3. Kritik terhadap Kepatuhan Kosong: Hipokrisi Religius dan Konsekuensinya
Salah satu bahaya terbesar dari kesalehan yang didikte oleh tekanan sosial adalah kemunafikan. Orang-orang yang menjalankan ibadah secara lahiriah tetapi tidak memiliki keterhubungan spiritual dengan ibadah tersebut akan cenderung mempertahankan dua wajah: satu wajah religius untuk konsumsi publik, dan satu wajah duniawi yang tersembunyi dari pengawasan sosial.
Islam sendiri mengecam dengan keras kemunafikan dalam ibadah:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (berusaha) menipu Allah, tetapi Allah-lah yang akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' di hadapan manusia." (QS. An-Nisa: 142)
Dalam fenomena sosial hari ini, kita melihat banyak individu yang menampilkan kesalehan di ruang publik, tetapi dalam ruang pribadi melakukan hal yang bertentangan dengan nilai agama. Misalnya:
Seorang pejabat yang terlihat rajin beribadah di masjid selama Ramadhan, tetapi di balik layar melakukan korupsi.
Orang yang mengkritik mereka yang tidak berpuasa, tetapi diam-diam melanggar norma moral dalam kehidupan pribadinya.
Individu yang menampilkan kesalehan di media sosial demi validasi, tetapi dalam kehidupan nyata tidak memiliki kedalaman spiritual.
Kepatuhan yang lahir dari tekanan sosial seperti ini bukan hanya tidak memiliki nilai ibadah, tetapi juga menciptakan budaya kepalsuan, di mana agama dijadikan alat untuk memperoleh status sosial, bukan sebagai jalan menuju Tuhan.
Dalam pandangan Islam, ikhlas adalah kunci utama dalam ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits:
"Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas karena-Nya dan mengharap ridha-Nya." (HR. An-Nasa'i)