Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keshalehan yang Dikatrol Lembaga vs Kemaksiatan yang Dipertontonkan: Sebuah Kritik Sosial Multidisiplin

22 Maret 2025   14:18 Diperbarui: 22 Maret 2025   14:18 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah rutinitas ibadah Ramadhan yang semakin didikte oleh norma sosial dan ekspektasi kolektif, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah apakah Ramadhan masih dipahami sebagai momen transformasi spiritual ataukah sekadar ritual tahunan yang kehilangan makna? Islam menempatkan spiritualitas sebagai inti dari ibadah, bukan hanya dalam bentuk tindakan lahiriah, tetapi juga dalam kesadaran batin yang mendalam.

1. Esensi Ramadhan: Waktu untuk Introspeksi dan Pendekatan Diri kepada Allah

Ramadhan bukan sekadar bulan di mana umat Islam menahan diri dari makan dan minum. Lebih dari itu, ia adalah perjalanan spiritual yang menuntut refleksi, introspeksi, dan penyucian diri. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah menumbuhkan ketakwaan, bukan sekadar menahan diri dari hal-hal fisik. Puasa adalah latihan untuk menundukkan hawa nafsu, mendekatkan diri kepada Allah, dan mengembangkan kepekaan terhadap kehidupan spiritual yang sering kali terabaikan dalam keseharian.

Namun, dalam praktiknya, banyak masyarakat justru terjebak dalam rutinitas yang bersifat seremonial, di mana fokus lebih banyak diarahkan pada aspek luar, seperti berbuka puasa yang mewah, perlombaan dalam membagikan bantuan sosial yang dipamerkan, hingga beribadah secara berlebihan di malam hari namun tetap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam di siang harinya.

Puasa yang sejati bukan hanya soal menahan lapar, tetapi menahan diri dari perilaku yang merusak hati dan jiwa. Jika seseorang masih berbohong, bergunjing, bermaksiat, atau bahkan menjadikan ibadah sebagai sarana pencitraan, maka puasa tersebut kehilangan ruhnya. Rasulullah bersabda:

"Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad & Ibnu Majah)

Ini adalah peringatan bahwa ibadah yang dilakukan tanpa kesadaran spiritual hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi. Ramadhan yang sejati harus menjadi momentum untuk kembali kepada Allah dengan hati yang jernih, bukan sekadar memenuhi kewajiban syariat secara mekanis.

2. Kesalehan Sejati: Ibadah sebagai Pengabdian yang Ikhlas

Dalam Islam, kesalehan sejati bukan hanya terletak pada tindakan lahiriah, tetapi lebih pada keikhlasan hati dalam beribadah. Al-Qur'an berulang kali menekankan bahwa ibadah yang diterima adalah ibadah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan pengabdian kepada Allah:

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun