""""
      "Kau masih kuat putri Rembulan?" Tiba-tiba putri rembulan pingsan. Andi langsung memegang tubuh putri Rembulan.  "Kita harus sampai di puncak gunung.  Kita harus berhasil kita harus beri tanda bahwa kita telah berhasil mendaki gunung ini. Apaa aku boleh memberi tanda itu?" tutur Rembulan setelah bangun dari pingsannya yang kilat.  Mereka pun berjalan lagi. Ahmad Thoriq sudah mengendong istrinya. Andi pun sudah terus memegangi putri Rembulan dan akhirnya puncak gunung kelihatan. Wajah-wajah mereka pun mulai tampak sumringah dan sesampainya di puncak gunung mereka melakukan sujud syukur. Seperti kata putri Rembulan, mereka pun menancapkan tanda.
      "Pertama kali melihat puncak gunung ini aku merasa takjub akan keindahan alamnya, tapi diberi kesempatan untuk kedua kalinya melihat puncak gunung ini, rasanya lebih senang karena dicapai dengan penuh jerih payah," putri Rembulan mengambarkan perasaan kagum dan senangnya. "Oleh karena itulah, kakanda yakin untuk mengajakmu agar kau terlatih dengan kekuatan. Maka kau bisa ajarkan ini ke anak cucumu," pangeran sulung membalas penuturan adiknya itu. Â
      "Nanti akan aku ceritakan sebuah negeri dengan iklim tropis. Penduduknya ramah dan juga taat," Ahmad Yunus yang berkata selanjutnya.  "Kami akan sangat tersanjung sekali," balas pangeran Naga Swarna. "Sepertinya bangsa kalian suka ke negeri kami untuk menyebarkan agama dan berdagang. Anak negeri ini pasti tidak akan lupa kalian," pangeran kedua menambahi. "Ya semoga anak negeri ini bisa pandai berdagang dan tetap menjadi tuan bagi negerinya sendiri," balas Ahmad Yunus pula.  Kemudian semuanya sudah tentu menyisiri setiap sisi puncak gunung dan tetap berhati-hati.
      Lama mereka tinggal di puncak gunung. Sore harinya Naga Swara bernyanyi dan lalu berhenti sejenak karena sesuatu kiranya. "Mengapa diam? suaramu bagus sesuai dengan namanya," kata Husein yang sudah tidak bersedih lagi karena baru saja menyaksikan keelokkan puncak gunung.  "Iya, ibunda pernah berkata sewaktu kecil aku suka sekali menangis. Itu artinya aku akan pandai bernyanyi. Namun, aku belum berani menjadi seniman. Kata ibunda  seniman itu untuk menghibur orang, bisa menghilangkan kedukaan orang."  Husein berkata dengan semangat, "Lalu sekarang lanjutkan nyanyianmu. Aku juga akan mengiringimu menyanyi  dalam bahasa Arab." Naga Swara membalas, "Aku tidak bisa, sepertinya ada yang terjadi di istana, hmmh bukan maksudku di rumah."  "Tenang saudaraku. Kalau begitu kita berdoa saja sekarang," Husein mengusulkan. Â
      Tidak berapa lama kemudian, setelah selesai berdoa. Perasaan pangeran Naga Swara sudah lebih tenang.  "Aku ingin kau saja yang bernyanyi dalam bahasamu," kata Naga Swara. Sebelum Husein bernyanyi atau baru saja akan membuka mulutnya untuk bernyanyi, Naga Buana mendekati. Adiknya yang bungsu sadar akan kedatangan kakandanya yang sangat dihormatinya itu, lantas bertanya sembari berdiri dari duduknya yang nyaman,  "Kapan rencananya kita akan balik dan melanjutkan perjalanan? Karena kita harus segera ke Sunda Kelapa."
      "Besok," jawab pangeran sulung dengan mantap.
                                   Â
BAB VIII
 PANGERAN NAGA GLEDEK DATANG KE PERGURUANÂ
         Sesampainya pangeran Naga Gledek di perguruan yang diberi nama "Perguruan Silat Bidadari".  Tidak disangka tempatnya tidak seperti yang dibayangkan. Dalam benak pangeran ketiga, pasti menyenangkan jika dia datang bersama saudaranya sekalian. Tempatnya cukup luas dan udaranya menyegarkan. Tempat ini cukup baik untuk menghilangkan kebosanan dari rutinitas istana.  Di saat kedatangannya sedang ada latihan yang diikuti oleh banyak wanita. Namun, gurunya bukanlah pendekar yang membuat heboh istana. Ternyata perguruan ini sudah berkembang. Sudah menghasilkan beberapa guru lainnya. Pakaian peserta begitu indah, penuh warna.