Mohon tunggu...
Satrio Piningit
Satrio Piningit Mohon Tunggu... -

jer besuki mawa bea

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Supersemar dan Dugaan Korupsi Kol. Soeharto

11 Maret 2016   07:36 Diperbarui: 11 Maret 2018   17:53 16606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewi Soekarno/dokpri
Dewi Soekarno/dokpri
Namun, Komandan Pasukan Kawal Istana Kol. Maulwi Saelan melihat adanya “tentara tak dikenal” di sekitar istana, yaitu 1000 prajurit Batalyon 454 dan 530 (pasukan G30S yang katanya bertugas melindungi Presiden). Saelan kemudian menghubungi pasukan kawal Soekarno melalui radio, dan meminta mereka menjauhi istana. Atas saran Saelan, Presiden dan para pengawalnya langsung menuju rumah Haryati, dan tiba di sana jam 7.00 pagi (sumber: Saelan, “Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66”, hlm 309-310).

Setelah itu, Soekarno merasa ada sesuatu yang tidak beres (1000 tentara yang “tak dikenal” di dekat istana). Sesuai prosedur baku dalam keadaan krisis, Soekarno dan para ajudannya memutuskan untuk pergi ke tempat terbaik yang dekat dengan pesawat -- yakni Halim -- agar sewaktu-waktu dapat pergi meninggalkan kota jika dalam keadaan bahaya (sumber: Setiyono dan Triyana, “Revolusi Belum Selesai”, 1:18).

Soekarno berangkat dari rumah Haryati ke Halim tanpa mengetahui adanya G30S, yang baru ia ketahui kemudian ketika tiba di Halim dan bertemu Supardjo. Ia hanya tahu ada "pasukan tak dikenal" di dekat istana. Dari seluruh data yang ada, juga tak ada kesaksian bahwa Soekarno bertemu dengan Aidit di Halim. Kemungkinan besar saat itu ia tidak mengetahuinya (Aidit disembunyikan di tempat yang jauh). Soekarno dan Untung juga sama-sama berada di kawasan Halim, tapi mereka juga tak pernah bertemu disitu. Bahkan Untung tak ikut ketika Supardjo menemui Soekarno, yang sekitar 4 kali mondar-mandir pada hari itu (sumber: CIA, Indonesia – 1965 danProf. John Roosa, Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002, Jakarta).

Kondisi ini yang sering dipelintir seolah-olah Soekarno dan Aidit ada di Halim untuk mendalangi, atau setidaknya terlibat, dalam G30S.

Hal yang menarik diungkapkan oleh puteri Jenderal Yani, Amelia, lewat buku tentang ayahnya: "Profil Seorang Prajurit TNI". Ternyata Soekarno punya rencana sendiri untuk menyelesaikan isu kup Dewan Jenderal guna menenangkan semua pihak dari konflik yang berkepanjangan. Menurut puteri sang jenderal, tanggal 1 Oktober itu sebenarnya Bung Karno berencana memanggil Yani, untuk mengangkatnya jadi Panglima ABRI. A.H. Nasution dinaikkan jadi Waperdam. Posisi Yani digantikan oleh Deputi I Menpangad, Mursyid. Amelia Yani mendengar rencana itu belakangan dari A.H. Nasution (sumber: Amelia Yani, "Profil Seorang Prajurit TNI").

Sungguh disayangkan, "Jenderal Kesayangan Bung Karno" itu gugur sebelum menghadap Presiden tanggal 1 Oktober itu.

Bung Karno menangis di pusara A.Yani/dokpri
Bung Karno menangis di pusara A.Yani/dokpri

10.2. Hentikan G30S

Kembali pada kronologi di tanggal 1 Oktober pagi. Supardjo akhirnya bertemu Soekarno di kantor Komandan Lanud Halim, Kol. Wisnoe Djajengminardo sekitar jam 10 pagi tanggal 1 Oktober 1965. Presiden pasti bingung, ada seorang Brigjen bertemu dengannya atas nama seorang Letkol. Ia bertanya pada Supardjo, “Mengapa yang memimpin Untung?” Supardjo menjawab, “Dialah yang kita anggap pantas.” (sumber: “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung, hlm 60).

Setelah dilapori Supardjo, Soekarno tahu bahwa seorang Panglimanya baru dibunuh (Yani), dan wakil gerakan yang membunuh Panglimanya sedang berbicara di depannya (Supardjo), dan komandan pasukan yang membunuh Panglimanya ada di dekatnya (Untung ada di Halim, meski tak ikut menghadap Soekarno). Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak merasa G30S sebagai ancaman, dan percaya penuh bahwa Supardjo dan Untung tak akan membunuhnya.

Namun ia cemas jika peristiwa itu menimbulkan perang saudara. Soekarno menolak permintaan Supardjo agar Presiden mendukung G30S. Sebaliknya, ia meminta Supardjo untuk menghentikan gerakan. Soekarno berkata kepada Supardjo, “Kalau begini pertempuran nanti bisa meluas. Lantas yang untung nanti nekolim.” Ia bertanya kembali pada Supardjo, “Apakah punya kesanggupan untuk menghentikan G30S?” Supardjo mengiyakan, dan Soekarno menepuk-nepuk bahu Supardjo (sumber: Transkrip Mahmilub, pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, hlm 16-17).

Hal ini berbeda sekali dengan versi Orba yang digambarkan dalam film propaganda “Pemberontakan G30S”, yang menampilkan reaksi Soekarno seperti orang bingung pakai kaos oblong dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

10.3. Reaksi Atas Penolakan Soekarno

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun