Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Superioritas Hukum Versus Moralitas Aparat Penegak Hukum

27 Maret 2019   16:52 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:50 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena tujuan teori etika deontologis untuk menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar moral yang melulu bersifat formal. Norma dasar moral yang melulu bersifat formal tersebut disebut sebagai imperatif kategoris (perintah) yang mengikat mutlak setiap makhluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri. Rumusan pokok imperatif kategoris Kant berbunyi sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah tindakanmu itu bisa sekaligus kaukehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum". Sedangkan, rumusan kedua yang menegaskan prinsip hormat terhadap manusia sebagai person atau pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri adalah:"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri entah dalam diri orang lain senantiasa sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagai sarana" (Immanuel Kant seperti dikutip dalam J. Sudarminta, 2013:138).

Teori Etika Heteronom menurut Emmanuel Levinas

Kata heteronom berasal dari kata heteros dan allos. Heteros berarti "yang lain" sebagai yang plural dari antara dua, allos berarti "yang lain" sebagai ang satu" di antara banyak yang lain (Frans Ceunfin dan Feliks Baghi (eds.), 2005:140). Makna tentang "yang lain" dimengerti lewat jalan yang dinamakan via negativa. Jalan ini ditempuh dengan cara menegasi. "Yang lain" adalah yang bukan aku. Untuk memahami "yang lain" menurut cara dia berada, orang mesti pertama-tama menanggalkan seluruh pemahaman tentang dirinya, tentang dunianya, tentang rasionalitasnya, tentang kesadaran dirinya, tentang kebenarannya, tentang persepsinya, tentang kehendaknya, dan tentang keinginannya. Dia "yang lain" adalah yang bukan aku. Untuk memahami "yang lain", aku tidak dapat memulai dari diriku sendiri. Jalan yang baik  untuk memahami "yang lain" adalah memulai dari dunianya, yaitu dari keberlainannya.

Aspek heteronom teori etika Levinas merujuk pada makna tentang "yang lain" sebagai yang lain secara radikal. Filsafat Levinas berpusat pada perhatian terhadap "yang lain secara absolut" yang disebut sebagai filsafat heteronom. Yang lain sebagai yang heteronom dicirikan oleh aspek transendensi. Transendensi di sini dapat dipahami sebagai suatu keberlainan radikal yang melampaui dari sekedar pemahaman yang ontologis. Keberlainan seperti itu memiliki dimensi dari atas, yaitu yang mahatinggi sebagai realitas yang berada di seberang, yaitu yang transenden (Frans Ceunfin dan Feliks Baghi (eds.), 2005:142).

Untuk menjelaskan "yang lain" Levinas juga menggunakan kata eksterior. Term eksterior dimengerti sebagai suatu realitas yang saya jumpai di luar kesadaran saya, sebagai suatu realitas yang transenden, yang melampaui pengetahuanku. "Yang lain" adalah Dia yang heteronom, personal dan eksterior yang menampakkan dirinya dalam "wajah". Wajah dalam etika heteronom Levinas tidak dimengerti sebagai muka. Wajah dimaksudkan sebagai situasi di mana di depan kita ada orang muncul. Ia hadir sebagai orang tertentu melalui mukanya (Franz Magnis-Suseno, 2000:96). Menurut Levinas seperti dikutip dalam Franz Magnis-Suseno, pertemuan dengan orang lain menjadikan diriku menjadi aku, memberi saya sebuah identitas unik dan tak tergantikan (2000:100). Karena saya bertanggungjawab atas orang lain, keunikan saya menjadi kenyataan. Tanggungjawab kemanusiaan yang menggugat aku untuk keluar dan meninggalkan egoismeku, dan mengambil sikap untuk bertanggungjawab untuk orang lain. Inilah yang dinamakan tanggungjawab etis heteronom, yaitu tanggungjawab yang terjadi karena kehadiran dalam epifani wajah. Tanggungjawab, atau kekuasaan kebaikan atas kita bukannya saya yang memilihnya, melainkan saya yang dipilih, sebelum saya mengambil sikap apa pun, jadi mendahului kebebasanku. Dalam situasi seperti itu, saya bertanggungjawab total terhadap orang lain (Franz Magnis-Suseno, 2000:103).                  Menurut Levinas, sebagaimana dikutip dalam Feliks Baghi, epifani wajah, dalam pewahyuannya sebagai yang lemah dan tak berdaya tidak menginginkan kekerasan terhadapnya (2005:149). Epifani wajah membuka kemanusiaan yaitu kemanusiaan yang dilihat bukan dari kaca mata ontologis, tetapi dari kaca mata metafisik. Kemanusiaan seperti ini adalah kemanusiaan universal yang melewati batas budaya, agama dan bahasa. Etika heteronom lahir sebagai suatu tanggapan terhadap kehadiran yang lain. Kehadiran yang membawa dalam diriku suatu keberlainan yaitu keberlainan yang mengundang suatu perhatian khusus. Perhatian bukan untuk mereduksi keberlainannya kepada pola pemikiran dan keinginanku, tetapi perhatian untuk keluar dari totalitasku, bergerak maju menuju kepada yang tak berhingga (infini). Pergerakan ini mesti dibarengi dengan sikap melepaskan keterikatan pada otonomi diri untuk menuju kepada yang heteronom, sehingga semuanya menjadi penuh dan sempurna dalam suatu tindakan etis (Frans Ceunfin dan Feliks Baghi (eds.), 2005:151).

BAB III


METODE PENELITIAN

 

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berorientasi pada analisis mengenai dokumen-dokumen atau bahan-bahan hukum yang berlaku dan berkaitan dengan nilai keadilan hukum yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji (2006:13-14) penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut meliputi:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun