Ia berdiri, mendongak.
Bunyi itu datang dari arah hutan kecil di pinggir desa.
Tidak keras. Tapi cukup untuk membuat langkahnya pelan-pelan meninggalkan rumah, melewati pagar bambu, dan menuruni jalan setapak yang basah oleh sisa hujan.
Ada sesuatu di sana.
Sesuatu yang belum ia kenal.
Atau mungkin, sesuatu yang sudah lama ia lupakan.
Alfan belum tahu apa yang membawanya turun ke lembah itu. Langkahnya melintasi tanah merah basah yang licin, melewati rumpun pakis dan alang-alang yang mulai menutup jalur. Bau daun basah bercampur tanah menggantung rendah seperti kabut yang tidak ingin pulang.
Suara itu masih terdengar. Samar. Tapi jelas arah datangnya. Ia mengikuti tanpa banyak tanya, seperti anak kecil mengejar bunyi lonceng keliling tukang es krim.
Di belakang pasar lama yang sudah ditinggal pedagang sejak pandemi, ada sebidang tanah lapang kecil, dikelilingi bambu tua yang batangnya tinggi dan kurus. Di sanalah ia melihatnya.
Seorang lelaki tua, duduk bersila di atas potongan batang kelapa. Di hadapannya: tiga batang bambu besar yang dirangkai menyerupai alat musik. Ia mengetuknya pelan dengan dua batang kecil yang diikat kain di ujungnya. Setiap ketukan memunculkan suara mendalam, lembut, nyaris seperti dengung doa.
Lelaki itu tidak menyadari kedatangannya. Atau mungkin justru tahu, tapi memilih diam.