Jika seseorang menjalankan ibadah bukan karena Allah, melainkan karena tuntutan sosial, maka ibadah tersebut kehilangan maknanya dan hanya menjadi ritual kosong yang tidak mengubah hati.
Dari perspektif etika Islam, filsafat eksistensialisme, dan kritik terhadap kepatuhan kosong, kesalehan yang dikonstruksi oleh tekanan sosial adalah bentuk ibadah yang tidak otentik dan bertentangan dengan esensi spiritualitas Islam.
Etika Islam menegaskan bahwa ibadah harus didasarkan pada niat yang tulus, bukan kepatuhan mekanistik.
-
Filsafat eksistensialisme mengkritik kesalehan yang dilakukan bukan sebagai pilihan moral bebas, tetapi sebagai akibat dari tekanan eksternal.
Kepatuhan kosong dalam beragama menciptakan budaya hipokrisi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keikhlasan.
Jika Ramadhan hanya menjadi ajang mempertontonkan kesalehan, tetapi gagal melahirkan kesadaran spiritual yang mendalam, maka substansi ibadah telah dikorbankan demi kepentingan sosial semata. Oleh karena itu, refleksi yang mendalam diperlukan, agar ibadah benar-benar menjadi jalan mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sekadar sarana memenuhi ekspektasi sosial.
4. Kritik terhadap Kemaksiatan yang Dipertontonkan
Kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan di bulan Ramadhan bukan sekadar tindakan individual, melainkan gejala sosial yang mencerminkan krisis moral dan spiritual yang lebih dalam. Fenomena ini bukan hanya soal pelanggaran aturan agama, tetapi juga ekspresi dari degradasi makna dan nilai dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi.
a. Perspektif Psikologi: Dekadensi Moral dan Pembangkangan Irasional
Dari sudut pandang psikologi, kemaksiatan yang dipamerkan di bulan suci menunjukkan gejala reaktansi sosial, yaitu dorongan untuk melakukan hal yang dilarang sebagai bentuk resistensi terhadap tekanan eksternal. Namun, resistensi ini sering kali bersifat impulsif dan destruktif. Dalam konteks Ramadhan, aksi-aksi seperti makan di tempat umum, berpesta, atau sengaja melanggar norma justru menunjukkan disonansi kognitif, di mana individu sadar akan norma sosial tetapi memilih untuk mengingkarinya demi sensasi kebebasan sesaat. Fenomena ini menandakan hilangnya self-regulation dan menurunnya kontrol diri dalam menghadapi dorongan sesaat.
Lebih jauh, psikologi moral menunjukkan bahwa tindakan terang-terangan ini bukan sekadar pelampiasan kebebasan, tetapi refleksi dari hedonisme reaktif, di mana individu mencari kenikmatan bukan karena nilai intrinsiknya, tetapi karena kepuasan dalam menantang norma yang ada. Ini menandakan degradasi dalam moral identity, di mana individu mulai kehilangan keterikatan dengan nilai-nilai yang lebih tinggi dalam hidup.