D. Ajakan untuk Mengenali, Bukan Menghakimi
Dalam lanskap psikologi populer yang sering menyederhanakan manusia menjadi "introvert atau ekstrovert," "Alpha atau Sigma," atau bahkan sekadar "trauma atau pulih", banyak tipe kepribadian kompleks seperti Harimau menjadi korban stigmatisasi yang halus: disebut pendendam, manipulatif, atau tidak dewasa secara emosional. Namun apa jadinya jika yang kita anggap "pendendam" sesungguhnya adalah arsitek kehati-hatian? Apa jadinya jika yang kita tuduh "dingin" sebenarnya sedang menjaga kehangatan dari kehancuran?
Kepribadian Harimau bukanlah kutukan moral, tetapi strategi bertahan eksistensial.
 Dalam dunia yang tidak selalu adil, tidak selalu jujur, dan tidak selalu lembut, menjadi Harimau kadang adalah satu-satunya cara untuk tetap utuh---tanpa harus berubah menjadi pemangsa atau korban.
1. Mengenali Sebagai Langkah Awal Empati
Seringkali kita hanya berempati kepada mereka yang menangis terbuka, yang bercerita panjang, atau yang meratap dengan kata-kata. Tapi bagaimana dengan mereka yang:
menatap diam sambil mencatat siapa yang menyakitinya,
membantu tanpa banyak bicara,
memaafkan dengan mata waspada,
dan hanya mencintai setelah menguji sejauh mana kamu bisa menjaga luka yang mereka pendam?
Mereka bukan tidak terluka.
Mereka hanya memilih bentuk perlindungan yang tidak banyak dipahami oleh dunia luar.
Ajakan ini sederhana:
Daripada bertanya "Kenapa kamu begitu defensif?"
Cobalah bertanya, "Luka seperti apa yang membuatmu harus selalu siap menyerang jika perlu?"
2. Berhenti Menyamaratakan Kesembuhan
Ada individu yang sembuh dengan bicara.
Ada yang sembuh dengan menangis.
Ada pula yang sembuh dengan menyusun strategi sunyi---dan memelihara memori luka sebagai peta sosial.
Tipe Harimau tidak memaafkan karena disuruh. Ia memaafkan jika relasi menunjukkan stabilitas.
Ia tidak terbuka karena lingkungan memaksanya. Ia terbuka ketika rasa hormat mulai tumbuh.
Ia tidak melupakan karena dia tahu, memori adalah pagar.