Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keshalehan yang Dikatrol Lembaga vs Kemaksiatan yang Dipertontonkan: Sebuah Kritik Sosial Multidisiplin

22 Maret 2025   14:18 Diperbarui: 22 Maret 2025   14:18 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi banyak menekankan bahwa ibadah sejati bukan hanya persoalan tindakan lahiriah, tetapi lebih dalam lagi, yaitu kondisi batin yang tulus. Ramadhan bukan sekadar momentum untuk menahan lapar dan haus, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang bertujuan menyucikan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.

Namun, dalam masyarakat yang semakin sarat dengan budaya penampilan religius, banyak individu yang menjalankan ibadah bukan karena dorongan hati, tetapi karena tuntutan eksternal. Puasa menjadi sekadar formalitas, shalat tarawih dijalankan demi status sosial, sedekah diberikan untuk pencitraan, sementara maksiat tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kesalehan yang seharusnya lahir dari kesadaran justru tereduksi menjadi kepatuhan mekanistik.

Dari perspektif etika Islam, fenomena ini menggugurkan esensi ibadah, sebab ibadah tanpa niat yang tulus tidak memiliki nilai di hadapan Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah mengecam mereka yang beribadah hanya untuk pamer:

"Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya'." (QS. Al-Ma'un: 4-6)

Dengan demikian, kesalehan yang lahir dari tekanan sosial bukan hanya tidak memiliki nilai spiritual, tetapi juga berpotensi menyesatkan, karena mengaburkan batas antara keikhlasan dan kepalsuan.

2. Filsafat Eksistensialisme: Kesalehan Sejati sebagai Pilihan Bebas

Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis ateis, mengemukakan konsep "mauvais foi" (faith in bad faith) atau kepalsuan diri, yaitu ketika seseorang menjalani hidup berdasarkan ekspektasi eksternal, bukan dari pilihan bebasnya sendiri. Dalam konteks keberagamaan, seseorang yang beribadah hanya karena tekanan sosial mengalami alienasi dari spiritualitas sejati, sebab ia tidak menjalankan keyakinannya berdasarkan kesadaran, melainkan keterpaksaan.

Dari perspektif eksistensialisme, ibadah yang otentik adalah ibadah yang dilakukan sebagai pilihan sadar, bukan sebagai keterpaksaan akibat norma sosial. Ini sejalan dengan Islam yang menekankan kebebasan moral manusia dalam memilih jalan hidupnya:

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat." (QS. Al-Baqarah: 256)

Namun, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kolektivitas religius, seseorang yang tidak menjalankan ibadah Ramadhan sering kali dikucilkan atau bahkan distigmatisasi sebagai pendosa, terlepas dari alasan pribadi yang mungkin dimilikinya. Ini menciptakan kondisi di mana individu menjalankan ritual bukan karena kesadaran eksistensial, tetapi karena takut akan penilaian sosial.

Padahal, kesalehan yang sejati bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari luar, melainkan harus lahir dari kebebasan individu dalam memilih jalan hidupnya. Memaksakan seseorang untuk beribadah hanya akan melahirkan kepatuhan kosong yang tidak membawa perubahan batin yang sejati.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun