Aku menoleh.
Dia berdiri dengan  santai, rambut masih disisir rapi, tapi ada sedikit angin yang membuat poninya jatuh ke dahi.
"Temenin aku sebentar," katanya.
"Cuma lima menit."
Aku menatapnya sebentar.
"Kamu bisa dansa?"
"Nggak," dia nyengir. "Tapi aku pengen nyoba... sama kamu."
Dan malam itu,
di bawah langit Jambi yang penuh bintang,
di antara anak-anak sekolah elit dengan sepatu mengilap dan kue ulang tahun dari toko mahal,
aku berdansa dengan Angga.
Langkah kami kaku. Kadang menginjak kaki.
Tapi dia terus menatapku.
Dan aku...
nggak bisa berhenti senyum.
Tangannya nggak terlalu erat. Tapi cukup hangat.
Tapi...
waktu aku melirik ke sisi kanan taman---tepat ke arah dekat minuman kaleng dan cake ulang tahun,
aku melihat seseorang berdiri diam: Marcel.
Dia tidak tersenyum.
Wajahnya kaku. Matanya... tajam.
Seolah ingin bicara banyak hal tapi tertahan semua di tenggorokan.
Bukan marah. Bukan cemburu yang elegan.