Mohon tunggu...
Satrio Piningit
Satrio Piningit Mohon Tunggu... -

jer besuki mawa bea

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Supersemar dan Dugaan Korupsi Kol. Soeharto

11 Maret 2016   07:36 Diperbarui: 11 Maret 2018   17:53 16661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun terakhir ini banyak profesor-profesor dan ilmuwan-ilmuwan senior Barat di bidang politik dan sosiologi yang meneliti kembali tentang G30S yang melahirkan Supersemar, 50 tahun lalu. Mereka tertarik karena ada temuan informasi-informasi baru, dari beberapa pelaku kunci, yang baru terbuka setelah 1998.

Para peneliti senior Barat itu -- antara lain Anderson, McVey, Crouch, Wertheim, Roosa, Scott, Wieringa dll -- tinggal di negara-negara kapitalis. Mereka bukan simpatisan komunis apalagi PKI. Mereka tak punya kepentingan politik maupun ekonomi atas kejadian-kejadian di Indonesia. Hanya karena rasa keadilannya tersentuh oleh pembunuhan massal ratusan ribu orang saat itu. Integritas akademiknya tertantang untuk menguak misteri di balik versi resmi pemerintah Orba yang -- menurut kajian mereka -- tidak masuk akal.

Salah satu kajian dari Profesor bidang sosiologi dan kesetaraan gender di University of Amsterdam/dokpri
Salah satu kajian dari Profesor bidang sosiologi dan kesetaraan gender di University of Amsterdam/dokpri
Perkembangan menarik lainnya adalah Laporan Intelijen yang disusun oleh gabungan CIA, NSA(National Security Agency), dan DIA (Defense Intelligence Agency) untuk Presiden AS Lyndon B. Johnson, selanjutnya dalam tulisan ini disebut "Laporan CIA". Dokumen penting dan sensitif itu saat ini sebagian sudah boleh diakses publik, meski ada beberapa kata dan kalimat yang masih disensor.

Dokumen CIA yang kini sudah bisa diakses publik/dokpri
Dokumen CIA yang kini sudah bisa diakses publik/dokpri
Laporan CIA itu merupakan dokumen kredibel yang mengagetkan dan menjungkirbalikkan pemahaman kita selama ini. Teori yang dianut sebagian kalangan bahwa CIA mendalangi G30S, ternyata salah. CIA memang merancang skenario “kudeta komunis yang dirancang untuk gagal”, tapi tak pernah mendalanginya secara langsung.

Sejak Juli 1965, CIA menjalankan "low-posture policy" dengan agak mundur dan lebih banyak jadi pengamat. Mereka kaget dan bingung sendiri dengan kejadian G30S. Kontak intensif CIA dengan TNI AD baru dimulai lagi tanggal 1 November 1965, ketika dihubungi oleh Brigjen Sukendro, perwira intel di bawah Menpangad Mayjen Soeharto.

Di sisi lain, dengan terbukanya dokumen-dokumen Laporan CIA itu, versi bahwa G30S adalah murni gerakan PKI seperti yang dikatakan rejim Orde Baru, juga salah. Bulan Maret dan April 1965 CIA mendesain skenario “kudeta gagal”, yakni menjebak PKI agar ada alasan untuk memberangus PKI guna menancapkan kuku Barat di Indonesia. Enam bulan sebelum G30S, Dubes Jones mengatakan itulah satu-satunya cara yang masuk akal jika ingin menyingkirkan komunisme di Indonesia. Hal ini akan dipaparkan pada butir 4 (Manuver CIA).


Yang mengagetkan, dalam Laporan CIA tanggal 1 Oktober s.d. 22 Oktober 1965, ternyata CIA tak percaya Aidit menyetujui pembunuhan jenderal. Dalam memo internal mereka, Sekretariat Negara AS bingung mencari logika politik dan ekonomi, mengapa parpol yang sudah di atas angin perlu melakukan subversi.

Fakta penting lain yang terungkap adalah Laporan CIA tanggal 10 Maret 1966. Adam Malik diutus Soeharto untuk melobby Dubes CIA Green agar mendukung Soeharto sebagai front man. Menurut laporan CIA itu, Adam Malik menginformasikan bahwa kubu Soeharto sudah siap dengan 22 batalyon di sekitar Jakarta untuk menyerang Soekarno secara fisik, sehari sebelum ditandatanganinya Supersemar.

Tulisan ini dibuat dengan merangkum berbagai kajian para profesor dan ilmuwan Barat, kesaksian beberapa pelaku lokal, serta temuan-temuan terakhir dari laporan tiga Badan Intelijen AS (CIA, NSA dan DIA) tersebut di atas.

1. Benang Merah Tujuh Jenderal

1.1.  Dugaan Korupsi Kol. Soeharto

Peristiwa penting terkait tujuh jenderal korban G30S adalah dugaan keterlibatan korupsi dan penyelundupan yang dilakukan oleh Kol. Soeharto ketika menjabat sebagai Pangdam Diponegoro. Kasus ini dilaporkan ke MBAD oleh Kol. Pranoto, yang kelak ditunjuk oleh Soekarno untuk jadi Menpangad menggantikan A. Yani (sumber: Pranoto, “Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra”).

Pranoto menyebutkan penyelewengan keuangan itu berupa barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan Pabrik-pabrik Rokok Kretek Jawa Tengah, penjualan besi tua yang disponsori Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hassan.

Liem Sioe Liong dan Soeharto, ketika sudah jadi Presiden/dokpri
Liem Sioe Liong dan Soeharto, ketika sudah jadi Presiden/dokpri
Menurut Prof. R.E. Elson, PhD, peneliti dari University of Queensland, dugaan korupsi Kol. Soeharto dilakukan melalui YPTE (Yayasan Pembangunan Teritorium Empat) yang didirikannya tahun 1957. YPTE bekerjasama dengan staf Soeharto, Soejono Hoemardani, mendirikan NV Garam di Salatiga. Soejono kemudian membeli separuh saham PT Dwi Bakti. Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaitu Bob Hassan dan pengusaha Sukaca.

YPTE didirikan dengan modal Rp 419.352,- dari pajak kopra dan sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus. Dalam waktu singkat, modal YPTE menjadi Rp 18 juta, atau meningkat 4300% (sumber: Elson, “Suharto: A Political Biography”). Menariknya, modus operandi bisnis lewat yayasan ini kemudian marak terjadi pada rejim Orde Baru.

1.2.  Tujuh Jenderal Pemeriksa

Ketika itu, KASAD A.H. Nasution tengah membentuk tim pemeriksaan untuk membersihkan jajarannya dari korupsi. Asisten KASAD A. Yani marah besar dengan kasus dugaan korupsi Kol. Soeharto. Dugaan korupsi itu kemudian ditangani oleh tim pemeriksa MBAD yang diketuai Suprapto dengan anggota S.Parman,MTHaryono, dan Sutoyo. Namun proses hukum dihentikan oleh Wakil KASAD Gatot Subroto.

Menariknya, enam jenderal yang memeriksa dugaan korupsi itu "kebetulan" sama dengan tujuh jenderal korban G30S. Hanya D.I. Panjaitan yang tak masuk dalam tim itu.

Akibat kasus tersebut, Kol. Soeharto dicopot jabatannya sebagai Pangdam Diponegoro, digantikan oleh Kol. Pranoto. Soeharto kemudian disekolahkan ke Seskoad di Bandung.

Ketika di Seskoad, Soeharto dicalonkan menjadi Ketua Senat. Namun D.I. Panjaitan menentangnya, mengingat latar belakang Soeharto yang kurang bersih dalam kasus dugaan korupsi dan penyelundupan itu.

Dengan demikian, lengkaplah tujuh jenderal yang menentang kasus korupsi Kol. Soeharto itu “kebetulan” sama dengan tujuh jenderal yang dijadikan target G30S. 

dokpri
dokpri

1.3.  Trio Intel

Catatan penting lainnya dari Kodam Diponegoro itu adalah terbentuknya trio intel Soeharto-Ali-Yoga. Soeharto (ketika itu Letkol) dinaikkan pangkat dan diangkat jadi Pangdam Siliwangi karena manuver Ali Murtopo dan Yoga Sugama menyabot Kol. Bambang Supeno, yang pengangkatannya hampir ditandatangani Presiden (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku Tentang G30S”).

Keterkaitan trio ini terus berlanjut. Ketika Soeharto menjabat sebagai Pangkostrad, ia menarik pulang Yoga Sugama dari tugasnya sebagai Atase Militer di Yugoslavia, dan mengangkatnya jadi Kepala Intelijen Kostrad. Menurut Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio, Soeharto sengaja membentuk jaringan intel sendiri untuk menyabot kebijakan-kebijakan Soekarno, antara lain soal Ganyang Malaysia yang akan dibahas pada butir 3.1 (Sabotase Petinggi Kanan).

Pangkostrad Soeharto/dokpri
Pangkostrad Soeharto/dokpri
Trio Soeharto-Ali-Yoga ini juga membentuk jaringan dengan Kol. George Benson, intel senior CIA yang ditempatkan sebagai penasehat civic action di Kedubes AS dari tahun 60an hingga 70an. Dari jaringan ini Ali-Yoga dapat memperoleh banyak informasi intelijen asing. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada butir 4 (Manuver CIA).

2. Segitiga PKI-AD-Soekarno

2.1. Realitas Politik

Sentra kekuatan politik pasca Dekrit Presiden 1959 bertumpu pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat (AD) dan Soekarno. Ketika itu, PKI adalah parpol legal dengan basis massa jutaan orang sampai ke pelosok-pelosok daerah. Kalkulasi politik saat itu, jika dilakukan Pemilu lagi setelah 1955, besar kemungkinan PKI akan menang. Oleh sebab itu Soekarno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Tak ada lagi Pemilu, antara lain untuk menjaga keseimbangan agar PKI tidak jadi besar sendirian.

Di sisi lain, AD sering mengirim perwira untuk belajar di AS dan menjalin koneksi di sana. Kondisi ini dipergunakan oleh Pemerintah AS untuk menciptakan agen-agen “pro-Barat” untuk melawan komunisme (Blok Timur). Untuk itu, AS memberi bantuan pelatihan, memberi sumbangan, menjual persenjataan, serta memberi bantuan keuangan (sumber: Dr. Peter Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Sukarno”, 1965-1967).

Satu-satunya kekuatan politik yang mencegah AD dan PKI saling cakar-cakaran adalah pilar ketiga, yakni Soekarno sebagai penyeimbang. Realitas politik saat itu membuat Soekarno, mau tidak mau, harus merangkul PKI, parpol yang kemungkinan besar akan menang jika ada pemilu. Di sisi lain, Soekarno jelas harus merangkul AD. Ia membutuhkan kedua kekuatan sayap kiri dan sayap kanan, yang merupakan realitas politik saat itu, untuk menjalankan misi-misinya, seperti New Emerging Forces (NEFO), Ganyang Malaysia, dll.

dokpri
dokpri

2.2. Jenderal Pro-Barat

Ketika itu, baik di AD, AU maupun AL, terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu golongan yang berorientasi kiri, tengah, dan kanan. Di AD, para pimpinan Komandonya kebanyakan kanan antikiri. Menpangad A.H. Nasution adalah “Golden Boy” AS yang dikenal gigih meyakinkan para pembesar di Washington tentang komitmennya melawan komunisme. Gabungan Kepala-kepala Staf AS memberi bantuan untuk AD pada 1958 sebagai dukungan agar Nasution dapat melaksanakan rencananya untuk mengendalikan kaum komunis (sumber: Scott, “United States and the Overthrow of Sukarno”, hlm 246).

Maka terjadilah peristiwa 1960 dimana AD haluan kanan, melalui Sukendro, memberantas PKI pada Juli-September 1960, yang berujung pada desakan perwira-perwira pro-Barat terhadap Nasution agar melakukan kudetapada Soekarno(sumber: CIA - Indonesia, 1965, hlm 190-191). Soekarno segera menghentikan gerakan ini, dan “mengasingkan” Sukendro selama 3 tahun untuk studi di University of Pittsburgh.

Sepak terjang Nasution yang “militan Barat” membuat Soekarno -- yang dikenal anti nekolim -- menjadi gerah. Presiden mengganti posisi Nasution sebagai Menpangad dengan A. Yani. Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI, yang hanya mengurus administrasi tanpa pasukan. Dengan kata lain, tahun 1962 Nasution masuk kotak, tapi tetapdimuliakan (naik jadi Ka Staf ABRI). Yani kemudian mengganti beberapa Pangdam yang pro-Nasution. Sejak itu, friksi yang tajam antara Nasution dan Yani diketahui banyak kalangan termasuk di luar AD (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku tentang G30S”).

Yani dikenal antikomunis. Ia pun dikenal pro-Barat, memiliki hubungan yang sangat erat dengan penasehat civic action Kol. George Benson (sumber: B. Evans, “Influence of the United States Army,” hlm 28-29). Tapi setidaknya, di mata Soekarno, Yani kooperatif dan tidak sefrontal Nasution. Yani dikenal loyal terhadap Soekarno, meski tak selalu sependapat dengan kebijakan-kebijakannya. Yani sering disebut-sebut sebagai "Jenderal Kesayangan Bung Karno".

2.3. Embrio “Dewan Jenderal”

Sekitar 1963, Menpangad Yani membentuk kelompok pemikir (kolega AS menyebutnya “brain trust”) yang terdiri dari Jend. Suprapto, Jend. Haryono, Jend. S. Parman, dan Jend. Sukendro yang ia tarik pulang dari “pengasingan” di AS. Mereka juga bertindak selaku “wanjakti” (istilah sekarang), menentukan kepangkatan di jajaran AD. “Kelompok rahasia” ini kemudian didesas desuskan orang sebagai “Dewan Jenderal(sumber: CIA, Indonesia – 1965).

Jika kita melihat susunannya, empat jenderal brain trust itu (termasuk Yani diluar Sukendro) sama dengan “Dewan Jenderal” target korban G30S. Tapi tidak menjawab pertanyaan mengapa Sutoyo, Panjaitan dan Nasution juga jadi target. Dan tidak menjawab pertanyaan mengapa Sukendro tidak jadi target.

3. Ganyang Malaysia

Peristiwa kunci yang menjadi triger G30S dan Supersemar, yang jarang disinggung kaitannya, adalah kebijakan Ganyang Malaysia. Memang Malaysia yang cari gara-gara duluan, melanggar perjanjian batas wilayah yang ditandatangani dengan Indonesia di Manila. Berbagai upaya damai lewat perundingan dilakukan RI, tapi tak digubris Malaysia. Soekarno berang dan menuding Malaysia sebagai boneka Inggris, antek nekolim.

3.1. Sabotase Petinggi Kanan

Di luar dugaan, dan mungkin tak banyak orang tahu, Komando AD -- yang sebelumnya sangat mendukung dan jadi Panglima dalam Pembebasan Irian Barat -- ternyata tidak mendukung kebijakan Ganyang Malaysia. Pasalnya, para jenderal pro-Barat tidak menghendaki perang dengan Inggris (sumber: Sundhaussen, “Road to Power”, hlm 188).

Tapi pembangkangan ini tak dilakukan terang-terangan. Di depan Soekarno, AD mendukung dan menempatkan Mayjen Soeharto sebagai Wakil Panglima Kolaga, di bawah Panglima Omar Dani.

Tapi di belakang Soekarno, AD melakukan sabotase yang meliputi dua hal: di lapangan dan di jalur diplomatik. Di lapangan, Soeharto selaku Wakil Panglima menentukan penempatan personil dan persenjataan untuk operasi Ganyang Malaysia. Sesuai misi sabotase dari MBAD, Soeharto memperlambat kegiatan pengiriman pasukan, membiarkan pasukan-pasukan di dekat perbatasan Malaysia terus menerus kekurangan personil dan perlengkapan, serta tidak diberi kapal-kapal pengangkut sehingga mereka tak dapat menyerbu Malaysia (sumber: Sundhaussen, “Road to Power”, hlm 189 dan J. A. MacKie, “Confrontation”, hlm 214).

Di jalur diplomatik, MBAD menugaskan Soeharto untuk mengirim agen-agen intel (koneksi Ali-Yoga) untuk menghubungi para pejabat tinggi Malaysia dan Inggris guna meyakinkan mereka bahwa AD tak menghendaki perang (sumber: ibid.).

3.2. Bantuan dari RRC

Di tengah percaturan Perang Dingin, RRC menawarkan bantuan peralatan militer kepada RI untuk 40 batalyon. Peralatannya lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Semua itu gratis dan tanpa syarat. Tawaran RRC disampaikan melalui jalur resmi diplomatik, yakni Menlu. Para pemimpin China sangat gembira ketika dikabari bahwa Bung Karno menerima tawaran tersebut, meski ia belum menentukan kapan direalisasikannya (referensi disini).

3.3. Keluar dari PBB

Kalangan Barat kuatir jika Malaysia jatuh ke tangan Indonesia. Peta kekuatan Barat-Timur di Asia Tenggara bisa berubah total. PBB membuat manuver politik dengan mengangkat Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini membuat Bung Karno marah dan memutuskan Indonesia keluar dari PBB tanggal 7 Januari 1965.

dokpri
dokpri

4. Manuver CIA

4.1. Skenario Presiden Boneka

Dubes AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, merupakan tokoh yang bersahabat karib dengan Soekarno. Adalah Dubes Jones yang mendekatkan Presiden Soekarno dengan Presiden J.F. Kennedy, yang akhirnya akrab secara ideologis maupun personal. Saking simpatinya, Dubes Jones menulis buku berjudul Indonesia The Possible Dream. Ia meyakinkan pihak AS bahwa Soekarno masih sangat dicintai dan memiliki legitimasi yang kuat di Indonesia. Upaya mendongkel Soekarno lewat cara-cara kasar seperti yang terjadi tahun 1960 lewat Sukendro-Nasution tak akan berhasil.

Buku “Indonesia The Possible Dream” karya Dubes Howard Jones
Buku “Indonesia The Possible Dream” karya Dubes Howard Jones
Maret 1965, Dubes Jones mengusulkan, agar dapat berhasil di Indonesia, kudeta harus diberi kedok yang sebaliknya: usaha untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. AD harus tampil sebagai penyelamat Soekarno dan bukan sebagai penggali kuburnya. Dewan Keamanan Nasional AS memahami bahwa pemberantasan PKI harus “bisa dibenarkan secara politik dari sudut kepentingan Indonesia sendiri" (sumber: “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of Mission Conference, Baguio, Filipina).

Dari situ timbul ide untuk pura-pura menyelamatkan Soekarno dan kemudian mendudukkannya sebagai presiden boneka, mengingat Proklamator itu masih dicintai rakyatnya.

4.2. Skenario “Kudeta Gagal”

Sampai bulan April 1965, Dubes Jones sendiri meragukan bahwa PKI akan melakukan kudeta (agar ada alasan bagi AD untuk memberantasnya). “PKI berada dalam posisi yang terlalu baik lewat taktik kerjasamanya dengan Soekarno dewasa ini,” katanya (sumber: ibid.).

Strategi kemudian berkembang jadi skenario “kup PKI prematur” yang “sengaja dirancang untuk gagal” sehingga memberi “kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan PKI dan membuat Soekarno sebagai tawanan niat baik AD” (sumber: Neville Maxwell, peneliti Inggris, Journal of Contemporary Asia 9 no. 2, 1979).

4.3. Ganti Dubes

Juli 1965, Dubes Jones yang dekat dengan Soekarno diganti dengan Dubes Marshall Green, Top Executive CIA di bidang subversif. Sebelumnya, Green ditugaskan di Korsel dan sukses membantu kudeta militer Jenderal Park Chung Hee. Green diberi wewenang untuk bersikap lebih keras terhadap Soekarno.

Seiring dengan itu, AS menjalankan “low-posture policy” dengan mengurangi peran intelijen mereka, termasuk pengurangan personil Kedubes AS besar-besaran, sebagai antisipasi kemungkinan chaos dan demonstrasi, sekaligus agar rencana konflik AD dengan PKI tampak seperti persoalan domestik (sumber: Bunnel, “American Low-Posture Policy, hlm 50).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AS memang merancang skenario “kudeta komunis yang gagal” agar ada alasan bagi AD untuk menyerang PKI. Tapi belum sampai pada detail action plan. Tak sulit membayangkan bahwa ide tentang “kudeta gagal” -- yang gencar disosialisasikan oleh Dubes Jones di kalangan diplomat asing itu -- juga disalurkan ke aliansi lokal lewat penasehat civic action, Kol. George Benson, figur yang dihormati dan dikagumi ibarat mentor bagi para perwira intel, termasuk Ali-Yoga.

Artikel mengenang Kol. George Benson, ditulis oleh Jusuf Wanandi/dokpri
Artikel mengenang Kol. George Benson, ditulis oleh Jusuf Wanandi/dokpri
Setelah itu, CIA mengurangi perannya lewat taktik “low-posture policy”. Sehingga, seluruh rentetan peristiwa sejak Juli s.d. 31 Oktober 1965 adalah murni gerakan lokal ibarat “bola liar”. Dari berbagai data yang tersedia, CIA tidak merancang detail sampai bagian yang paling sulit: isu apa yang bisa membuat PKI mau lakukan kudeta

5. Isu Dewan Jenderal

5.1. Angkatan Kelima

Kembali pada situasi Konfrontasi. Seperti telah dikemukakan pada butir 3.1, pimpinan Komando AD tidak mendukung operasi Ganyang Malaysia, disebabkan para elite yang pro-Barat tak ingin perang dengan Inggris. Meski secara formal mendukung, namun di lapangan justru menyabot, serta membina relasi intel dengan pemerintah Inggris dan Malaysia.

Karena kurangnya dukungan AD terhadap Ganyang Malaysia, serta melihat tawaran bantuan peralatan militer dari RRC seperti diuraikan pada butir 3.2, Soekarno bermaksud membentuk “Angkatan Kelima”. Ia sebenarnya tak pernah menjelaskan apa dan siapa yang dimaksud dengan Angkatan Kelima. Jika dilihat dari Surat Keputusan Presiden, tampaknya yang dimaksud Angkatan Kelima adalah pasukan sukarelawan, dari kalangan mana saja.

dokpri
dokpri
Namun, dalam suasana saling curiga antara 2 pilar kekuatan AD dan PKI, pihak AD berkesimpulan bahwa Angkatan Kelima adalah buruh dan tani yang dipersenjatai RRC. Hal ini yang kemudian, di era Orde Baru, berkembang jadi pemutusan hubungan diplomatik dengan RRC, dilanjutkan dengan diskriminasiWNI keturunan Cina menjadi “warga kelas dua”: nama harus diganti, KTP ditandai, karir di birokrasi dibatasi, hari raya tak boleh dirayakan, dll. Diskriminasi yang terus berlanjut selama puluhan tahun di rejim Orba.

