Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keshalehan yang Dikatrol Lembaga vs Kemaksiatan yang Dipertontonkan: Sebuah Kritik Sosial Multidisiplin

22 Maret 2025   14:18 Diperbarui: 22 Maret 2025   14:18 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

b. Perspektif Sosiologi: Deviasi dan Krisis Identitas Kolektif

Secara sosiologis, kemaksiatan yang dipertontonkan merupakan bentuk deviasi sosial yang disengaja. Menurut teori anomi Durkheim, tindakan seperti ini sering muncul di masyarakat yang mengalami kekosongan nilai, di mana norma agama tidak lagi diinternalisasi sebagai bagian dari kehidupan sosial, tetapi dipandang sebagai aturan eksternal yang membebani.

Teori labeling juga relevan dalam menjelaskan fenomena ini. Masyarakat yang menstigma kesalehan yang dipaksakan sering kali melahirkan individu yang justru memilih untuk menunjukkan perilaku menyimpang secara eksplisit sebagai bentuk pembangkangan. Ironisnya, tindakan ini tidak mencerminkan kebebasan sejati, tetapi justru konformitas dalam bentuk baru, di mana individu berlomba-lomba menunjukkan ketidakpatuhan untuk mendapat pengakuan dari kelompok yang serupa.

Lebih dalam, fenomena ini juga mengindikasikan adanya krisis identitas kolektif dalam masyarakat modern. Ramadhan, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan kesadaran kolektif, malah menjadi panggung bagi kontradiksi sosial: di satu sisi, ada kesalehan artifisial yang dipaksakan oleh norma, dan di sisi lain, ada perlawanan nihilistik yang menampilkan kemaksiatan sebagai simbol kebebasan yang semu.

c. Perspektif Antropologi: Dekonstruksi Sakralitas dan Profanisasi Ritual

Dalam perspektif antropologi, tindakan terang-terangan dalam melanggar norma Ramadhan dapat dilihat sebagai profanisasi terhadap ritual yang sakral. Menurut Durkheim, masyarakat membangun kategori sakral dan profan untuk memberikan makna pada kehidupan. Ramadhan sebagai sebuah ritual keagamaan telah lama menjadi bagian dari sakralitas kolektif umat Islam. Namun, ketika individu dengan sengaja memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan norma Ramadhan, mereka sedang melakukan dekonstruksi terhadap batasan sakral tersebut.

Dalam konteks dramaturgi Goffman, fenomena ini juga bisa dilihat sebagai bentuk panggung tandingan. Jika sebagian masyarakat mempertontonkan kesalehan yang dipaksakan di ruang publik, kelompok lain justru membangun narasi tandingan dengan sengaja mempertontonkan tindakan yang bertentangan. Ini bukan sekadar bentuk perlawanan, tetapi juga cara untuk mendefinisikan ulang identitas sosial mereka di hadapan norma dominan.

Ironisnya, tindakan ini justru memperkuat sistem yang mereka lawan. Dengan menjadikan kemaksiatan sebagai bentuk ekspresi diri, mereka justru menciptakan dikotomi baru yang tetap menjadikan norma religius sebagai titik acuan, alih-alih benar-benar membebaskan diri dari pengaruhnya.

d. Perspektif Filsafat: Kebebasan Semu dan Kehampaan Eksistensial

Secara filosofis, kemaksiatan yang dipertontonkan bisa dikritik dari sudut eksistensialisme, khususnya dalam pemikiran Kierkegaard dan Sartre. Kebebasan sejati, dalam pandangan filsafat eksistensial, bukanlah tindakan impulsif melawan norma, tetapi kesadaran penuh akan pilihan moral yang otentik.

Tindakan sengaja melanggar norma Ramadhan bukanlah ekspresi kebebasan sejati, tetapi justru bentuk self-deception, di mana individu menciptakan ilusi kebebasan tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral dan eksistensial dari tindakannya. Sartre menyebut ini sebagai bad faith, di mana seseorang berpura-pura memiliki kebebasan mutlak tetapi sebenarnya hanya bereaksi terhadap tekanan sosial dengan cara yang tetap dikendalikan oleh struktur sosial itu sendiri.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun