"Tapi kau tahu? Tak banyak anak muda yang tahu cara memainkannya sekarang. Mereka lebih suka gitar atau HP."
Alfan hanya mengangguk. Ada rasa bersalah yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti telah membuang sesuatu—entah apa.
Hari-hari berikutnya, Alfan kembali ke tempat itu. Lelaki tua itu memperkenalkan diri sebagai Pak Iwan, mantan guru SD yang sejak pensiun lebih banyak menghabiskan waktu di kebun dan bambu.
Setiap sore, mereka duduk bersama. Kadang Pak Iwan bermain Silotong, kadang mereka hanya berbicara. Tentang zaman, tentang sunyi, tentang gelar yang ternyata tidak bisa membayar tagihan listrik sendiri.
"Waktu muda, saya kira jadi guru itu akan membuat saya cukup," ujar Pak Iwan suatu sore.
"Ternyata tidak. Tapi saya tidak menyesal. Karena saya tahu saya tetap berguna."
Kata-kata itu menusuk Alfan. Ia merasa seperti gumpalan awan yang menggantung terlalu lama di atas bukit—tak hujan, tak juga pergi.
Suatu hari, Pak Iwan memberi sepasang pemukul bambu ke tangan Alfan.
"Coba," katanya. "Biar tanganmu belajar bicara."
Alfan ragu. Tapi ia coba. Satu ketukan. Lalu dua. Suaranya miring. Janggal. Tapi tak seburuk yang ia bayangkan.
"Tidak semua suara harus sempurna," kata Pak Iwan. "Yang penting jujur."