Dan... momen itu kayak ngebuka satu dimensi baru.
Angga itu anti-mainstream.
Udah jelas banget.
Rambut gondrongnya di saat tren cowok saat itu adalah potongan crew cut ala Tom Cruise di Top Gun, rokok mentholnya, bajunya yang lebih nyaman dari tren---semuanya menunjukkan dia nggak peduli sama omongan orang.
Dia hidup dengan caranya sendiri.
Kadang nggak bisa dimengerti, tapi terasa... gimana banget.
Sesuatu yang baru aku perhatiin.
Kami duduk di saung kecil itu, berdua.
Angin sore dari arah runway mengibas rambutku.
Kadang ada suara pesawat Garuda, Pelita atau Merpati melintas keras.
Tapi yang lebih menggelegar justru... isi obrolan kami.
Kami ngomongin apa aja.
Dari guru killer, selera musik, sampai cita-cita kuliah.
"Pengen kuliah di mana?" tanyanya.
"Dulu pengen ke luar negeri. Tapi makin ke sini... pengen ke Yogya aja. Kayaknya kota itu punya suasana yang cocok buat belajar sambil mikir."
"Yogya, ya..." Angga melirik ke langit.
"Aku juga kepikiran begitu. Pengen masuk UGM. Tapi ya... UNY atau UPN juga oke."
Aku terdiam.
Aku nggak nyangka, cowok tukang bolos ini punya harapan dan arah yang jelas.
Mungkin... aku terlalu cepat menilai.
Malamnya, aku bengong di kamar.
Marcel telepon berkali-kali, kata ART-ku.
Tapi aku lagi nggak mood berbasa-basi.
Dan pikiranku...
Masih di sore tadi.
Saat Angga ngelihat pesawat terbang dan menghilang di balik awan: