Mohon tunggu...
Satrio Piningit
Satrio Piningit Mohon Tunggu... -

jer besuki mawa bea

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Supersemar dan Dugaan Korupsi Kol. Soeharto

11 Maret 2016   07:36 Diperbarui: 11 Maret 2018   17:53 16649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sentra kekuatan politik pasca Dekrit Presiden 1959 bertumpu pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat (AD) dan Soekarno. Ketika itu, PKI adalah parpol legal dengan basis massa jutaan orang sampai ke pelosok-pelosok daerah. Kalkulasi politik saat itu, jika dilakukan Pemilu lagi setelah 1955, besar kemungkinan PKI akan menang. Oleh sebab itu Soekarno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Tak ada lagi Pemilu, antara lain untuk menjaga keseimbangan agar PKI tidak jadi besar sendirian.

Di sisi lain, AD sering mengirim perwira untuk belajar di AS dan menjalin koneksi di sana. Kondisi ini dipergunakan oleh Pemerintah AS untuk menciptakan agen-agen “pro-Barat” untuk melawan komunisme (Blok Timur). Untuk itu, AS memberi bantuan pelatihan, memberi sumbangan, menjual persenjataan, serta memberi bantuan keuangan (sumber: Dr. Peter Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Sukarno”, 1965-1967).

Satu-satunya kekuatan politik yang mencegah AD dan PKI saling cakar-cakaran adalah pilar ketiga, yakni Soekarno sebagai penyeimbang. Realitas politik saat itu membuat Soekarno, mau tidak mau, harus merangkul PKI, parpol yang kemungkinan besar akan menang jika ada pemilu. Di sisi lain, Soekarno jelas harus merangkul AD. Ia membutuhkan kedua kekuatan sayap kiri dan sayap kanan, yang merupakan realitas politik saat itu, untuk menjalankan misi-misinya, seperti New Emerging Forces (NEFO), Ganyang Malaysia, dll.

dokpri
dokpri

2.2. Jenderal Pro-Barat

Ketika itu, baik di AD, AU maupun AL, terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu golongan yang berorientasi kiri, tengah, dan kanan. Di AD, para pimpinan Komandonya kebanyakan kanan antikiri. Menpangad A.H. Nasution adalah “Golden Boy” AS yang dikenal gigih meyakinkan para pembesar di Washington tentang komitmennya melawan komunisme. Gabungan Kepala-kepala Staf AS memberi bantuan untuk AD pada 1958 sebagai dukungan agar Nasution dapat melaksanakan rencananya untuk mengendalikan kaum komunis (sumber: Scott, “United States and the Overthrow of Sukarno”, hlm 246).

Maka terjadilah peristiwa 1960 dimana AD haluan kanan, melalui Sukendro, memberantas PKI pada Juli-September 1960, yang berujung pada desakan perwira-perwira pro-Barat terhadap Nasution agar melakukan kudetapada Soekarno(sumber: CIA - Indonesia, 1965, hlm 190-191). Soekarno segera menghentikan gerakan ini, dan “mengasingkan” Sukendro selama 3 tahun untuk studi di University of Pittsburgh.


Sepak terjang Nasution yang “militan Barat” membuat Soekarno -- yang dikenal anti nekolim -- menjadi gerah. Presiden mengganti posisi Nasution sebagai Menpangad dengan A. Yani. Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI, yang hanya mengurus administrasi tanpa pasukan. Dengan kata lain, tahun 1962 Nasution masuk kotak, tapi tetapdimuliakan (naik jadi Ka Staf ABRI). Yani kemudian mengganti beberapa Pangdam yang pro-Nasution. Sejak itu, friksi yang tajam antara Nasution dan Yani diketahui banyak kalangan termasuk di luar AD (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku tentang G30S”).

Yani dikenal antikomunis. Ia pun dikenal pro-Barat, memiliki hubungan yang sangat erat dengan penasehat civic action Kol. George Benson (sumber: B. Evans, “Influence of the United States Army,” hlm 28-29). Tapi setidaknya, di mata Soekarno, Yani kooperatif dan tidak sefrontal Nasution. Yani dikenal loyal terhadap Soekarno, meski tak selalu sependapat dengan kebijakan-kebijakannya. Yani sering disebut-sebut sebagai "Jenderal Kesayangan Bung Karno".

2.3. Embrio “Dewan Jenderal”

Sekitar 1963, Menpangad Yani membentuk kelompok pemikir (kolega AS menyebutnya “brain trust”) yang terdiri dari Jend. Suprapto, Jend. Haryono, Jend. S. Parman, dan Jend. Sukendro yang ia tarik pulang dari “pengasingan” di AS. Mereka juga bertindak selaku “wanjakti” (istilah sekarang), menentukan kepangkatan di jajaran AD. “Kelompok rahasia” ini kemudian didesas desuskan orang sebagai “Dewan Jenderal(sumber: CIA, Indonesia – 1965).

Jika kita melihat susunannya, empat jenderal brain trust itu (termasuk Yani diluar Sukendro) sama dengan “Dewan Jenderal” target korban G30S. Tapi tidak menjawab pertanyaan mengapa Sutoyo, Panjaitan dan Nasution juga jadi target. Dan tidak menjawab pertanyaan mengapa Sukendro tidak jadi target.

3. Ganyang Malaysia

Peristiwa kunci yang menjadi triger G30S dan Supersemar, yang jarang disinggung kaitannya, adalah kebijakan Ganyang Malaysia. Memang Malaysia yang cari gara-gara duluan, melanggar perjanjian batas wilayah yang ditandatangani dengan Indonesia di Manila. Berbagai upaya damai lewat perundingan dilakukan RI, tapi tak digubris Malaysia. Soekarno berang dan menuding Malaysia sebagai boneka Inggris, antek nekolim.

3.1. Sabotase Petinggi Kanan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun