Alfan hanya mengangguk. "Freelance."
Kata itu selalu terdengar keren di media sosial, tapi di telinga Pak Sali, barangkali itu terdengar seperti "nganggur sambil main HP".
Hari-hari Alfan di kampung berlalu dalam bentuk kabut. Ia bangun siang, membaca novel lama, dan tidur lagi. Tidak ada yang bertanya, tapi semua tahu ia sedang kalah.
Ia mencoba lagi membuka laptop—lamaran kerja nomor ke entah-berapa. Tapi sinyal di kampung hanya kuat untuk pesan berantai Whatsapp dan video Tiktok berdurasi sepuluh detik.
Di malam hari, ia menatap langit-langit kayu kamar. Di sanalah dulu ia menggantung peta dunia, memandangi Eropa sambil bermimpi jadi peneliti budaya. Tapi sekarang peta itu sudah disobek oleh waktu, dan yang tersisa hanya sisa perekat dan bekas paku.
Malam-malam seperti itu, Alfan merasa menjadi ruang kosong yang berjalan.
Suatu sore, hujan turun ragu-ragu. Rintiknya hanya cukup membasahi ujung daun dan menghidupkan aroma tanah.
Alfan duduk di bangku kayu belakang rumah, memandangi kabut perlahan turun dari bukit.
Lalu, ia mendengar sesuatu.
Bunyi bambu.
Bukan suara angin memukul rumpun bambu. Ini seperti denting. Irama. Seperti musik, tapi purba. Tertata, namun tak seperti lagu-lagu yang biasa ia dengar. Suaranya lembut, tapi menuntun. Seperti panggilan, atau bisikan yang entah bagaimana terasa akrab.