Dalam perspektif sosiologi, masyarakat membangun ekspektasi yang mengatur perilaku individu, termasuk dalam hal ibadah. Di bulan Ramadhan, tekanan sosial menjadi semakin kuat, membentuk norma di mana kesalehan diukur berdasarkan indikator eksternal, seperti menjalankan puasa, mengenakan pakaian yang lebih tertutup, serta berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan.
Fenomena ini dapat dipahami melalui teori anomi Emile Durkheim, yang menjelaskan bahwa ketika individu dipaksa menyesuaikan diri dengan norma sosial yang tidak sepenuhnya ia yakini, ia mengalami disorientasi moral. Dalam konteks Ramadhan, individu yang merasa harus menjalankan ibadah demi ekspektasi sosial, bukan karena keyakinan pribadi, mengalami keterasingan spiritual. Ia beribadah bukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, melainkan untuk mempertahankan status sosialnya sebagai "orang baik" dalam komunitasnya.
Selain itu, teori labeling dari Howard Becker dapat menjelaskan bagaimana konstruksi sosial terhadap kesalehan menciptakan kategori "saleh" dan "tidak saleh" yang bersifat biner. Individu yang tidak menunjukkan kepatuhan terhadap norma Ramadhan bisa mendapatkan label negatif---seperti dianggap malas beribadah, kurang iman, atau bahkan dianggap "liberal" atau "sekuler" dalam konteks tertentu. Sebaliknya, individu yang mampu menampilkan kesalehan secara publik akan mendapatkan pengakuan, meskipun keyakinan batinnya mungkin tidak sejalan dengan perilakunya.
Di level struktural, fenomena ini juga berimplikasi pada bagaimana agama dimanfaatkan sebagai alat kontrol sosial. Institusi sosial, mulai dari keluarga hingga media, sering kali memperkuat norma kesalehan yang dikonstruksi secara simbolik, misalnya melalui siaran televisi yang menampilkan figur-figur religius, kampanye moralitas di ruang publik, atau aturan-aturan formal yang mengatur perilaku masyarakat selama Ramadhan.
Dengan demikian, dari perspektif sosiologi, kesalehan yang dikontrol oleh masyarakat sering kali menjadi alat legitimasi sosial, bukan refleksi dari keimanan individu yang sejati.
Perspektif Antropologi: Ramadhan sebagai Ritual Sosial dan Dramaturgi Kesalehan
Dalam antropologi, ritual keagamaan tidak hanya memiliki fungsi spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial yang memperkuat identitas kelompok dan hierarki nilai dalam masyarakat. Ramadhan, dalam hal ini, bukan sekadar ibadah, tetapi juga menjadi ritual sosial yang bersifat simbolik.
Menggunakan konsep dramaturgi sosial dari Erving Goffman, kita dapat memahami bahwa Ramadhan menciptakan dua panggung dalam kehidupan sosial:
Front stage -- di mana individu berperan sebagai "Muslim yang taat," mengenakan simbol-simbol kesalehan (seperti jilbab, peci, atau lebih sering datang ke masjid) dan mengikuti ritual keagamaan secara publik.
Back stage -- di mana individu bisa jadi menunjukkan sikap yang berbeda ketika tidak dalam pengawasan sosial, misalnya tetap makan diam-diam atau mengonsumsi hiburan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Dari perspektif ritual dan simbolisme, fenomena ini menunjukkan bahwa ibadah Ramadhan dalam masyarakat tertentu bisa lebih menekankan aspek sosialnya dibandingkan aspek spiritualnya. Ini tampak dalam bagaimana ritual seperti buka puasa bersama, sahur on the road, dan tarawih berjamaah menjadi ajang yang lebih bernilai sosial daripada sekadar perintah agama.