Dengan demikian, dari perspektif antropologi, kemaksiatan yang dipertontonkan bukan hanya soal moralitas individu, tetapi juga bagian dari konflik simbolik tentang siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan makna ruang publik dan batas antara sakral serta profan.
Dari berbagai perspektif yang telah dianalisis, kemaksiatan yang dipertontonkan selama Ramadhan tidak bisa hanya dilihat sebagai tindakan individual yang sekadar menolak nilai agama, tetapi juga sebagai manifestasi dari konflik sosial yang lebih dalam.
Dari perspektif psikologi, tindakan ini merupakan respons terhadap tekanan sosial yang mengekang.
-
Dari perspektif sosiologi, ia dapat dipahami sebagai deviasi sosial dan bentuk perlawanan terhadap norma yang dipaksakan.
Dari perspektif antropologi, kemaksiatan yang dipertontonkan mencerminkan konflik antara yang sakral dan yang profan dalam ruang publik.
Oleh karena itu, solusi untuk fenomena ini bukan hanya dengan menekan mereka yang dianggap menyimpang, tetapi juga dengan menciptakan ruang keagamaan yang lebih inklusif dan berbasis kesadaran, bukan sekadar kepatuhan yang dipaksakan.
BAB IV Pandangan Filsafat tentang Otentisitas Ibadah
Di tengah hiruk-pikuk ritual Ramadhan, di mana praktik ibadah sering kali lebih menonjol secara eksternal daripada internal, pertanyaan mendasar muncul: Apakah ibadah yang dilakukan seseorang benar-benar lahir dari kesadaran spiritual, atau sekadar respons terhadap tekanan sosial? Dari perspektif filsafat, otentisitas ibadah menjadi tema yang krusial karena menyangkut makna terdalam dari keberagamaan itu sendiri.
1. Etika Islam: Ibadah sebagai Perjalanan Batin dan Niat yang Tulus
Dalam Islam, niyyah (niat) adalah inti dari setiap amal ibadah. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya segala amal itu bergantung pada niatnya." (HR. Bukhari & Muslim)