Padahal sebenarnya, RRC tidak “diam-diam mempersenjatai PKI”, melainkan menawarkan bantuan peralatan militer kepada pemerintah RI secara resmi lewat jalur diplomatik (Menlu). Penggunaanya untuk operasi Ganyang Malaysia, bukan untuk kudeta atau perang saudaradengan AD. Jumlah persenjataannya juga untuk 40 batalyon saja, bukan untuk jutaan orang seperti yang kemudian dipropagandakan.

Menpangad Yani menolak pembentukan Angkatan Kelima. Hubungan AD semakin merenggang dengan Presiden. Sementara, di sisi lain, friksi ini membuat PKI jadi semakin merapat ke Presiden. Dari situ timbul isu adanya “beberapajenderalyangtidak puas dengan Presiden akan melakukan kudeta”. Isu ini menyulut kubu pro-Soekarno, baik di kalangan PKI, angkatan militer lain, termasuk faksi perwira-perwira AD yang pro-Soekarno.

Ketidaksukaan kelompok kiri terhadap kelompok kanan bahkan sampai ke masalah pribadi. Mereka menyoroti gaya hidup Yani cs yang mereka anggap kebarat-baratan dan borjuis. Sehingga, timbul istilah “kabir” (kapitalis birokrat). Juga sebutan-sebutan kebencian lain seperti “jenderal antek CIA” yang akan “menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi”. Dari situlah isu “Dewan Jenderal” menjadi panas.

5.2. Dokumen Gilchrist

Bersamaan dengan itu, terbit apa yang disebut sebagai Dokumen Gilchrist. Sir Andrew Gilchrist adalah Dubes Inggris sekaligus agen British Special Operations Executive. Pada sebuah demo di rumah Bill Palmer (agen CIA), ditemukan telegram dari Gilchrist bahwa Pemerintah Inggris akan menggulingkan Soekarno lewat our local army friends.

Sir Andrew Gilchrist/dokpri
Sir Andrew Gilchrist/dokpri
Dokumen tersebut kemudian sampai di meja Kepala Badan Pusat Intelijen Dr. Soebandrio, diantar oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas dan alamat.

Sebenarnya, jika diteliti, besar kemungkinan dokumen Gilchrist itu palsu. Ada beberapa grammatical error yang elementer, yang tampaknya mustahil ditulis oleh seorang diplomat ulung yang piawai memainkan kata seperti Sir Andrew Gilchrist. Dari tatabahasanya, terlihat bahwa yang menulis "dokumen Dubes Inggris" itu bukan orang Inggris.

Salinan dokumen Gilchrist. Tanda (sic) di tempat grammatical error/dokpri
Salinan dokumen Gilchrist. Tanda (sic) di tempat grammatical error/dokpri
Kejanggalan kedua, dokumen itu ditemukan bukan hasil kelihaian intel pemerintah, melainkan ditemukan oleh demonstran (dimana banyak orang punya kesempatan untuk menyusupkannya). Ketiga, dokumen itu diantar ke meja Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio oleh kurir yang tak jelas. Sangat mencurigakan sebenarnya.

Namun Soebandrio percaya dan membawa dokumen Gilchrist ke Presiden. Menurutnya, Presiden kaget membaca dokumen yang provokatif itu. Soekarno berkali-kali menanyakan, apakah dokumen itu asli. Kepala Badan Pusat Intelijen itu mengatakan bahwa ia telah mengecek lewat intel-intelnya dan meyakini bahwa dokumen itu asli. Soekarno kemudian memanggil jajaran tinggi angkatan bersenjatanya. Semua hadir, kecuali Menpangau Omar Dani yang tengah bertugas di front Malaysia.

Tanggal 22 Mei 1965, di rapat Presiden dengan para Panglima itu Menpangad Yani menjelaskan bahwa memang ada yang disebut dengan Dewan Jenderal, tapi untuk urusan penilaian kepangkatan, bukan untuk kudeta. Hal ini mengacu pada kelompok brain trust CIA yang dijelaskan pada butir 2.3.

5.3. Pemicu Penculikan Dewan Jenderal

Melihat besarnya kemungkinan bahwa Dokumen Gilchrist itu palsu, bisa disimpulkan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah taktik disinformasi. Provokasi subversif semakin bertambah, lewat isu bahwa Soekarno sakit keras, untuk menimbulkan suasana genting seolah Dewan Jenderal akan kudeta pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Tanggal 26 September 1965 beredar isu adanya rekaman suara rapat Dewan Jenderal. Dikatakan bahwa rekaman itu adalah hasil rapat Dewan Jenderal di Akademi Hukum Militer tanggal 21 September 1965, berisi susunan Kabinet Dewan Jenderal setelah mengkup Soekarno tanggal 5 Oktober 1965. Isi Kabinet tersebut, antara lain A.H. Nasution (Perdana Menteri), A. Yani (Waperdam/Menhan), M.T. Haryono (Menlu), Suprapto (Mendagri), S. Parman (Menkeh), dll.

Supaya lebih panas, disebut-sebut bahwa yang baca rencana susunan Kabinet pasca kup 5 Oktober di rekaman itu adalah “suara Jend. S. Parman”. Digosok lagi isu bahwa rekaman itu sudah sampai ke tangan Presiden.

Yang membawa rekaman suara itu adalah Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang  dari IPKI.

Sebenarnya, jika dipikir dengan jernih, bagaimana mungkin rekaman rapat rahasia Dewan Jenderal berisi rencana kudeta dibawa-bawa oleh 4 orang sipil. Mengapa pula Dewan Jenderal rapat rahasia di Akademi tempat prajurit belajar. Belum lagi susunan Kabinetnya, berisi jenderal AD semua seolah tak memikirkan realitas politik di Indonesia. Tapi panasnya suhu politik saat itu, tampaknya, membuat banyak pihak begitu mudah dikompori.

Isu rekaman suara ini terungkap di Mahmilub nantinya, namun barang buktinya tak pernah ada. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa rekaman suara Dewan Jenderal ini pun palsu. Rekaman yang diedarkan tanggal 26 September itu adalah pemicu terakhir untuk provokasi berikutnya: culik Dewan Jenderal, sebelum kup tanggal 5 Oktober.

Di persidangan Mahmilub terungkap pula bahwa rencana awalnya Dewan Jenderal itu ditangkap untuk dihadapkan ke Presiden. Keputusan nantinya diserahkan ke Presiden. Semacam tekanan politik berbau anarkis seperti peristiwa penculikan Rengasdengklok untuk minta ketegasan Soekarno-Hatta lakukan Proklamasi. Menurut para saksi pelaku di Mahmilub, rencana awalnya adalah menculik hidup-hidup, bukan rencanapembunuhan jenderal(sumber: Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, tanggal 7 Juli 1967).

6. Provokasi Double Agent

6.1. Syam Kamaruzzaman

Taktik provokasi subversif itu sukses dilaksanakan oleh Syam Kamaruzzaman. Ia dikenal sebagai intel Biro Chusus PKI yang memiliki banyak akses ke AD. Atau sebaliknya, ia adalah intel AD yang disusupkan ke PKI. Dalam Sidang Mahmilub Brigjen Supardjo tanggal 24 Februari 1967 terungkap kesaksian bahwa Syam adalah "wakil PKI" sekaligus "intel tentara" yang punya kartu identitas tentara.

Syam Kamaruzzaman, double agent PKI dan TNI/dokpri
Syam Kamaruzzaman, double agent PKI dan TNI/dokpri
Syam sebelumnya adalah kader PSI pimpinan Sutan Syahrir. Syam dibina oleh Djohan Sjahroezah (paman Sjahrir), yang pada waktu bersamaan juga berhubungan dengan Letkol Soeharto yang ketika itu sering berkunjung ke rumahnya di Yogya (sumber: Prof. W.F. Wertheim, Who’s Plot? New Light on the 1965 Events, hlm 205).

Syam mengenal Aidit tahun 1950, ketika ia membantu Aidit tampil ke publik di Tanjung Priok, setelah Aidit (seolah-olah) pulang dari Vietnam pasca pemberontakan PKI 1948. Diluar itu, Syam adalah tokoh yang tidak dikenal. Ia tak pernah muncul dalam rapat pimpinan PKI.

Sementara, di persidangan Mahmilub, Syam selalu mengatakan bahwa dialah pemimpin G30S. Menjadi pertanyaan, jika Syam adalah elite partai yang dipercaya memimpin gerakan penting seperti G30S, mengapa ia tak dikenal oleh sebagian besar anggota partai lainnya? Mengapa ia begitu gampang “bernyanyi” memberikan info-info kepada AD, sehingga bisa dengan mudah menangkap orang-orang yang dituduh PKI?

Perilakunya selama mendekam 19 tahun di tahanan juga sangat mencurigakan. Syam mendapat perlakuan istimewa dari para interogator AD, tak pernah disiksa seperti tapol lainnya. Di harian Le Monde edisi 18 Februari 1967, wartawan Prancis yang mewawancarai Syam mengatakan bahwa perilaku Syam sangat mencurigakan ("highly dubious"), lebih mirip sebagai agen provokator ketimbang organisator partai.

Hal itu sejalan pula dengan kajian Prof. Wertheim, peneliti sejarah dari University of Amsterdam. Menurutnya, Syam lebih condong sebagai orang militer yang disusupkan ke PKI, untuk memainkan peran sebagai provokator dalam sebuah "aksi yang direncanakan untuk gagal".

Syam ibarat pisau bermata ganda, melancarkan taktik provokasi subversif untuk "tangkap duluan Dewan Jenderal sebelum kudeta". Kepada elite PKI, ia mengaku dapat dukungan tentara. Sebaliknya, kepada perwira AD pro-Soekarno, ia mengaku didukung penuh oleh PKI.

6.2. Perwira G30S

6.2.1. Letkol Untung

Di kalangan AD, yang paling serius termakan provokasi tangkap Dewan Jenderal adalah Letkol Untung, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang bertugas mengawal Presiden. Letkol Untung adalah alumni Kodam Diponegoro yang dikenal dekat dengan Soeharto. Mereka sama-sama bertugas di Irian Barat 1962, dimana Untung berperang di garis depan dalam Komando Mandala yang dipimpin Soeharto.

Keberanian Untung dalam perang melawan Belanda di Irian Barat 1962 sampai ke telinga Presiden. Soekarno memberinya Bintang Penghargaan. Letkol Untung adalah bagian dari dua kompi Banteng Raiders Kodam Diponegoro yang ditempatkan di Tjakrabirawa.

Kedekatan Untung dan Soeharto secara pribadi terlihat ketika Untung menikah di Kebumen tahun 1964. Soeharto dan istri datang jauh-jauh dari Jakarta ke kota kecil itu, meski kondisi jalan saat itu sangat tidak memadai. Hal ini sempat mengundang keheranan di kalangan perwira, termasuk pimpinan Tjakrabirawa. Perkawinan Untung di kota kecil yang jauh itu dihadiri Pangkostrad, padahal tak satu pun anggota Tjakra yang hadir.

6.2.2. Lettu Dul Arief

Perwira Kawal Istana di bawah Untung yang juga termakan isu Dewan Jenderal adalah Lettu Dul Arief, Komandan Peleton Tjakrabirawa. Dul adalah juga alumni Kodam Diponegoro, yang dulu dipimpin trio Soeharto-Ali-Yoga. Yang mengejutkan, menurut investigasi Tempo, Dul adalah anak angkat Ali Murtopo.

Tokoh intel Ali Murtopo, bapak angkat Dul Arief/dokpri
Tokoh intel Ali Murtopo, bapak angkat Dul Arief/dokpri

6.2.3. Kol. A. Latief

Diluar Tjakrabirawa, perwira AD yang termakan provokasi "kup Dewan Jenderal" adalah Kol. Latief, Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya, di bawah Pangdam Umar Wirahadikusumah. Latief adalah sahabat dekat Soeharto, teman seperjuangan waktu peristiwa Tan Malaka 1946, dan sama-sama alumni Kodam Diponegoro.

Istri Latief juga dekat dengan istri Soeharto. Tanggal 29 September 1965, Latief dan istri sempat berkunjung ke rumah Soeharto dan istri untuk menawarkan tukaran rumah dinas. Kebetulan Latief dapat rumah dinas bekas dubes Inggris, yang lebih bagus dari rumah dinas Pangkostrad. Ia ingin Soeharto tinggal di rumah dinasnya yang lebih bagus, dan rela pindah ke rumah dinas Soeharto yang lebih sederhana (sumber: Latief, Pledoi Kol. A.Latief, hlm 282).

6.2.4. Brigjen Supardjo

Perwira AD lain yang terlibat adalah Brigjen Supardjo. Ia adalah Panglima Komando Tempur II Konfrontasi Malaysia di Kalimantan, di bawah Panglima Menpangau Omar Dani dan Wakil Panglima Mayjen Soeharto. Supardjo merasa kecewa dengan sebagian elite ADyangpro-Barat, karena merasa pasukannya ditelantarkan di medan perang akibat petinggi AD pro-Barat tidak mendukung "Ganyang Malaysia". 

6.2.5. Mayor Suyono

Perwira AU yang jadi pimpinan G30S adalah Mayor Suyono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) Halim. Ia terlibat penuh sebagai kader PKI, sebagai pribadi diluar jalur komando resmi TNI AU. Suyono memimpin latihan kemiliteran untuk sekitar 2.000 sukarelawan binaan PKI di Lubang Buaya(sumber: Katoppo, “Menyingkap Kabut Halim 1965”).

Suyono ikut G30S direkrut oleh Syam. Suyono memperkenalkan Syam dengan Letkol Untung dan Kol. Latief. Tanggal 30 September malam, atas perintah Syam, Suyono membawa Aidit ke Halim (sumber: Transkrip Mahmilub tanggal 7 Juli 1967, Kesaksian Syam untuk perkara Sudisman).

6.3. Penyebab Perwira Ikut G30S

Menurut pengakuan Supardjo, ia datang ke Jakarta untuk menghadap Presiden tanggal 3 Oktober bersama Omar Dani, guna mengantisipasi kup Dewan Jenderal yang ketika itu santer isunya akan dilakukan pada Hari ABRI 5 Oktober. Menurut Laporan CIA, Soekarno sendiri memang kemungkinanpercaya dengan isu kup Dewan Jenderal itu (sumber: Intelligence Memorandum, Washington, October 6, 1965, OCI No. 2330/65).

Supardjo datang ke Jakarta dari front Malaysia di Kalimantan tanggal 28 September 1965. Ia langsung bertemu dengan Syam Kamaruzzaman. yang sering memberinya info-info intelijen. Pada pertemuan itu, Syam mengatakan ia bermaksud untuk menculik Dewan Jenderal dan menghadapkannya ke Presiden untuk diambil tindakan. Syam mengaku bahwa rencananya didukung oleh PKI (sumber: Dokumen Supardjo, "Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja G-30-S Dipandang dari Sudut Militer").

Syam meminta Supardjo untuk jadi jurubicara G30S ke Presiden. Pangkopur front Malaysia itu baru datang ke Jakarta tanggal 28 September dan tak pernah bertemu pimpinan PKI membahas G30S. Ia hanya dengar dari mulut Syam, dan Supardjo percaya penuh padanya.

Informasi yang didapat dari "Dokumen Supardjo" ini cukup menarik. Tak ada jenderal yang mau menghadap Presiden untuk lapor bahwa ia baru membunuh para jenderal atasannya. Sebelum Hari-H, persepsinya adalah “menculik para jenderal hidup-hidup” untuk “dihadapkan ke Presiden”, dimana Supardjo diminta jadi jurubicara mereka. Persepsi tentang menculik hidup-hidup ini sejalan dengan kesaksian Syam di Mahmilub tanggal 7 Juli 1967 seperti yang telah dikemukakan di atas.

Seperti telah dikemukakan, Pangkopur Supardjo memang kecewa dengan para jenderal pro-Barat yang dia anggap sengaja menelantarkan pasukannya di front Konfrontasi Malaysia. Ia pun percaya dengan isu kup Dewan Jenderal tanggal 5 Oktober, yang membuatnya pulang ke Jakarta tanggal 28 untuk menemui Presiden tanggal 3 Oktober. Tampaknya Supardjo mendukung gerakan untuk menghadapkan para jenderal itu ke Presiden yang disampaikan oleh Syam.

Supardjo menulis bahwa ia bersedia ikut G30S karena ia pikir didukung oleh PKI, seperti kata Syam. Saat itu, PKI adalah parpol legal terbesar dengan basis massa jutaan orang. Ia pikir, PKI sebagai parpol yang terorganisir pasti telah memiliki rencana yang matang soal ini. Oleh sebab itu, Panglima Komando Tempur itu kaget sekali nantinya melihat operasi G30S sangat tidak terencana. Dan dukungan PKI yang dikatakan Syam ternyata tak ada sama sekali. Hal ini akan kita bahas pada butir 9.1 (Kacau Balau di Lapangan).

Supardjo adalah satu-satunya pelaku militer yang menceritakan alasan mengapa ia bersedia mengikuti G30S, lewat dokumen yang dia tulis sebelum ditangkap dan disiksa. Penjelasannya mungkin dapat menjadi petunjuk tentang alasan mengapa para perwira militer yang lain -- seperti Untung, Latief dan Suyono -- juga bersedia ikut.

Untuk diketahui, pada pengakuan para pelaku yang diberikan setelah ditangkap, seperti laporan interogasi Latief tanggal 25 Oktober 1965, Latief mengaku mengikuti perintah-perintah PKI. Ia dipenjara di sel isolasi selama 13 tahun tanpa disidangkan. Ketika disidang tahun 1978, dalam pembelaannya ia mengatakan pengakuannya tahun 1965 itu dibuat dalam keadaan setengah sadar akibat infeksi luka tusukan bayonet di kakinya. Banyak bekas tapol yang ditahan di Salemba ingat bahwa sel isolasi Latief menyebarkan bau menyengat dari daging yang membusuk. Luka pada kakinya mengakibatkan Latief menjadi pincang seumur hidup(sumber: Latief, "Pledoi Kol. A. Latief", hlm 54-59).

Dalam persidangan-persidangan Mahmilub kemudian, Latief dan Untung bersikeras menyangkal laporan-laporan interogasi mereka bahwa mereka bertindak karena disuruh oleh PKI. Untung menyatakan, ia tak punya hubungan dengan PKI, dan bahwa Untung dan Latief lah -- sebagai perwira militer-- yang memulai G30S. Menurut keterangan Untung di Mahmilub, PKIdiajak ikut serta sebagai tenaga bantuan(sumber: "Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung, hlm 35-37).

6.4. Keterlibatan PKI

6.4.1. Dukungan Politik

Keterlibatan PKI dalam G30S dimulai tanggal 28 Agustus 1965, ketika Aidit menjelaskan dalam rapat Politbiro bahwa ada sebuah “klik perwira progresif” (maksudnya perwira pro-Soekarno) sedang merancang “suatu aksi menentang Dewan Jenderal” (tak disebut apa bentuknya) dan bahwa “partai akan memberi dukungan politis(sumber: Subekti, “Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia”, hlm 9).

Dari pernyataan itu, terlihat bahwa Aidit mendengar rencana G30S, rancangannya dibuat oleh “perwira progresif” (bukan dirancang oleh partainya), dan meminta Politbiro PKI untuk memberi “dukungan politis” nantinya. Menurut Subekti, panitera Politbiro PKI, Aidit meminta dukungan politis Politbiro atas permintaan Syam (sumber: Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI”, hlm 2).

Selama persidangan di Mahmilub, kesaksian seluruh pengurus PKI seperti Njono (Cabang Jakarta), Subekti (panitera Politbiro), Sudisman (Ketua Dewan Harian Politbiro) senada dengan kesaksian para perwira militer seperti Untung dan Latief: bahwa G30S adalah operasi oknum militer dan PKI bersifat memberi dukungan.

6.4.2. Diluar Politbiro

Setelah rapat itu, Aidit sama sekali tak pernah rapat satu kalipun selama bulan September. Padahal biasanya dalam sebulan ia rapat 3-4 kali. Menurut Subekti, hal itu menunjukkan bahwa Aidit bertindak sendiri bersama Syam di luar pengawasan Politbiro (sumber: Subekti, “Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia,” hlm 11).

Syam sendiri di Mahmilub mengatakan bahwa "Biro Chusus" PKI yang diketuainya tidak ada dalam struktur partai. Bahkan Hakim Mahmilub sempat bertanya apakah dengan begitu artinya Biro Chusus itu illegal. Syam menjawab "illegal tapi tidak dalam arti negatif, karena biro itu dibentuk oleh Aidit" (sumber: Transkrip Mahmilub tanggal 7 Juli 1967, Kesaksian Syam untuk perkara Sudisman).

Syam selalu mengaku bahwa semua yang terjadi pada peristiwa G30S itu atas perintahnya, sambil mengklaim bahwa Aidit yang perintahkan. Syam leluasa melempar semua kesalahan pada Aidit, karena Ketua PKI itu sudah dibunuh duluan bulanNovember 1965 tanpa pengadilan.

Dari limaKetua Dewan Harian Politbiro, yang empat -- Aidit, Njoto, Lukman, Oloan -- semuanya dibunuh tanpa diadili. Hanya Sudisman yang diadili. Tentu normal jika kita berpikir PKI pasti bohong dan bilang apa saja di Mahmilub untuk menyelamatkan dirinya supaya dapat keringanan hukuman. Ternyata, satu-satunya Ketua PKI yang diadili itu justru mengajukan pernyataan yang mengejutkan:

“Walaupun saya tidak ikut menyusun komposisi Dewan Revolusi,tidak berada di Halim, Lubang Buaya atau Pondok Gede baik di sekitar maupun pada saat dicetuskannya G30S, tapi karena semua perbuatan itu adalah perbuatan oknum-oknum anggota PKI, maka saya ambil oper tanggungjawabnya.” (sumber: Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, tanggal 7 Juli 1967).

Dengan kata lain, dia mengaku bahwa kawan-kawannya terlibat. Dia tahu Ketua PKI yang lain dibunuh tanpa diadili. Dia tahu bahwa dirinya pasti akan dihukum mati. Tapi, secara organisasi, dia tetap bilang bahwa G30S adalah “perbuatan oknum-oknum anggota PKI” (karena diluar keputusan Politbiro), sambil memikul tanggungjawab kawan-kawannya yang sudah dibunuh, yang sudah pasti membuatnya dijatuhi vonis hukuman mati.

6.4.3. Anggota yang Terlibat Langsung

Anggota PKI yang terlibat langsung dalam operasi G30S di Halim adalah Syam dan Pono. Hanya mereka berdualah orang berpakaian sipil di tengah-tengah pasukan militer di Halim (sumber: Dokumen Supardjo, "Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja G-30-S Dipandang dari Sudut Militer").

Di luar operasi militer, anggota PKI yang terlibat adalah Njono. Ia mengerahkan bantuan sukarelawan untuk mendukung G30S, tanpa memberitahu apa konsekuensinya. Njono sendiri bersaksi bahwa tenaga sukarelawan itu untuk membantuputsch(perebutan kepemimpinan militer) di tubuh AD (sumber: Laporan Intelijen Australia, Desember 1965, dikutip dalam Easter, "Keep the Indonesian Pot Boiling").

6.4.4 Keberadaan Aidit di Halim

Adalah Syam yang membawa Aidit ke Halim, dan memerintahkan Mayor Suyono untuk menjemputnya (sumber: Kesaksian Syam di Mahmilub tanggal 7 Juli 1967 perkara Sudisman). Aidit kemudian mengajak 3 pembantunya, Kusno (aspri); Subekti (panitera merangkap sekpri); dan Bono (Biro Chusus PKI). Mereka disembunyikan di rumah Sersan Suwandi yang berjarak sekitar 800 meter terpisah dari Gedung Penas yang dijadikan markas oleh kelima pimpinan G30S. Aidit tak pernah ikut rapat dengan pemimpin G30S. Ia hanya mendapat laporan dari Syam yang terlihat bolak-balik menemuinya (sumber: Prof. John Roosa, Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002, Jakarta).

Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan. Jika Aidit Ketua PKI itu adalah dalang dan pemimpin G30S, mengapa ia tak pernah memimpin rapat G30S yang berada di satu lokasi? Mengapa tak ada elite partai yang ikut -- hanya mengajak aspri; sekpri dan Biro Chusus yang tak ada dalam struktur partai? Mengapa ia disembunyikan di rumah yang terpisah jauh, sehingga para perwira G30S tak pernah bertemu dengannya? Mengapa Syam yang membawanya ke Halim, dan bukan sebaliknya?

Disitulah kelihaian pelintiran double-agent. Kepada perwira G30S bilang didukung PKI, kepada Ketua PKI bilang didukung perwira. Sementara, kedua pihak tak pernah bertemu langsung.

Prof. Wertheim -- serta Ben Anderson dan McVey penulis Cornell Paper -- juga mencoba menjawab teka teki ini. Mereka sependapat bahwa Aidit, Subekti dan Bono adalah korban penipuan, untuk menimbulkan kesan bahwa G30S didalangi PKI. Tapi ia bukan ditipu oleh para perwira pemimpin G30S (Untung dan Latief), melainkan ditipu oleh “dalang sesungguhnya” lewat agen ganda mereka, Syam.

Analisis para akademisi Barat itu tampaknya sejalan dengan apa yang dikatakan Soekarno dalam pidato Nawaksara, bahwa G30S terjadi akibat “1)keblingernya pimpinan PKI” (Aidit cs ada di TKP) sehingga terjebak dalam “2) kelihaian subversi nekolim” (“the real dalangs” istilah Wertheim).

7. Persiapan G30S di Halim

7.1. Dokumen Supardjo

Sumber informasi yang menarik untuk disimak adalah Dokumen Supardjo berjudul "Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja G-30-S Dipandang dari Sudut Militer". Itu semacam analisis postmortem (pasca kejadian), merekam detik-detik kejadian di TKP yang dibuat oleh seorang Panglima Komando Tempur yang hadir disitu.

Dokumen Supardjo belum lama ini "ditemukan" oleh Prof. John Roosa di tumpukan arsip Mahmilub yang disimpan di Museum Satria Mandala. Menurut Profesor Sejarah dari University of British Columbia itu, Dokumen Supardjo adalah satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh saksi pelaku G30S sebelum tertangkap. Sehingga, dokumen ini memiliki bobot akurasi dan kejujuran yang tinggi, karena dibuat tanpa tekanan, siksaan atau rekayasa propaganda. Detail dari peristiwa aktual yang terjadi di lapangan berdasarkan dokumen ini akan kita bahas pada bab-bab berikut.

7.2. Lima Pimpinan G30S

Tanggal 28 dan 29 September, Supardjo diskusi berdua Syam. Tanggal 30 September malam, ia pergi lagi ke tempat Syam, dan berangkat sama-sama ke Halim untuk memulai operasi. Setibanya di Halim, Supardjo melihat ada lima pimpinan G30S. Tiga dari militer (Letkol Untung, Kol. Latief, Mayor Suyono Komandan Resimen Pertahanan Halim), dan dua dari PKI (Syam dan Pono).

Pasukan militer yang ada disitu adalah 1 kompi pasukan Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung; 2 peleton dari Garnisun pimpinan Kol. Latief; dan 1 batalyon pasukan AU pimpinan Mayor Suyono. Semuanya militer kecuali 2 orang sipil dari PKI itu, Syam dan Pono. Tak ada anggota atau pimpinan PKI yang lain. Oleh sebab itu, Supardjo berasumsi bahwa G30S adalah operasi militer, yang dihadiri oleh 2 orang sipil PKI.

Ia melihat dari kelima pimpinan G30S itu (Untung, Latief, Suyono, Sam dan Pono), yang paling dominan memimpin adalah Syam. Supardjo heran, bagaimana ada operasi militer tapi dipimpin oleh orang sipil.

7.3. Penentuan Target Operasi

Kesaksian lain disampaikan oleh Serma Boengkoes, anak buah Lettu Dul Arief dan sama-sama alumni Kodam Diponegoro. Briefing dilakukan jam 15.00. Disebutkan ada sekelompok jenderal yang akan kudeta terhadap Presiden. Para anggota pasukan percaya dengan isu itu, karena disampaikan oleh komandannya langsung, yang sudah mereka kenal lama sejak di Kodam Diponegoro.

Setelah diberikan pengarahan, para prajurit pelaksana merasa situasi saat itu sangat gawat. Sebagai pasukan Kawal Istana, tugas mereka adalah mengamankan Presiden, termasuk dari upaya kudeta. Dewan Jenderal akan kup tanggal 5 Oktober dan harus ditangkap. Seingat Boengkoes, yang memerintahkan penculikan jenderal itu jadi "hidup atau mati" adalah Lettu Dul Arief, anak angkat Ali Murtopo.

Lalu, pada dini hari pasukan Tjakra dibagi menjadi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Baru disitu terbuka siapa-siapa yang dimaksud dengan “Dewan Jenderal” itu, yakni Jend. A.H. Nasution (KSAB); Letjen A. Yani (Menpangad); Mayjen R. Soeprapto (Deputi II Menpangad); Mayjen M.T. Haryono (Deputi III Menpangad); Mayjen S. Parman (Asisten I Menpangad); Brigjen D.I. Panjaitan (Deputi IV Menpangad); Brigjen Soetoyo (Inspektur Kehakiman AD).

8. Beberapa Kejanggalan

8.1. Mengapa Tujuh Jenderal Itu??

Melihat daftar tujuh jenderal yang dijadikan target operasi itu, ada lima pertanyaan logis yang sangat mendasar.

PERTAMA: Yani dan Nasution adalah dua kutub yang saling bertentangan. Di AD ada “kubu Yani” dan ada “kubu Nasution”. Setelah terjadi friksi tahun 1962, keduanya selalu menghindar upaya-upaya islah yang digagas TNI AD (referensi disini). Dari logika politik, aneh jika dua pucuk pimpinan yang saling bertentangan tiba-tiba kompak membentuk Dewan Jenderal untuk kudeta.

KEDUA: Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, Sutoyo dan D.I. Panjaitan adalah anggota SUAD (Staf Umum Angkatan Darat). Di bawah Yani, ada 11 jenderal anggota SUAD. Mengapa yang jadi target adalah 5 jenderal itu??

tabel Staf Umum Angkatan Darat sampai 1 Oktober 1965/dokpri
tabel Staf Umum Angkatan Darat sampai 1 Oktober 1965/dokpri
Dari ketiga Deputi, mengapa yang jadi target Deputi II (Suprapto) dan Deputi III (Haryono)? Kemudian, dari 7 Asisten Pangad, mengapa yang jadi target hanya S. Parman dan Panjaitan?

Mengapa Sutoyo jadi target, padahal ia hanya Oditur yang ngurusi kasus hukum militer, termasuk kasus korupsi perwira?

KETIGA: jika tujuan G30S adalah untuk kudeta di Jakarta, yang mustinya dijadikan target bukanlah 5 anggota SUAD yang tak punya pasukan. Secara logis, yang harusnya "diamankan" adalah komando yang punya pasukan dan/atau yang bisa mendatangkan pasukan, yakni Pangdam V Jaya dan Pangkostrad.

KEEMPAT: mengapa yang jadi target seluruhnya dari AD? Apakah ini coup d'état (=negara)? Ataukah putsch (perebutan pimpinan militer di tubuh AD akibat konflik faksi-faksi internal)?

KELIMA: ketujuh jenderal itu “kebetulan” sama dengan enam jenderal yang memeriksa dugaan korupsi Kol. Soeharto di Kodam Diponegoro tahun 1958 (referensi disini). Dan satu jenderal lagi, D.I. Panjaitan, “kebetulan” adalah yang membuka kasus tersebut dan menentang Soeharto ketika dicalonkan jadi Ketua Senat di Seskoad (referensi disini).

dokpri
dokpri

8.2. Laporan G30S ke Pangkostrad

Waktu sidang di Mahmilub, Kol. Latief bersaksi bahwa sebelum peristiwa G30S, ia dua kali bertemu dengan Pangkostrad Soeharto. Pertama, tanggal 29 September 1965 Latief beserta istri berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan H. Agus Salim. Ia menanyakan info mengenai rencana kup Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan. Soeharto menjawab bahwa ia sudah dengar sehari sebelumnya, dari anak buahnya di Yogya yang bernama Subagiyo. Ia mengatakan akan menyelidiki lebih lanjut (sumber: Latief, Pledoi Kol. A.Latief, hlm 129).

Pertemuan kedua terjadi tanggal 30 September malam, 4 jam sebelum penculikan jenderal (sebelum Latief bergabung ke Halim malam itu). Ia menemui Soeharto di RSPAD, yang saat itu tengah merawat anaknya (Tommy) yang ketumpahan sop. Menurut Latief, ia lapor karena menganggap Soeharto adalah loyalis Soekarno yang akan jadi salah satu pimpinan AD jika G30S berhasil dan Presiden menindak ketujuh jenderal yang diculik. Disamping itu, ia lapor mewakili Letkol Untung dan Brigjen Supardjo -- yang sebelumnya datang ke rumahnya malam itu dan memintanya lapor ke Pangkostrad, karena Latief dianggap yang paling dekat dengan Soeharto -- agar Soeharto dapat dimintai bantuan jika terjadi apa-apa (sumber: ibid.).

Soeharto sendiri mengakui pertemuan dengan Latief di RSPAD tanggal 30 September menjelang tengah malam itu. Tapi ucapannya tidak konsisten tentang apa tujuan Latief menemuinya.

Dalam wawancara dengan Arnold Brackman (jurnalis AS) tahun 1968, Soeharto mengatakan, “Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu, untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya.”

Pada kesempatan lain, ketika diwawancarai Der Spiegel tahun 1970, Soeharto bicaranya beda lagi, "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya. Tetapi akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena tidak berani melakukannya di tempat umum".

Kol. Latief tidak disidangkan selama 13 tahun. Selama itu, ia dibungkam dan ditempatkan di sel pengasingan. Alasan pemerintah, Latief tidak disidangkan karena sakit-sakitan. Padahal, sejak tertangkap kakinya ditusuk bayonet hingga membusuk dan pincang seumur hidup, akibat sengaja tidak diberikan pengobatan(sumber: ibid., hlm 54-59).

Ketika disidang tahun 1978, Latief menyatakan bahwa pernyataan Soeharto di Der Spiegel itu tak masuk akal. Jika ia bermaksud membunuh Soeharto di RSPAD, seluruh gerakan menculik 7 jenderal di rumah masing-masing pasti berantakan. Ia bersikeras bahwa malam itu ia melaporkan adanya gerakan untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal pagi itu, dan bahwa Soeharto sudah diberitahu pula sehari sebelumnya ketika Latief dan istri mengunjungi rumah Soeharto.

Tahun 1978 itu, Latief mengajukan permohonan pada Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat agar memanggil Presiden Soeharto dan Ibu Tien sebagai saksi a de charge(sumber: Eksepsi yang dibacakan oleh tertuduh Kol. Latief didepan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat, 5 Mei 1978). Namun, tentu saja, permohonan ditolak Mahmilti dengan alasan permohonan itu tidak relevan.

Alhasil, Kol. Latief adalahsatu-satunya perwira pemimpin G30S yang tidak divonis hukuman mati seperti pimpinan G30S yang lain.

Tentang laporan Latief kepada Soeharto sebelum pelaksanaan G30S itu, Prof. Wertheim menulis bahwa -- terlepas dari Soeharto terlibat atau tidak -- setidaknya Soeharto membiarkan peristiwa G30S terjadi. Sebab, setidaknya, dia dilapori tapi tak lapor pada atasannya (Yani dan Nasution). Pembiaran seperti itu disebut "conspiracy of silence".

8.3. Dua Batalyon Kostrad G30S

G30S sebenarnya terdiri dari dua gerakan: satu gerakan diam-diam dan tersembunyi di Halim untuk menculik para jenderal, satu lagi gerakan terang-terangan berupa dua batalyon AD yang menduduki Lapangan Merdeka dan RRI (untuk menyiarkan pengumuman radio keesokan paginya).

Sekitar seribu prajurit di dekat Istana Merdeka ini terdiri dari Batalyon 454 dari Jateng dan Batalyon 530 dari Jatim. Kedua pasukan G30S itu dengan nyaman berada di dekat Markas Kostrad dan Mabes AD, tanpa berusaha menduduki atau melumpuhkannya terlebih dahulu. Tampaknya, dua batalyon G30S itu menganggap Kostrad dan MBAD bukan musuhnya.

Denah lokasi penempatan dua batalyon G30S di tempat-tempat strategis di sekitar Istana dan Lapangan Merdeka/dokpri
Denah lokasi penempatan dua batalyon G30S di tempat-tempat strategis di sekitar Istana dan Lapangan Merdeka/dokpri
Baru sekitar tahun 1988 terungkap bahwa kedua batalyon dari Jateng dan Jatim pelaku G30S datang ke Jakarta atas perintah Pangkostrad Soeharto. Terungkap pula salinan perintah-perintah Kostrad yang asli, semuanya ditandatangani oleh Soeharto tanggal 21 September 1965, dengan alasan untuk parade Hari ABRI 5 Oktober. Disebut pula bahwa tanggal 30 September pagi hari, Soeharto sempat memeriksa kedua batalyon itu di tempat mereka berkemah (sumber: Indonesia Reports, Politics Supplement, no. 25, Agustus 1988).

Namun tak pernah terungkap, atas perintah siapa kedua komandan batalyon itu bergerak menduduki Lapangan Merdeka, sehari setelah dikunjungi Pangkostrad di perkemahannya.

9. Eksekusi G30S

9.1. Berantakan di Lapangan

Setelah bertemu Soeharto di RSPAD tanggal 30 September menjelang tengah malam itu, Latief pergi ke Halim. Supardjo datang bersama Syam. Supardjo memiliki posisi yang unik. Dia adalah "orang luar" (tak ikut perencanaan-perencanaan G30S sebelumnya) yang “ada di dalam” (hadir dan mengamati komando G30S). Supardjo tak bawa pasukan seperti yang dilakukan Untung, Latief dan Suyono. Tugas Supardjo, sesuai permintaan Syam, adalah menjadi jurubicara G30S ke Presiden setelah Dewan Jenderal itu ditangkap, untuk diambil tindakan oleh Presiden.

9.1.1. Tak Ada Komandan Tunggal

Disitu ia melihat 5 pemimpin G30S, yakni Untung, Latief dan Suyono (dari militer) serta Syam dan Pono (dari PKI). Sebagai petinggi militer (Panglima Komando Tempur II Kolaga), Supardjo kaget melihat persiapan di Halim. Tidak ada garis komando. Tidak ada komandan tunggal. Tidak jelas siapa pemimpin sesungguhnya. Kelima orang itu (Untung, Latief, Suyono, Syam dan Pono) sibuk berdebat sendiri, tak ada pengambil keputusan akhir.

Letkol Untung bingung, karena bantuan tentara dari Jateng dan Jatim ternyata banyak yang mengundurkan diri. Ia sempat bimbang untuk melanjutkan rencana. Syam lah yang memprovokasi, "Ya Bung, kalau mau revolusi pasti banyak yang mundur, tapi kalau sudah menang banyak yang mau ikut".

Kesaksian Supardjo ini sangat berbeda dengan penggambaran dalam film propaganda "Pemberontakan G30S", dimana seolah-olah G30S disusun dengan sangat rapih oleh para konspirator yang licik dan jahat sambil tak henti mengepulkan asap rokok di bibir yang hitam. Para pimpinan G30S justru bersikap sebaliknya: gelagapan, bingungdan berantakan.

Pembagian tugas regu penculik masing-masing jenderal juga sembarangan dan terkesan amatiran. Sempat berkali-kali ganti regu dan pimpinan. Sandi belum diputuskan, amunisi belum datang, pasukan AU datang terlambat. Tak ada Plan A & Plan B seperti lazimnya operasi militer. Akhirnya pasukan penculik menuju sasaran masing-masing sekitar jam 3.30 subuh. 

9.1.2. Hasil Penculikan

Jika melihat pembicaraan-pembicaraan sebelumnya antara Syam dan Supardjo, tujuan awal G30S adalah menculik para jenderal hidup-hidup untuk dibawa ke Presiden, dimana Supardjo jadi jurubicara mereka. Namun pelaksanaan di lapangan berantakanakibat kerjaamatiran. Akhirnya mereka kembali ke Halim dengan hasil yang membingungkan: 3 jenderal hidup, 3 jenderal tewas, 1 perwira salah tangkap.

Ironisnya, jenderal yang lolos justru pimpinannya, yakni Nasution. Padahal, pasukan yang bertugas menculik Nasution jumlahnya paling banyak, sekitar 100 orang dalam 4 truk, dibanding 19 orang untuk menculik Suprapto (sumber: Dokumen Supardjo).

9.1.3. Lapor ke Presiden

Paginya, setelah Supardjo pergi ke istana untuk lapor ke Presiden, 4 perwira yang masih hidup (Parman, Suprapto, Sutoyo dan Tendean) dibunuh di Lubang Buaya. Di persidangan Latief tahun 1978 yang menghadirkan Syam sebagai saksi, Syam mengaku bahwa dirinyalah yang memerintahkan penembakan para jenderal (sumber: Wertheim, Who’s Plot? New Light on the 1965 Events, hlm 207).

9.1.4. Perintah Penembakan

Ada hal yang menarik dari data ini. Semua perwira G30S, apalagi Supardjo yang ditugaskan jadi juru bicara ke Presiden, berpikir bahwa mereka rencananya menculik para jenderal hidup-hidup. Hanya Syam yang punya inisiatif untuk membunuh para jenderal. Itupun dilakukannya setelah Supardjo pergi ke istana untuk lapor ke Presiden.

Analoginya seperti kisah komplotan rampok yang sama-sama merampok bank, namun setelah uang di tangan, si pemimpin menelikung dan membunuh mereka.

Pertanyaan yang menggilitik adalah: jika ketujuh jenderal berhasil diculik hidup-hidup kesitu, dikala Supardjo lapor ke Presiden, apakah Syam tidak memerintahkan pula untuk membunuh para jenderal? Sebab, setelah nantinya Supardjo melaporkan bahwa Presiden tidak mendukung dan memerintahkannya untuk menghentikan G30S, Syam tetapbersikeras melanjutkan gerakan tanpa dukungan Soekarno(sumber: Dokumen Supardjo). Terbukti Syam punya agenda sendiri, yang tidak dia sampaikan sebelumnya kepada para perwira yang dia libatkan.

9.1.5. Jam Penembakan

Kembali ke 1 Oktober pagi itu. Atas perintah Syam, sekelompok pasukan G30S menembak masing-masing perwira berkali-kali. Untuk menyembunyikan para korban dan menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu ke dalam sumur, lalu menguruk sumur itu dengan bebatuan, tanah dan dedaunan (sumber: CIA, Indonesia - 1965, hlm 21).

Menurut CIA, dalam laporannya tentang G30S yang telah boleh diakses publik, para jenderal itu dibunuh sekitar pukul 7.00 (sumber: ibid.). Menurut ingatan Serma Boengkoes, pembunuhan terjadi sekitar pukul 9.30 (sumber: Anderson, World of Sergeant-Mayor Bungkus).

9.2. Tak Ada Gerwani di TKP

Berbeda dengan versi Orde Baru -- yang dipropagandakan secara masif melalui buku-buku sejarah maupun film sadis G30S yang wajib ditonton oleh semua umur setiap tahun -- ternyata tak ada keterlibatan Gerwani yang dikatakan menyiksa para jenderal dengan mencungkil mata, memotong kemaluan, sambil pesta narkoba dan seks.

Hal ini dikuatkan dengan hasil visum 5 dokter dari TNI dan FKUI, yang menyatakan bahwa tidak ada bekas-bekas penyiksaan di tubuh para jenderal korban G30S (referensi disini).

Kebohongan Tari Harum Sari, fitnah keji untuk perempuan Indonesia/sindonews.com
Kebohongan Tari Harum Sari, fitnah keji untuk perempuan Indonesia/sindonews.com
Menurut penelitian Prof. Saskia Wieringa, pakar sosiologi dan kesetaraan gender dari University of Amsterdam, Gerwani adalah organisasi sosial perempuan yang saat itu berencana melakukan bakti sosial masak-memasak di dapur umum di sekitar Lubang Buaya pada siang hari. Kegiatan masak-memasak itu pun akhirnya tak jadi dilakukan, karena hanya sedikit anggota yang datang. Mereka tak ada di TKP pada tengah malam dan subuh itu, bahkan tak tahu menahu kalau ada pembunuhan jenderal. (sumber: Wieringa, “Sexual Politics in Indonesia”, hlm 292).

Ketika koran-koran -- yang saat itu sepenuhnya dikuasai AD -- gencar mempropagandakan fitnah tentang Gerwani, termasuk cerita-cerita fiktif tentang 100 perempuan Gerwani menggunakan silet untuk memotong kemaluan jenderal, Soekarno berang dan berkata, “Apa dikira kita ini orang bodoh?? Nadanya ialah apa?? Untuk membangun kebencian!! Masuk akal?? Tidak!! Artinya, apa masuk akal, pen*s dipotong-potong dengan 100 silet?? Apakah bangsa kita berkualitas sedemikian rendah??” (sumber: Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, I:89).

Taktik perang urat syarat dan disinformasi bisa saja dianggap hal yang lumrah dalam strategi militer. Namun, jika fitnah itu berdampak jadi pembunuhan dan pemerkosaan ribuan perempuan Indonesia yang tak tahu menahu tentang pembunuhan jenderal, tentu tak dapat dibenarkan. Bahkan Robert F. Kennedy, senator di negeri AS yang antikomunis, mengutuk kekejian dan kebiadaban di Indonesia yang membunuh ratusan ribu korban termasuk perempuan itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (sumber: Newfield, “Robert Kennedy”, hlm 71).

10. Reaksi Soekarno

10.1. Kenapa Soekarno Ada di Halim??

Kembali ke tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari. Pimpinan G30S mendapat kabar dari kurir bahwa pasukan penculik telah kembali ke Halim. Pimpinan G30S mengutus Supardjo beserta dua komandan Batalyon 454 dan 530 ke istana untuk menghadap Presiden Soekarno, untuk memberi tahu Presiden tentang G30S dan meminta agar mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal. 

Mereka berangkat naik jip dari Halim sekitar jam 6 pagi, ketika empat perwira korban penculikan masih hidup dan belum ditembak. Ketika sampai di istana, para pengawal di gerbang memberi tahu bahwa Presiden Soekarno tak ada di istana (sumber: Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, Pledoi dari Tertuduh, hlm 13 dan 28).

Sungguh mengherankan, operasi G30S yang bertujuan untuk “melindungi Presiden dari kup Dewan Jenderal”, yang dipimpin oleh Letkol Untung sang Komandan Tjakrabirawa yang malam itu seharusnya tugas jaga di istana, ternyata tidak tahu Presiden yang harus dilindunginya itu berada dimana.

Akhirnya mereka dapat info dari Halim, bahwa Soekarno berada di sana. Menpangau Omar Dani, yang baru dilapori bahwa Supardjo ke istana mencari Presiden, langsung mengirim helikopter ke istana untuk menjemput Supardjo kembali ke Halim (sumber: Martowidjojo, “Kesaksian Tentang Bung Karno”, hlm 389).

Operasi militer G30S ini tampak seperti dagelan. Pasukan militer menculik para jenderal ke Halim, untuk dilaporkan ke Presiden di istana, tanpa mengetahui bahwa Presiden pagi itu ada di Halim.

Ternyata, Soekarno malam itu menginap di rumah istrinya, Dewi. Dengan kedatangan Supardjo di istana pagi itu, Soekarno dijemput protokol istana dari tempat Dewi.

Dewi Soekarno/dokpri
Dewi Soekarno/dokpri
Namun, Komandan Pasukan Kawal Istana Kol. Maulwi Saelan melihat adanya “tentara tak dikenal” di sekitar istana, yaitu 1000 prajurit Batalyon 454 dan 530 (pasukan G30S yang katanya bertugas melindungi Presiden). Saelan kemudian menghubungi pasukan kawal Soekarno melalui radio, dan meminta mereka menjauhi istana. Atas saran Saelan, Presiden dan para pengawalnya langsung menuju rumah Haryati, dan tiba di sana jam 7.00 pagi (sumber: Saelan, “Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66”, hlm 309-310).

Setelah itu, Soekarno merasa ada sesuatu yang tidak beres (1000 tentara yang “tak dikenal” di dekat istana). Sesuai prosedur baku dalam keadaan krisis, Soekarno dan para ajudannya memutuskan untuk pergi ke tempat terbaik yang dekat dengan pesawat -- yakni Halim -- agar sewaktu-waktu dapat pergi meninggalkan kota jika dalam keadaan bahaya (sumber: Setiyono dan Triyana, “Revolusi Belum Selesai”, 1:18).

Soekarno berangkat dari rumah Haryati ke Halim tanpa mengetahui adanya G30S, yang baru ia ketahui kemudian ketika tiba di Halim dan bertemu Supardjo. Ia hanya tahu ada "pasukan tak dikenal" di dekat istana. Dari seluruh data yang ada, juga tak ada kesaksian bahwa Soekarno bertemu dengan Aidit di Halim. Kemungkinan besar saat itu ia tidak mengetahuinya (Aidit disembunyikan di tempat yang jauh). Soekarno dan Untung juga sama-sama berada di kawasan Halim, tapi mereka juga tak pernah bertemu disitu. Bahkan Untung tak ikut ketika Supardjo menemui Soekarno, yang sekitar 4 kali mondar-mandir pada hari itu (sumber: CIA, Indonesia – 1965 danProf. John Roosa, Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002, Jakarta).

Kondisi ini yang sering dipelintir seolah-olah Soekarno dan Aidit ada di Halim untuk mendalangi, atau setidaknya terlibat, dalam G30S.

Hal yang menarik diungkapkan oleh puteri Jenderal Yani, Amelia, lewat buku tentang ayahnya: "Profil Seorang Prajurit TNI". Ternyata Soekarno punya rencana sendiri untuk menyelesaikan isu kup Dewan Jenderal guna menenangkan semua pihak dari konflik yang berkepanjangan. Menurut puteri sang jenderal, tanggal 1 Oktober itu sebenarnya Bung Karno berencana memanggil Yani, untuk mengangkatnya jadi Panglima ABRI. A.H. Nasution dinaikkan jadi Waperdam. Posisi Yani digantikan oleh Deputi I Menpangad, Mursyid. Amelia Yani mendengar rencana itu belakangan dari A.H. Nasution (sumber: Amelia Yani, "Profil Seorang Prajurit TNI").

Sungguh disayangkan, "Jenderal Kesayangan Bung Karno" itu gugur sebelum menghadap Presiden tanggal 1 Oktober itu.

Bung Karno menangis di pusara A.Yani/dokpri
Bung Karno menangis di pusara A.Yani/dokpri

10.2. Hentikan G30S

Kembali pada kronologi di tanggal 1 Oktober pagi. Supardjo akhirnya bertemu Soekarno di kantor Komandan Lanud Halim, Kol. Wisnoe Djajengminardo sekitar jam 10 pagi tanggal 1 Oktober 1965. Presiden pasti bingung, ada seorang Brigjen bertemu dengannya atas nama seorang Letkol. Ia bertanya pada Supardjo, “Mengapa yang memimpin Untung?” Supardjo menjawab, “Dialah yang kita anggap pantas.” (sumber: “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung, hlm 60).

Setelah dilapori Supardjo, Soekarno tahu bahwa seorang Panglimanya baru dibunuh (Yani), dan wakil gerakan yang membunuh Panglimanya sedang berbicara di depannya (Supardjo), dan komandan pasukan yang membunuh Panglimanya ada di dekatnya (Untung ada di Halim, meski tak ikut menghadap Soekarno). Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak merasa G30S sebagai ancaman, dan percaya penuh bahwa Supardjo dan Untung tak akan membunuhnya.

Namun ia cemas jika peristiwa itu menimbulkan perang saudara. Soekarno menolak permintaan Supardjo agar Presiden mendukung G30S. Sebaliknya, ia meminta Supardjo untuk menghentikan gerakan. Soekarno berkata kepada Supardjo, “Kalau begini pertempuran nanti bisa meluas. Lantas yang untung nanti nekolim.” Ia bertanya kembali pada Supardjo, “Apakah punya kesanggupan untuk menghentikan G30S?” Supardjo mengiyakan, dan Soekarno menepuk-nepuk bahu Supardjo (sumber: Transkrip Mahmilub, pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, hlm 16-17).

Hal ini berbeda sekali dengan versi Orba yang digambarkan dalam film propaganda “Pemberontakan G30S”, yang menampilkan reaksi Soekarno seperti orang bingung pakai kaos oblong dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

10.3. Reaksi Atas Penolakan Soekarno

Supardjo kembali ke markas pimpinan G30S (Untung, Latief, Suyono, Syam dan Pono) yang pindah dari Gedung Penas ke rumah kecil milik Sersan Sujatno(sumber: Roosa, "Wawancara dengan Heru Atmodjo", 2002). Supardjo melaporkan hasil pertemuannya bahwa Presiden menolak permintaan mereka untuk mendukung G30S, dan Presiden memerintahkan untuk menghentikan gerakan. Semua lemas mendengarnya, namun semua patuh. Kecuali Syam, yang ngotot untuk meneruskan gerakantanpa dukungan Soekarno(sumber: Dokumen Supardjo).

Sadar bahwa perjuangannya sudah kandas, para pimpinan G30S akhirnya melarikan diri. Termasuk Aidit yang disembunyikan di rumah lain pun sadar bahwa percaturan politiknya sudah skakmat. Malamnya ia melarikan diri ke Jawa Tengah.

10.4. Soekarno Tunjuk Pranoto

Kembali ke kronologi tanggal 1 Oktober. Pertemuan kedua antara Soekarno dan Supardjo berlangsung pukul 12 siang. Topiknya adalah menunjuk pengganti sementara Yani sebagai Pangad. Supardjo diminta pendapatnya, dan mengusulkan 3 nama yaitu Mayjen U. Rukman, Mayjen Pranoto, dan Mayjen Basuki Rachmat. Soekarno memutuskan untuk menunjuk Mayjen Pranoto -- perwira yang tahun 1958 membongkar kasus dugaan korupsi Kol. Soeharto -- sebagai caretaker Pangad menggantikan A. Yani. Soekarno menandatangani surat pengangkatan Pranoto jam 13.30 (sumber: Supardjo, Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja “G-30-S” Dipandang Dari Sudut Militer).

Soeharto marah mendengar pengangkatan Pranoto. Lewat bukunya “Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” tahun 1989 ia menceritakan dirinya protes secara langsung pada Soekarno, karena biasanya ia yang ditunjuk menggantikan Yani jika berhalangan. Dialog dalam Otobiografi itu -- dengan segala hormat -- bertentangan dengan fakta bahwa Soekarno tak pernah bertemu Soeharto untuk minta pendapat dalam penunjukan Pranoto. Namun, kisah imajinatif dalam Otobiografi Soeharto itu menunjukkan satu hal: bahwa dengan terbunuhnya Yani, Soeharto memperkirakan dirinya yang menggantikan sebagai Pangad.

Pranoto hanya menjabat sebagai Pangad sekitar 2 minggu. Ia kemudian diganti oleh Mayjen Soeharto, yang kemudian menjebloskannya ke penjara bulan Februari 1966 dengan tuduhan terlibat G30S. Dipenjara selama 15 tahun, Pranoto mengatakan bahwa ia difitnah dan dipenjara akibat Soeharto dendam kasus korupsinya dibeberkan (referensi disini)

dokpri
dokpri

11. Reaksi Soeharto

Tanggal 1 Oktober 1965, jam 6 pagi Mayjen Pranoto memimpin rapat di MBAD. Pagi itu mereka belum mendengar bahwa siangnya Pranoto ditunjuk sebagai caretaker. Ia mengumpulkan berbagai informasi. Diketahui bahwa 6 jenderal telah diculik, dan 1 letnan salah tangkap. Mereka memperoleh informasi bahwa pimpinannya, Menpangad Yani, tewas ditembak di rumah. Terlihat bahwa tak ada satupun perwira di MBAD yang tahu siapa yang menculik, dan apa motivasinya. Rapat MBAD kemudian memutuskan untuk menunjuk Soeharto sebagai caretaker Menpangad. (sumber: Pranoto, Memoar Mayor Jendral Raden Pranoto Reksosamodra, hlm 245-255).

Di Markas Kostrad, Soeharto tiba sekitar jam 6.30 pagi. Ia sudah mendapat laporan dari tetangga tentang penembakan Jend. Yani di rumahnya, dan sudah menduga Pangad telah tewas. Soeharto mengangkat dirinya sebagai Panglima AD ad interim. Perwira kunci yang menguasai pasukan paling besar di Jakarta, Pangdam Jaya Umar Wirahadikusumah, melapor pada Soeharto jam 8.00 dan menempatkan dirinya di bawah Soeharto (sumber: Wirahadikusumah, Dari Peristiwa ke Peristiwa, hlm 186).

dokpri
dokpri

11.1. Bersihkan Lapangan Monas

Tindakan pertama Soeharto dalam menangani G30S adalah menuntut dua batalyon di Lapangan Merdeka (sekarang dinamakan Lapangan Monas) untuk menyerahkan diri. Ia mengirim perwira-perwiranya, antara lain Ali Murtopo, untuk memanggil kedua komandan pasukan. Saat itu kedua komandan sedang berada di istana menemani Supardjo. Para perwira Kostrad bertemu dengan wakil-wakil komandan yang ada di lapangan, yang kemudian patuh dan menghadap Pangkostrad. Di markas Kostrad, yang hanya berjarak beberapa meter dari Lapangan Monas, Soeharto mengancam akan menyerang mereka jika tidak menyerahkan diri ke Markas Kostrad.

Para wakil komandan tentu bingung. Yon 454 dan 530 datang dari Jateng dan Jatim ke Jakarta atas perintah Pangkostrad, kemudian diancam akan diserang oleh Pangkostrad yang mendatangkannya.

Alhasil, Soeharto berhasil menguasai kembali Lapangan Monas dan RRI yang diduduki oleh 1000 tentara itu tanpa sebutir pelor pun: satu batalyon menyerahkan diri ke Kostrad, satu batalyon lari ke Halim (sumber: Katoppo, “Menyingkap Kabut Halim 1965”, hlm 129).

11.2. Bersihkan Halim

Sesudah Lapangan Monas dibersihkan, Soeharto mengarahkan perhatiannya ke Halim. Ia mengetahui bahwa Soekarno dan Supardjo berada di sana. Untuk mengisolasi Halim, ia melarang seluruh perwira AD pergi ke Halim, meski dipanggil Presiden sekalipun (Reksosamodra, “Memoar”, hlm 247-248).

Soekarno siang itu telah mengangkat Pranoto sebagai caretaker Pangad, dan memanggil Pranoto ke Halim. Namun Soeharto tak mengijinkannya. Sungguh luar biasa, seorang Pangkostrad memerintahkan Pangad untuk membangkang perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI.

Soeharto mulai memberikan perintah-perintahnya kepada Presiden. Melalui kurir, sekitar jam 8 malam ia mengatakan pada Presiden agar segera meninggalkan Halim supaya tidak jadi korban dalam pertempuran yang akan terjadi. Soekarno kemudian meninggalkan Halim naik mobil menuju istana Bogor, dan tiba di sana jam 10 malam (sumber: Hughes, “End of Sukarno”, hlm 82).

11.3. Temukan Sumur Jenazah

Tanggal 3 Oktober, Soeharto diangkat Presiden menjadi Pangkopkamtib. Pada hari yang sama, ia langsung menemukan sumur tempat disembunyikannya jenazah korban G30S di Lubang Buaya.

dokpri
dokpri

11.4. Naik Daun

Soeharto tampaknya tahu persis apa yang harus dilakukan untuk mematahkan G30S, dikala sebagian besar perwira militer di Jakarta tak tahu harus bertindak bagaimana. Suatu tindakan yang dikatakan oleh Prof. Wertheim sebagai “efisiensi yang ajaib di tengah-tengah keadaan yang luar biasa membingungkan(sumber: Wertheim, “Suharto and the Untung Coup”, hlm 53).

Selanjutnya, Prof. Wertheim dengan analisis yang tajam dan penuturan yang ajeg menulis bahwa G30S kelihatan begitu semrawut dan sia-sia karena merupakan operasi gadungan yang dibuat untuk dipatahkan dengan mudah (sumber: Wertheim, “Whose Plot?” hlm 204-205).

Menariknya, analisis Wertheim itu matching dengan pernyataan Dubes AS Howard Jones 6 bulan sebelum terjadinya G30S, “Dari sudut pandang kita, tentu saja, percobaan kup yang gagal oleh PKI akan jadi perkembangan yang paling efektif untuk memulai pembalikan kecenderungan politik di Indonesia” (sumber: “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of Mission Conference, Baguio, Filipina).

12. Laporan Tiga Badan Intelijen AS

Seperti telah dikemukakan di muka, temuan menarik dalam beberapa tahun terakhir adalah dibukanya beberapa arsip rahasia di AS, yang isinya dapat menjungkirbalikkan asumsi dan pemahaman kita selama ini.

Dokumen disusun bersama oleh CIA, NSA (National Security Agency) danDIA(Defense Intelligence Agency)di AS.Judulnya menggambarkan isinya:“The Prospects for and Strategic Implementations of a Communist Takeover in Indonesia” (Prospek dan Implikasi Strategis Pengambilan Kekuasaan Komunis di Indonesia). Dokumen itu disusun sebagai laporan kepada Presiden Lyndon B. Johnson. Untuk singkatnya, dalam tulisan ini dokumen tersebut kita sebut “Laporan CIA”.

dokpri
dokpri
Seperti telah dikemukakan, sejak Juli 1965 AS menjalankan “low-posture policy” dengan mundur dan mengurangi aktivitasnya di Indonesia. Seluruh peristiwa yang terjadi pada periode Juli - Oktober 1965 adalah murni gerakan lokal.

Terlihat jelas bahwa dari tanggal 1 s.d. 31 Oktober, CIA bingung sendiri dengan apa yang terjadi di Jakarta. Mereka sibuk mengumpulkan data-data dan melakukan analisis intelijen. Terlihat jelas bahwa mereka, pada periode tersebut, tidak memiliki kontak intelijen dengan AD. Juga terlihat jelas bahwa CIA tidak mendalangi dan mensupervisi terjadinya G30S secara langsung.

Kontak antara CIA dengan AD baru terjadi pada tanggal 1 November 1965, setelah dihubungi oleh Brigjen Sukendro, perwira intel MBAD di bawah Menpangad Soeharto.

Beberapa poin pentingnya adalah:

12.1. Tanggal 6 Oktober 1965, setelah keluar berita-berita di media massa bahwa G30S dipimpin oleh Letkol Untung, CIA mengatakan bahwa mereka tak percaya Letkol Untung adalah pemimpinnya. Mereka mempertanyakan siapa dalang sesungguhnya (sumber: “Intelligence Memorandum, Washington, October 6, 1965 butir 15).

12.2. Selanjutnya, pada memo yang sama, CIA tak percaya bahwa Aidit (Ketua PKI) menyetujui pembunuhan para jenderal (ibid., butir 18)

dokpri
dokpri
Tanggal 22 Oktober 1965, Sekretariat Negara AS bingung maupun bisnis, mengapa parpol yang sudah di atas angin perlu melakukan subversi(sumber: Telegram from the Department of State to the Embassy in Indonesia, Washington, October 22, 1965 butir 8.a).

12.4. Tanggal 1 November 1965, Sekretariat Negara AS menyatakan sudah memiliki kontak dengan AD melalui Brigjen Sukendro, perwira intel di bawah Menpangad Mayjen Soeharto. Setneg meminta Kedubes di Indonesia agar memelihara hubungan (sumber: Telegram from the Department of State to the Embassy in Indonesia, Washington, November 1, 1965 butir 1).

12.5. Tanggal 10 Maret 1966, Dubes Green melapor pada Sekretariat Negara AS bahwa ia dihubungi oleh Menteri Adam Malik. Pak Menteri tampak dalam kondisi percaya diri, sambil mengatakan bahwa perkembangan situasi sangat bagus, dimana 22 batalyon di bawah Soeharto siap digerakkan kapan saja di wilayah Jakarta.

Green bertanya pada Malik tentang rumor bahwa Soekarno akan segera menyingkirkan Soeharto.

Adam Malik menjawab bahwa mungkin saja Soekarno menyingkirkan Soeharto dan/atau Ibrahim Adjie (salah satu atau keduanya). Malik berharap Soekarno akan menyingkirkan mereka, karena memang itu langkah yang diharapkan AD, agar ada alasan untuk menyerang balik Presiden secara fisik.

DOKPRI
DOKPRI
Green menanyakan apakah ada kemungkinan Soekarno memanggil para komandan militer untuk bergabung bersamanya, yang berpotensi membuat pasukan bingung harus ikut komando yang mana.

Adam Malik menjawab bahwa itu tidak mungkin, mengingat seluruh Panglima ada di belakang Soeharto. Selanjutnya, Malik mengatakan bahwa AD tak akan mendahului menyerang Soekarno/Soebandrio. Taktik yang dipilih AD adalah counter-action.

Dubes Green menanyakan apakah tersingkirnya Nasution mengakibatkan langkah mundur bagi kekuatan anti-Subandrio. Malik menjawab sama sekali tidak, karena Nasution sekarang diposisikan di belakang layar. Nasution dan Soeharto tetap berhubungan erat, tapi lebih baik menjadikan Soeharto sebagai front man.

Green menanyakan posisi Pangdam Jaya Jend. A. Machmud. Malik menjawab bahwa A. Machmud sepenuhnya di belakang Soeharto.

(sumber: Telegram from the Embassy in Indonesia to the Department of State, Djakarta, March 10, 1966), sehari sebelum Supersemar.

13. Supersemar

13.1. “Bad Cop”: Teror di Istana

Keesokan harinya, tanggal 11 Maret 1966 pagi, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet yang dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri”. Semua menteri hadir, kecuali Menpangad Soeharto.

Ketika sidang dimulai, panglima pasukan Kawal Istana melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” di sekitar istana. Belakangan diketahui bahwa itu adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Kemal Idris. Pangkostrad saat itu adalah Mayjen Umar Wirahadikusumah yang menggantikan Mayjen Soeharto.

Karena laporan tersebut, Presiden meninggalkan istana untuk berangkat ke istana Bogor dengan menggunakan helikopter yang sudah disiapkan.

13.2. “Good Cop”: Tawarkan Bantuan

Tanggal 11 Maret 1966 malam, Menpangad Soeharto mengutus 3 jenderal -- M. Jusuf, Amir Machmud & Basuki Rachmat -- untuk menghadap Presiden Soekarno di Bogor. Ketiga jenderal utusan Soeharto itu membujuk dan meyakinkan Presiden, bahwa Soeharto sanggup “mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan”, jika ditunjuk lewat surat tugas.

13.3. Penandatanganan Supersemar

Presiden Soekarno setuju dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Mayjen Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk “memulihkan keamanan dan ketertiban”, “menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden”, serta “melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”.

Supersemar itu kemudian dipropagandakan sebagai peralihan kekuasan de facto kepada rejim Orde Baru.

dokpri
dokpri

13.4. Hilangnya Naskah Asli

Selama Orde Baru berdiri antara 1967-1998, tak pernah jelas dimana naskah asli Supersemar. Raibnya Supersemar yang otentik memicu spekulasi tentang apa isi Supersemar yang sebenarnya.

Setelah Orde Baru lengser, DPR memberi mandat kepada ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) tanggal 23 September 1998 untuk mencari naskah Supersemar yang asli. Pelacakan secara intensif dilakukan mulai tahun 2000.

Sampai saat ini, setelah melacak selama 15 tahun, ada tiga naskah yang bebeda-beda ketikan dan kop suratnya.

3 versi Supersemar yang disimpan ANRI, palsu semua/DOKPRI
3 versi Supersemar yang disimpan ANRI, palsu semua/DOKPRI
Kepala ANRI mengatakan bahwa setelah diteliti, ketiga naskah itu diyakini palsu semua. Namun tetap disimpan di ANRI (referensi disini).

dokpri
dokpri
Tampaknya, seluruh rangkaian panjang kisah Supersemar dalam tulisan di atas adalah persis seperti yang dikatakan seorang ilmuwan abad Renaissance:

Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas;

pada mulanya ia terjadi tanpa alasan, tapi kemudian menjadi masuk akal.

Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan abadi;

adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir

(Blaise Pascal, ilmuwan Prancis, 1670)

Demikian, semoga ada sedikit manfaat.

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun