Bangun pagi. Membantu ayah di kebun. Sore ke hutan. Dan malamnya, ia tidur dengan rasa lelah yang tidak pahit.

Ia mulai belajar lebih banyak tentang Silotong—asal-usulnya, jenis bambu terbaik, cara menyetel nada dengan tali rotan. Ia membuka catatan-catatan lama yang Pak Iwan simpan dalam plastik agar tak dimakan rayap.

"Kenapa Bapak simpan semua ini?" tanya Alfan suatu waktu.

"Karena saya tahu suatu saat akan ada yang datang mencarinya."

Mata mereka bertemu sejenak. Tidak ada yang berkata, tapi dalam diam, Alfan tahu: mungkin itu sebab ia pulang.

Pada hari pasar, Alfan membawa Silotong kecil ke pelataran. Ia memainkannya di sela keramaian. Orang-orang menoleh. Anak-anak berhenti mengejar balon. Bahkan Pak Sali yang biasa mencibir, kini mematung sambil menatap.

Alfan tidak berharap uang. Tapi ia melihat sesuatu di mata orang-orang: ingatan. Ada yang tersenyum kecil. Ada yang menahan air mata. Dan ada yang mencatat nomor HP Alfan, menawari tampil di acara desa minggu depan.

Di ujung pasar, Pak Iwan berdiri. Tidak bertepuk tangan. Tidak juga tersenyum lebar. Tapi ia mengangguk pelan, dan itu cukup.

Alfan tahu, ia belum menang. Tapi setidaknya, kali ini, ia tidak merasa kalah.

Hujan turun pagi itu. Tipis dan sabar, seperti tangan ibu yang menyisir rambut anaknya. Alfan duduk di beranda rumah, memandangi batang bambu yang diletakkannya di atas pangkuan. Sejak beberapa minggu terakhir, Silotong bukan lagi sekadar alat musik warisan. Ia kini seperti tubuh kedua Alfan. Diam-diam tumbuh melekat dalam hidupnya, memberi suara pada sunyi yang dulu hanya bisa ia telan sendiri.

Kabar tentang anak muda pengangguran yang memainkan bambu bersuara itu telah menyebar. Dari mulut ke mulut. Dari warung ke pos ronda. Ada yang penasaran, ada yang sinis, dan tentu saja—ada yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun